Plakk!
Tamparan. Satu tamparan yang keras diterima Albi. Ucapannya membuatnya mendapatkan tamparan dari Bara. Sangat menyakitkan, pipi Albi memerah dan terasa perih. Irama jantung Albi pun memuncak. Dia memanas, namun masih mampu menahan diri untuk tidak membalas. Walaupun sangat susah untuk menahan rasa ingin memukul juga wajah yang sudah memukulnya tanpa rasa iba. Tak hanya sakit fisik, batinnya juga sakit. Tapi dia harus sabar, jangan sampai dia membalas perbuatan cowok kejam itu.
Albi mengepal tangannya rapat-rapat. Dia tahan rasa ingin menonjok wajah yang di hadapannya saat ini. Wajah yang sangat menyebalkan. Bikin hidupnya menderita dan susah. Namun, lagi dan lagi dia harus menahan diri. Jangan sampai amarah menghancurkan segalanya. Dia tidak boleh membalas cowok itu, demi hubungannya dengan Lia baik-baik saja.
"Itu yang elo dapat karena udah berani menentang gue! Gue udah peringatkan, jauhi Lia! Dan jangan dekati dia lagi!" kecam Bara seraya menunjuk Albi dan menatap Albi dengan tatapan kebencian. Baru pertama kali Albi berani mengatakan hal yang dapat membuatnya murka. Adik tirinya itu sangat tak tahu diuntung. Tak tahu balas budi. Sudah pandai berani melawan. Dan jangan salahkan jika dia main tangan, karena Albi yang telah memulai, baginya. Jadi, itu bukan kesalahannya. Akan tetapi Albi lah yang salah.
"Gue gak bakal mau!" tolak Albi dengan tegas.
Bara mengepal tangannya, dia geram ingin menonjok wajah Albi yang telah berani membantah. "Dengar ya Al, lo itu pecundang! Jangan sok ngebantah perkataan gue! Lo itu cukup nurut aja. Jangan coba-coba melawan. Kalo lo masih gak mau dengar kata gue, siap-siap itu muka lo babak belur di tangan gue dan juga di tangan temen-temen gue," jelas Bara seraya menatap wajah Albi. Di wajah itu dia juga melihat betapa adik tirinya itu membencinya dan tampak jelas ingin membalas. Namun payah, adik tirinya itu kan, pecundang. Jadi mana mungkin berani melawannya.
Albi memang adik tirinya Bara. Beda ayah dan beda ibu. Orang tua mereka belum lama menikah. Dan pernikahan itu tanpa restu dari mereka. Ayah Bara menikahi ibunya Albi. Dan hal tersebut membuat Bara tak terima. Karena dia dari kalangan orang kaya dan baginya Albi hanya gelandangan yang memanfaatkan harta ayahnya. Di sanalah hal yang membuat mereka tak akur. Saling membenci satu sama lain. Dan belum bisa menerima, bahwa mereka ditakdirkan untuk bersaudara. Meskipun hanya sebatas saudara tiri.
"Kenapa gue harus jauhi Lia? Lia itu sahabat gue. Gue berhak untuk dekat dengan dia. Siapa pun yang gak suka kalau gue dekat dengan dia, orang itu berhadapan sama gue. Termasuk lo, Bara. Mulai detik ini, gue gak akan jadi bodoh lagi. Gue gak akan mau menurut perintah lo lagi." Albi sudah bosan menjadi bodoh karena takut sama Bara selama ini. Kini dia telah sadar. Untuk apa dia takut. Bara itu bukan siapa-siapa. Bara itu hanya pria egois dan sadis.
Bara tertawa. Dia tertawa terbahak-bahak, padahal tak ada yang lucu. Dia hanya sedang menertawakan Albi yang sekarang sudah pandai mengancamnya. Berani sekali adik tirinya itu, pikirnya. Sampai-sampai mengaku tak bodoh lagi. Astaga, itu sangat lucu bagi Bara. Cowok cupu seperti Albi berani menantangnya, itu kedengarannya hal yang sangat mengandung tawa, menurutnya.
Bara kemudian menoyor jidat Albi semena-mena. Seenaknya saja menoyor-noyor kening Albi sembari menertawakan. "Dengar ya bocah gak tau diri! Lo dan Lia hanya sebatas sahabat doang! Gak ada apa-apanya. Jadi, mulai sekarang gak usah sahabatan lagi sama dia mulai detik ini! Lia itu pacar gue, asal lo tau aja! Dan dia adalah calon tunangan gue! Ngerti lo! Jadi lo gak usah berasa penting untuk Lia! Gue jauh lebih berarti untuk Lia! Bukan lo cowok cupu! Paham lo!" tegas Bara menjelaskan, bahwa dia kekasihnya Lia dan tak boleh siapa pun yang mendekati kekasih hatinya itu, terutama Albi.
Seketika suasana menjadi hening. Albi terdiam setelah mendengar perkataan Bara. Albi bungkam setelah tahu ternyata Bara adalah pacarnya Lia. Hal itu sangat membuat Albi kaget bukan main. Kalau sudah begini tidak mudah untuk Albi memiliki Lia. Dia harus bagaimana? Dia dan Bara itu saudara, meski hanya sebatas saudara tiri. Jika begini akan ada badai besar menerjang hidupnya. Akan sangat-sangat susah untuk dia mendapatkan Lia, pujaan hatinya, cinta pertamanya, dan wanita pertama yang mau bersahabat dengannya.
"Kenapa lo diam? Baru tau kalau gue dan Lia ada hubungan serius? Makanya jadi cowok jangan kegeeran. Lia dekat sama lo itu bukan karena lo menarik, tapi karena lo itu menyedihkan. Lia bersahabat sama lo hanya karena rasa kasihan. Jadi, lo jangan banyak berharap sama dia. Dia itu gak pantes sama lo! Pantesnya sama gue. Gue pintar, dan keren. Wajar dia mau. Kalau lo kan, gak ada apa-apanya. Hahaha, sadar Albi, Lia itu memilih gue. Buktinya dia jadiin gue pacar. Dan lo yang udah bertahun-tahun dekat sama dia, gak dia jadikan spesial. Sedangkan gue yang baru setahun udah dijadiin kekasih! Itu menandakan, gue lebih baik daripada lo! Makanya, lo itu sadar diri. Jangan mimpi bisa mendapatkan Lia, karena itu gak mungkin terjadi," ujar Bara mengejek Alibi yang hanya mematung tiba-tiba. Dia puas berkata demikian, perasaannya senang bisa merendah-rendahkan Albi. Albi itu baginya tak berarti apa-apa. Dia sangat bahagia jika melihat Albi menderita saat ini. Dia tak mau pacarnya dekat-dekat dengan orang bodoh seperti Albi. Bukan karena rasa cemburu, tapi rasa tak sudi jika pacarnya dekat dengan adik tirinya yang tak dianggapnya saudara.
Albi diam, bukan berarti dia menerima omongan sampah dari Bara. Dia cuma kaget akan sesuatu yang tak dia duga sebelumnya. Dia benar-benar tak tahu bahwa Lia punya pacar. Apalagi pacarannya itu Bara. Lantas kenapa Lia tak bercerita padanya bahwa Bara adalah kekasihnya? Apakah yang dikatakan Bara ada benarnya, jika Lia tak menganggapnya penting?
Bara menunjuk d**a Albi. "Mulai hari ini, jangan deket-deket sama Lia! Kalau lo masih berani, lo tau akibatnya!" ancamnya tak main-main.
"Gue gak mau!!" tolak Albi dengan tegas sambil menepis tangan Bara yang tengah memegang kerah bajunya.
"Gue suka sama Lia, dan gue gak akan biarin Lia jatuh di pelukan lo. Biar pun dia itu cewek lo! Gue gak peduli! Selagi dia itu bukan istri lo, dia masih berhak dimiliki siapa pun," sambung Albi. Dia tak mau mengalah dari Bara. Selama ini dia telah banyak mengalah. Dan untuk kali ini dia akan memperjuangkan cintanya demi Lia. Dia sayang banget sama Lia. Sayangnya ke Lia sangat besar. Lia itu udah bagian dari belahan jiwanya. Dia tidak akan mau Lia dimiliki orang lain. Dia menginginkan Lia menjadi pendampingnya. Lia itu wanita yang sangat idaman baginya. Dan Lia tidak akan cocok bersama Bara. Dia tidak akan membiarkan Lia ada di pelukan Bara.
Iya, memang dia egois. Tapi bukankah ini semua dia lakukan demi kebaikan Lia. Bara itu bukan cowok yang tepat untuk Lia. Sangat tak pantas Lia bersama Bara. Albi tidak mau Lia patah hati, terluka, dan kecewa hanya karena cowok b******k seperti Bara. Lia hanya akan menderita bila bersama dengan cowok itu. Dan Albi tak akan membiarkan hal itu terjadi. Tidak akan pernah, sedikit pun.
"Lo itu cowok b******k, lo gak pantes buat Lia. Lia berhak mendapatkan pria yang lebih baik. Gue gak bakalan ngalah lagi Bar, apapun yang terjadi. Lia harus sama gue, bukan sama lo!" lanjut Albi lagi. Yang dikatakannya adalah benar. Albi tahu betul sikap saudara tirinya itu. Bara itu cowok b******k yang suka main kasar. Dan Albi tak mau, nanti Lia kenapa-napa jika bersama dengan cowok itu. Bara hanya menjadi sebab dibalik penderitaan yang akan dialami Lia nantinya. Bara tukang selingkuh, dan Albi sangat tahu betul gelagat playboy seperti Bara.
Bara menghela nafas kasar. Sakit hati mendengar perkataan Albi. Bara tak lagi berpikir untuk bertindak, dia langsung saja menonjok wajah Albi dengan luapan emosi yang berapi-apa. Albi pun tak bisa menghindar, pukulan itu datang secara dadakan tanpa dia sadari. Dia meringis sakit, bibirnya berdarah. Namun dia tak berani membalas pukulan Bara yang membuat wajahnya menjadi sakit itu. Karena mungkin saja jika dia membalas pukulan itu, dia akan diusir dari rumah. Tak hanya dia yang disuruh angkat kaki, mungkin ibunya juga. Dari itu dia tak membalas, meskipun pukulan Bara sangat menyakitkan baginya.
Albi hanya diam menghadapi perlakukan buruk Bara yang kini sedang tersenyum bengis ke arahnya. Berani melawan dalam bentuk ucapan Albi cukup berani. Tapi melawan dalam bentuk fisik, dia tak memiliki keberanian lebih melakukan hal itu. Karena dia takut Bara melapor pada ayahnya dan nanti ibunya yang jadi sasarannya. Jadi dia harus menahan diri. Walaupun dia sangat ingin memukul wajah saudara tiri kejinya itu. Tapi keadaan membuatnya tidak bisa menyentuh fisik pria yang sekarang ini berdiri di hadapannya dengan tampang yang sangat menyebalkan itu.
"Lia itu milik gue! Jangan berani-beraninya lo deketin dia! Dia kekasih gue, lo tuh jadi orang tau diri! Lia jelas pacar gue, jadi lo jangan mimpi buat dapetin dia! Lo gak pantes buat dia, bukan gue. Sebelum ngomong itu, lo ngaca dulu bro! Lia itu udah punya pacar, dan gue lah pacarnya. Sekali lagi gue ingetin, lo jangan deketin dia! Orang kaya lo, gak pantes buat dia! Lo itu cuma gelandangan yang gak tau diri!" tegas Bara sambil menunjuk d**a bidang Albi dengan tenaga yang cukup kuat, sampai tubuh Albi kedorong kebelakang.
Albi mendengus sambil menepis tangan Bara, lalu dia balik menunjuk Bara dengan menampakan mata tajamnya yang terlihat sinis dan mengerikan. "Untuk saat ini dia milik lo, tapi nanti belum tentu. Yang baik hanya untuk dia yang terbaik," katanya dengan amat berani dan kemudian tersenyum sinis.
"Dengar ya Bar, gimana pun lo jungkir balik buat memperjuangkan Lia, tapi kalo emang Lia itu jodoh gue, lo bisa apa? Soal takdir lo mana tau, hari ini dia milik lo, besok lusa belum tentu," sambung Albi, kemudian dia tersenyum lagi lalu menepuk-nepuk bahu Bara. "Yang baik hanya ditakdirkan untuk yang baik, ingat itu," tambahnya.
"Sial," maki Bara sembari menepis tangan Albi. Dan, dia menarik kerah baju Albi sampai Albi ikut tertarik ke depan. "Udah berani ngelawan ya lo!" katanya sambil mencekram kerah baju Albi. "Kalau lo masih nekat, siap-siap aja lo angkat kaki dari rumah! Gue gak main-main ya! Lo dan nyokap lo dalam hitungan detik bisa gue usir semau gue! Dan hidup lo akan berakhir menjadi pecundang. Kalian memang pantas jadi gelandangan, rumah gue hanya terasa gubuk jika kalian hadir di dalamnya," katanya dengan seenak jidat.
Albi menatap benci. Dia sangat sakit hati kalau Bara membawa-bawa ibunya dalam pertengkaran mereka. Albi mengepal tangannya rapat-rapat, rasa ingin dia habisi orang yang tepat di hadapannya ini. Namun dia masih mikir dua kali. Jadi dia tak melakukannya. Dia menahan semua rasa marahnya.
Bara melepaskan cekramannya. Kalau bukan di sekolah sudah dia hajar habis-habisan adik tirinya itu. Tapi sayang, ini di sekolah. Dia harus jaga nama baiknya. Jika dia nekat, nanti namanya bisa jelek di mata sekolah. Jadi lebih baik dia tahan dulu emosinya. Demi kebaikannya juga. Jika dia terlalu nekat, bisa fatal jadinya. Pokoknya tidak ada yang boleh tahu jika dia ini cowok b******k. Orang-orang hanya harus tahu dia adalah siswa teladan yang berprestasi. "Dengar ya, lo ingat baik-baik yang gue bilang tadi. Jika lo masih mau hidup enak. Kalo lo memilih jadi gelandangan juga gapapa. Itu pilihan lo! Ingat itu!" Bara mengancam lalu beranjak pergi dari kelas Albi begitu saja.
Albi menghela nafas kasarnya. "Apapun yang terjadi, gue akan tetap berjuang untuk Lia. Gue gak akan mundur. Gue gak takut sedikitpun sama lo Bar," ucapnya seorang diri.
Selepas sepeninggalan Bara. Dari arah berlawanan ada Lia yang baru kembali dari ruang perpustakaan. Dia menuju kelasnya yang sebelum sampai ke sana, dia terlebih dulu akan melewati kelas Albi. Saat dia melewati kelas sahabatnya itu, dia kembali memundurkan langkahnya. Karena saat menoleh, dia mendapati Albi tampak sedang tidak baik-baik saja. Cowok itu terlihat sedang marah. Tak biasanya Albi begitu. Sebaiknya dia memastikannya. Lia pun melangkah masuk ke kalas Albi.
"Hai Al," sapa Lia saat masuk ke dalam kelas Albi.
Albi yang merasa namanya disebut itu pun menoleh. Ternyata Lia, dia cepat-cepat tersenyum manis seolah dia baik-baik saja. Dia sedang berpura-pura. "Hai," balas Albi sambil melambaikan tangannya dan menampilkan senyum terbaiknya.
Lia tersenyum, lalu duduk di sebelah Albi.
Albi menoleh. "Lo ngapain ke sini?" tanyanya basa-basi.
"Loh Al, bibir lo kok berdarah," kaget Lia saat tak sengaja melihat sudut bibir Albi yang ada noda darahnya.
Albi menyentuh bibirnya dan ada darah di tangannya. Artinya yang dikatakan Lia benar, bibirnya berdarah. Pasti karena Bara yang tadi memukulnya. Semoga saja Lia tidak tahu dengan apa yang barusan saja terjadi padanya. Lia tak boleh tau dia telah berantem sama Bara. Pokoknya dia harus menutupi masalahnya dengan Bara. Itu lebih baik dari pada Lia tahu dan berujung konflik berkepanjangan nanti.
"Al, kok diam aja sih? Jawab dong, apa bibir lo sakit jadi males ngomong?" tanya Lia.
Albi mengangguk saja. Tidak apa-apa lah Lia mengiranya malas berbicara. Daripada cewek itu tahu penyebab dari luka di bibirnya ini.
Lia mengambil tisu di saku seragamnya dan dia membersihkan darah yang di pinggir bibir Albi. Dengan hati-hati dia membersihkan luka Albi. Saat Lia fokus mengusap darah itu, Albi mencuri kesempatan untuk menatap Lia lebih dekat.
"Lia, gue udah tau siapa cowok yang lo suka. Dia Bara kan, abang tiri gue," ucap Albi.
Lia memutar bola matanya langsung menatap Albi. Mata mereka berdua bertemu, saling menatap satu sama lain dalam keheningan. Ucapan Albi mengejutkan Lia. Dari mana cowok itu mengetahuinya. Apakah dari Bara langsung? Itulah yang ada dalam pikiran Lia.
"Lo tau darimana, Al?" tanya Lia penasaran.
Albi menghela nafasnya pelan lalu menunduk. "Seseorang, dia bilang lo itu milik dia. Gue gak boleh deket sama lo lagi, dia cemburu, dia gak suka dengan kedekatan kita. Dia juga takut gue merebut lo. Jadi... " jawab Albi menggantung, menahan omongannya sebentar.
"Jadi apa, Al?"
"Sebaiknya..."
"Sebaiknya kita gak usah sahabatan lagi?"
Albi menoleh ke Lia. "Kalau itu mau lo, gue bisa apa?"
Lia menggeleng. "Enggak Al, gue mau kita tetap sahabatan. Gue gak mau jauh sama lo."
Albi menatap Lia, lalu menggapai tangan Lia. "Kasih gue alasan yang kuat, kenapa lo gak mau jauh dari gue? Kenapa?"
Lia berpikir cukup lama sebelum dia menjawab. "Ya, karena lo sahabat gue, Al. Mana ada sih, orang yang udah sahabatan lama, udah deket banget dan tiba-tiba harus jauhan hanya karena larangan dari orang lain. Ya, gue gak mau lah kita jauh cuma karena ada orang yang gak suka dengan kebersamaan kita."
"Sebatas sahabat aja? Bukan karena hal lain?"
"I—iya, hanya sebatas itu. Hanya sebatas sahabatan."
Albi menghela nafasnya gusar. Jawaban Lia, sangat bikin frustasi. Andai saja Lia tau betapa sukanya dia sama Lia. Betapa berharganya Lia dalam hidupnya. Betapa berartinya Lia baginya. Pasti gadis itu akan menganggapnya lebih. Ya, walaupun dia sudah mengutarakannya langsung pada Lia. Tapi sepertinya Lia tak terlalu percaya, sehingga Lia tak memilihnya. Namun malah menolak perasaannya, sungguh mengecewakan. Tetapi ya sudah lah, dia pasrah saja. Tapi dalam diamnya, dia akan berusaha memperjuangkan cintanya untuk mendapatkan Lia.
"Al, Bara ya yang mukulin lo dan melarang kita untuk dekat?" tanya Lia setelah lama diam.
Albi mengedikkan bahunya. Jujur, dia tidak suka Lia ternyata pacaran dengan Bara. Dia sangat tak terima. Tapi ya udah lah, dia tidak bisa berbuat apa-apa. Kalau sudah masalah hati rumit masalahnya. Dia gak mungkin larang-larang Lia untuk memutuskan Bara. Nanti Lia malah ilfil terhadapnya. Sebaiknya dia mencoba nerima aja, ya meskipun hanya di depan Lia. Dan di belakang Lia tentu saja dia sangat tidak merestui dan ingin Lia dan Bara berpisah, alias putus hubungan.
"Al, jawab dong Al," desak Lia sambil menggoyang-goyangkan tangan Albi.
"Iya, Bara yang mukulin gue dan dia yang melarang kita untuk sahabatan lagi. Dia cemburu, dan gak mau gue dekat lagi sama lo. Gue nolak, dan balasannya gue dipukul sama dia," jawab Albi dengan jujur saja. Sudah lah, tidak perlu juga dia sembunyikan. Buat apa juga dia menyembunyikan kejahatan Bara. Biar Lia sekalian tahu kebejatan Bara. Supaya Lia sadar, Bara itu bukan cowok yang tepat untuk dijadikan pendamping. Bara itu hanya cowok yang b******n dan bakalan nyusahin doang.
"Bara keterlaluan," ucap Lia. Lia berhenti membersihkan darah yang di bibir Albi. Dia berdiri ingin beranjak pergi untuk menemui Bara dan memarahi cowok itu karena sudah menghajar Albi, sahabatnya. Namun langkahnya terhenti.
"Jangan pergi," cegah Albi sambil menarik tangan Lia. Mencegah Lia untuk meninggalkannya.
Lia menoleh menatap Albi. "Emangnya kenapa? Bara udah keterlaluan, Al. Gue gak bakal biarin dia nyakitin lo," ucapnya agak lirih.
"Tetap di sini, Lia. Lo gak perlu marah sama Bara. Gue gak mau, hanya gara-gara gue, kalian jadi ribut. Dan nanti hubungan kalian berantakan, dan gue lah yang jadi penyebabnya. Gue takut lo jadi marah sama gue, gara-gara gue hubungan kalian nanti retak. Gue tau, lo cinta banget sama Bara kan, jadi ya udah. Gue gapapa kok, jadi jangan pergi ya, please..." mohon Albi.
"Tapi Al, Bara udah keterlaluan. Dia harus dikasih peringatan. Gue gak mau dia mukulin lo lagi. Dia itu seenaknya aja, padahal kalian kan, saudaraan. Tapi dia malah memperlakukan lo seenaknya, gue gak suka dia kayak gitu. Gue mau, hubungan kalian itu baik-baik aja. Gak ada istilah berantem-ranteman. Apalagi masalahnya ada di gue. Udah Al, lo tenang aja. Gue dan Bara bakal baik-baik aja. Gue cuma mau nasehatin dia, agar gak main kasar lagi sama lo. Dan gak ngelarang kita untuk sahabatan," ujar Lia tak terima Albi dipukuli oleh Bara, pacarnya.
"Gue gapapa kok, Lia. Udah, gak usah dipikirin."
"Gak bisa, Al."
Albi tersenyum lalu menarik Lia untuk mengajak gadis itu duduk kembali. Lia pun kembali duduk.
"Lia, gue gapapa," ucap Albi.
"Maaf ya Al, ini penyebabnya ada di gue," katanya merasa bersalah atas sikap Bara.
Albi mengusap kepala Lia. "Gak perlu minta maaf, lo gak salah apapun sama gue. Antara gua dan Bara emang bermasalah. Jadi bukan salah lo."
Lia menunduk. Albi mengangkat dagunya. Dia pun menatap Albi lagi.
"Bentar lagi bel, gak usah cemberut," ucap Albi.
Lia tersenyum. "Kalau gitu, gue pamit. Lo kalau ada apa-apa bilang aja ke gue." Lia beranjak.
Albi menganggukkan kepalanya.
Sepeninggalan Lia, teman-teman kelas Albi pun berdatangan dan tak selang waktu lama bel pun berbunyi dan pembelajaran pun segera dimulai saat guru yang bersangkutan masuk ke dalam kelas.
****