
Bab 1: Raras dan Aroma KembangDjogjakarta, 28 Mei 1947.Langit tampak kelabu. Bukan karena mendung, tapi karena debu dan asap dari penjuru kota. Tentara Belanda kembali merangsek ke garis depan. Suara sepatu tentara dan derap kereta kuda bercampur dengan gonggongan anjing di kejauhan.Di sudut Pasar Beringharjo, seorang gadis muda membenahi kain jariknya. Tubuhnya kecil, wajahnya halus, tapi matanya menyimpan keteguhan yang tak lazim untuk usianya yang baru menginjak delapan belas.Namanya Raras, penjual kembang keliling. Setiap pagi, ia menjajakan melati, mawar, dan kenanga dalam bakul anyaman bambu peninggalan almarhum ibunya. Tak banyak yang membeli bunga hari-hari ini. Semua orang sibuk bertahan hidup.Namun pagi itu berbeda.---"Ndoro Tama datang..." bisik salah satu bakul sayur pada temannya. Suaranya seperti desir angin—pelan tapi menggetarkan.Raras langsung menoleh. Di depan gapura kecil dekat stasiun Lempuyangan, tampak seorang pemuda berseragam hijau tentara, berdiri memandang langit. Tubuhnya tegap, kulitnya sawo matang, dan matanya... mata yang menyimpan terlalu banyak hal untuk usia yang bahkan belum tiga puluh.Ia Tama, tentara dari Divisi Siliwangi yang dipindahkan ke Djogja untuk membantu pertahanan ibu kota Republik. Konon katanya, dulu ia anak bangsawan Priangan, tapi kini memilih menjadi prajurit rakyat.Dan entah kenapa, setiap kali Raras melihat Tama, jantungnya berdetak sedikit lebih cepat. Seperti degup genderang perang... tapi di dalam dada.---"Kembang melati, Ndoro? Untuk doa para pejuang?" tanya Raras pelan sambil menunduk. Ia tak berani menatap langsung.Tama menoleh. Tatapan matanya dalam, suaranya datar tapi hangat."Untuk Ibu saya. Hari ini hari kelahiran beliau... dan hari gugurnya beliau juga."Raras terdiam. Ia tak tahu harus berkata apa. Tapi tangan kecilnya reflek menyodorkan sekerat melati putih, yang masih segar dan wangi.Tanpa banyak bicara, Tama mengambilnya, lalu meninggalkan dua keping logam di bakul Raras."Terima kasih," katanya pendek, sebelum berjalan pergi—meninggalkan aroma melati dan pertanyaan yang belum sempat lahir.---Hari itu, untuk pertama kalinya, Raras menyadari:Perang bukan hanya tentang meriam dan senapan.Kadang ia tumbuh dari sejumput kenangan... dan mekar jadi cinta yang sunyi.---

