6

1388 Kata
"Biar aku saja." Vina menutup majalah di tangan. Bergegas menuju pintu utama saat dia melirik jam pada dinding. Tepat waktu untuk mereka makan malam bersama. Saat para asisten rumah tangga sibuk menyiapkan makan malam yang telah matang, Vina mengambil alih membuka pintu ketika bel rumah berbunyi nyaring. Kedua mata Vina menyipit. Reaksi spontan menemukan Devan Aksa berdiri di depan pintu rumah mereka. Matanya tidak bisa berhenti bergerak menatap penampilan rapi pria itu. "Adelia mengundangmu datang?" Kepala Aksa terangguk. "Aku bertanya kapan ibunya punya waktu luang, dan dia bilang hari ini." Vina menghela napas panjang. Dengan berat hati mendorong pintu agar terbuka lebih lebar. "Masuklah. Makan malam baru saja dihidangkan. Aku akan naik untuk memanggil Adelia turun." "Tidak. Biarkan saja. Dia tahu aku datang." "Ah, begitu?" Suara Vina tertelan dingin. Menatap pada ruang makan yang terlihat bersih dan rapi. Saat matanya berkeliling, menemukan Andhra baru saja turun dari lantai dua. "Andhra, ada tamu." Delana Andhra menarik langkahnya sebentar. Memandang Aksa dengan tatapan datar namun penuh intimidasi saat dia turun, memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. "Adelia tidak memberitahu apa pun tentang kedatanganmu malam ini pada kami." "Benarkah?" Aksa membalas santai. "Kalau dilihat dari reaksi Nyonya Vina, aku rasa memang dia tidak memberitahu penghuni rumah kalau aku akan datang." "Mari, duduk dulu." Aksa mengangguk singkat. Membiarkan Vina berjalan ke ruang makan. Saat pancaran mata Andhra sama sekali tidak terlihat bersahabat. Pelayan meninggalkan ruang makan. Membiarkan mereka duduk dan berkutat dengan piring dan lauk yang telah tersedia. Sekitar sepuluh menit menunggu, Adelia turun untuk bergabung. "Kau mengajak kekasihmu datang tanpa memberitahu kami? Bukankah, seharusnya tamu diperlakukan lebih istimewa? Kita bisa menambah menu makan malamnya, kan?" Adelia melirik datar pada sang kakak. Yang terang-terangan melempar sindiran keras padanya. "Aku sendiri tidak yakin kau akan mau menyambut Aksa sama seperti kau menyambut Daro dan keluarganya." Rahang Andhra mengeras seketika. Sebelum pertengkaran mereka kembali terjadi, Vina menyela dingin. Menatap putrinya dengan mata melebar marah. "Adelia." Menarik kursi dengan enggan, Adelia memilih untuk duduk di sebelah Aksa. Dibanding dia duduk di sebelah Andhra yang kosong. "Jadi, sudah berapa lama kalian berkencan?" "Satu bulan," ucap Aksa. "Satu bulan?" Andhra membeo tak percaya. "Kau pasti bercanda. Satu bulan, dan merasa kau siap menikahi adikku?" Adelia mendengus sembari mengusap pangkal hidungnya. Pasta di atas meja bersama daging bebek asap terlihat menjijikan di matanya. "Oke. Di mana kalian saling mengenal satu sama lain? Karena kalau boleh jujur, kami tidak terlibat proyek langsung dengan perusahaanmu. Atau, Adelia yang sering rapat bersama kolega dari pihakmu?" Adelia membuka mulutnya saat selesai mengunyah satu potong daging bebek. "Aqilla Dira yang mengenalkannya padaku. Kalau kau ingin marah, kau seharusnya marah padanya." Kedua mata Andhra menyipit. Menilai bagaimana sifat Adelia yang keras mulai memancing sisi buruk darinya. "Aku bicara juga untuk kebaikanmu, Adelia." Aksa hanya diam. Mengamati sekitar dan mulai merasakan perasaan tak nyaman. Di saat Adelia dan Andhra melempar kontak mata dingin satu sama lain, Vina malah terlihat acuh. Dia terlihat membenci putri kandungnya sendiri dan membela Delana Andhra habis-habisan. "Andhra benar, Adelia. Kau mengenal Aksa sebentar, tapi mengenal Daro? Astaga. Kalian ada di satu yayasan yang sama kalau aku boleh mengingatkan." Adelia menunduk. Berusaha mengabaikan kalimat sang ibu yang bernada provokasi. "Aku tahu, keluarga Aksa sama terpandangnya dengan keluarga kita. Tapi, bagaimana dengan sesi perkenalan kalian yang terlalu singkat? Aku hanya tidak mau kau terluka." "Dia tidak akan terluka, Nyonya Vina. Kalau itu yang Anda takutkan," sanggah Aksa kaku. "Tidak usah terlalu formal, Aksa. Santai saja." Aksa balas mengangguk. "Aku tidak akan bertanya darimana kau mendapatkan uang untuk menghidupi adikku, Devan. Karena satu hal yang pasti, Adelia akan tetap bekerja di perusahaan." Adelia menengadah. Menatap Andhra dengan pandangan berkilat marah. Cengkraman pada garpunya mengeras. Membuat lirikan mata tajam Aksa mengarah sekilas padanya. "Jujur saja, aku keberatan." Alis Andhra terpaut satu sama lain. "Pertama, jarak dari rumah baru kami nanti dan kantor jauh. Itu lebih dekat dengan perusahaanku. Kedua, aku tidak ingin waktu istriku nanti tersita hanya karena terlalu lama bekerja. Pernikahan tidak sesedarhana itu, Delana." Vina membeku tak percaya. Begitu juga dengan Adelia yang menoleh, mengamati rahang tegas Aksa dari sisi wajahnya. "Kalau pun dia ingin tetap tinggal di rumah dan memilih untuk tidak bekerja, aku tidak akan mempersalahkannya. Dia masih bisa bersenang-senang dengan uangku." Lidah Adelia terasa kelu sekarang. Dengan tarikan napas panjang, dia mengedarkan pandangan ke sekeliling meja makan yang sepi. Ibunya tampak ingin mengutarakan sesuatu, dan Andhra malah berpikiran lain. Seperti ingin mengajak Aksa berkelahi. "Aku merasa, kau terlalu berlebihan. Karena mau bagaimana pun, Adelia memang terlahir hidup mandiri, Aksa," ketus Andhra dingin. Aksa menghela napas panjang. "Aku tidak berlebihan. Aku sendiri pun sama dengannya. Hidup di rumah berbeda dengan orangtuaku. Apa bedanya?" Vina menurunkan alat makannya. Menatap Adelia dan Aksa bergantian. Keningnya mengernyit dalam, pertanda dirinya sedang berpikir keras. "Aku tidak tahu, mengapa kau terlihat sangat keras sekali, Devan? Apa kau secinta itu pada putriku hanya dalam kurun waktu satu bulan?" Adelia memilih untuk diam. Saat sudut bibir Andhra tertarik dan memandang Aksa yang mematung di kursinya dengan seringai puas. "Reputasi yang mengikutiku jauh lebih buruk dari Delana Andhra, putramu. Tapi, di saat b******n ini mulai mencintai perempuan dengan serius, dia akan meninggalkan dunia gelapnya dan memilih untuk bersama tanpa ingin melukai. Aku benar?" Kali ini, Vina yang terdiam. Mata Vina melirik Adelia dengan sinis. Saat putrinya memilih untuk diam, menyesap air minum dalam gelas dengan ekspresi kaku. "Andhra tahu benar bagaimana aku," balas Aksa santai. "Ngomong-ngomong, makan malamnya mengesankan. Ini bukan terasa seperti makanan rumah, tapi makanan restauran bintang lima." Adelia menghela napas panjang. Menatap Aksa dengan keterkejutan yang tidak disangka-sangka. Bagaimana bisa pria ini begitu berani mendobrak benteng tebal itu hanya untuk dirinya? "Aku datang setelah berhasil melamar Adelia. Andai saja Adelia berkata tidak, aku tidak akan memberanikan diri untuk datang." Aksa menarik napas. "Adelia sudah bertemu ibuku, dan ibuku menyukainya. Tidak akan ada salah yang dari pernikahan kami nanti." Aksa membungkuk setelahnya. Menatap mata Vina dengan senyum tipis. Lalu, berpaling pada Delana Andhra yang menatapnya keras dari kursi makan. "Aku permisi. Selamat malam." Adelia bergegas bangun. Menaruh asal lap makan di atas meja, berjalan mengejar pria itu sampai ke teras depan. "Aku sempat berpikir kalau kau mabuk. Tapi, nada bicaramu berkata sebaliknya. Kau sadar seratus persen saat bicara selancar itu pada ibu dan kakakku." Alis Aksa terangkat. "Kau terkesan padaku? Sayangnya, aku datang bukan untuk membuatmu terkesan." Adelia mendengus singkat. Saat pandangan mata Aksa turun melihat penampilan konyolnya yang seperti anak muda usia belasan tahun dengan piyama bergambar beruang. Aksa balas mencibir. "Usiamu dua puluh tujuh, kan? Kenapa kau tidak membakar piyama aneh ini dan menggantinya dengan daster seksi?" Adelia berdeham spontan. Mendapat tatapan yang membuatnya tak nyaman, tanpa sengaja tangannya bergerak melingkari dirinya sendiri. Melindungi tubuh kurusnya dari pandangan tajam Aksa. "Mereka setuju atau tidak, aku akan tetap pada keputusanku." Aksa menarik napas kasar. "Aku akan tetap menikahimu," lanjutnya dengan hembusan napas lelah. "Melihat bagaimana dinginnya Delana Andhra, aku semakin yakin alasanmu ingin pergi dari rumah ini adalah kakak tirimu." Adelia termangu diam. Membiarkan Aksa berjalan pergi menuju mobilnya. Merapikan anak rambutnya dengan sapuan kasar, lalu menekan tombol kunci untuk menyalakan mobil secara otomatis. Menghela napas panjang, Adelia menoleh untuk melihat Aksa yang masih membuka pintu, bersiap masuk. Saat dia melangkah, memastikan pria itu pergi dari parkiran rumahnya dengan aman. "Untuk pekerjaan, aku punya ide lain untuk melamar ke tempat lain. Kau ada benarnya, aku tidak seharusnya menetap di perusahaan yang bukan milikku." Aksa mengangkat alis. Menarik tangannya dari setir mobil kala dia menoleh. Mendapati Adelia sedang menunduk menatap pintu mobil sedannya. "Menurutmu, bagaimana?" "Akan aku rekomendasikan tempat yang bagus," balas Aksa datar. Menarik pintu mobilnya agak keras. Sampai benar-benar tertutup rapat. Menurunkan kaca mobil untuk melihat gadis itu sekali lagi. "Saat kita sudah menikah nanti, kau tidak perlu membawa apa pun dari rumah ini. Pilih saja pakaian yang pantas, atau barang-barang yang kau suka. Selebihnya, aku serius dengan ucapanku tadi. Kau bisa bersenang-senang dengan uangku." Adelia mendengus. Melipat tangannya di depan d**a dengan senyum sinis. "Lantas, apa bedanya aku dengan wanita-wanitamu yang lain?" Aksa balas mengangkat alis. Ekspresi sarkatisnya tergambar jelas. "Mereka mainan. Kau istriku." Setelahnya, Aksa memutuskan kontak mata mereka secara sepihak. Membiarkan kaca gelap itu tertutup rapat, menyalakan mesin mobil dan memundurkannya tanpa kalimat perpisahan. Meninggalkan Adelia sendiri dalam diam. Menatap langit di malam hari yang cerah bersama taburan bintang. Tapi, mengapa cerahnya malam terasa kontras dengan apa yang ia rasakan?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN