5

2079 Kata
Setelah Adelia turun dari mobil, yang ia dapati justru pemandangan taman yang sepi. Selain dua mobil lain terparkir di garasi rumah. Adelia menarik napas lelah. Membuang pandangannya ke arah lain. Devan Aksa turun. Mengamati rumah bertingkat dua yang terlalu besar. Rumah ini megah. Jika hanya diisi Adelia bersama ibu dan kakaknya, juga asisten rumah tangga lain yang jumlahnya menyentuh puluhan. "Sebelumnya, apa kau memiliki rumah sebesar ini?" "Ini nyaris setara," bisik Adelia. Meremas lengannya sendiri seraya meratapi rumah yang layak diberi gelar mansion dibanding rumah itu sendiri. "Aku rasa, kau juga tahu kalau bisnis keluarga Aile seperti apa." Aksa berdeham singkat. "Saat acara malam itu, Aile Alvaro datang. Dan dia tidak sendiri," mata Aksa mencari-cari arti ekspresi kaku Adelia. "Apa itu alasan kuat mengapa kau ingin melarikan diri dari acara itu selain aku?" Adelia menggeleng. "Aku tidak menghindarimu." "Baik, kalau begitu kau menghindari ayahmu sendiri," ujar Aksa dingin. "Melihat kalau ayahmu tidak tahu malu datang bersama orang lain, aku yakin kalau kedua belah pihak sudah bahagia?" Adelia meremas tasnya. Menatap datar jauh ke dalam rumah yang sepi. Saat dia meringis, menatap Aksa dengan tatapan dingin. "Kau bukan cenayang. Dan kenapa pula harus menebak-nebak kebahagiaan orang lain?" Aksa terpaku diam. "Kalau kau bertanya bagaimana ibuku, jelas dia bahagia. Dia sangat bahagia," balas Adelia acuh. "Tidak ada yang lebih penting dari kebahagiaan orang yang kita cintai, kan?" Aksa membenarkan dalam hati. Menarik napas panjang dan mengangguk untuk menyudahi pertengkaran yang jauh lebih baik disebut perdebatan. "Oke. Kau benar." "Karena yang kau lakukan saat ini juga untuk ibumu," tembak Adelia tepat sasaran. Yang membuat Aksa mematung. "Aku melihat bagaimana wajah bahagianya ibumu malam itu. Saat kau mengenalkanku padanya." Adelia menghela napas. "Tapi, kali ini aku lakukan ini bukan untuk siapa-siapa. Aku melakukannya demi diriku sendiri. Jadi, aku akan berterima kasih padamu dan Dira nanti. Kalau keadaan sudah bisa membawaku pergi dari sini." "Aku tidak bisa membayangkan hidup bersama keluarga baru. Keluarga tiri yang mungkin membuatmu tersudut karena merasa tidak dianggap. Kau marah pada mereka?" Adelia menggeleng pias. Menghela napas panjang dengan senyum tipis. "Tidak. Aku marah pada diriku sendiri. Berusaha melepaskan diri, sayangnya selalu gagal. Kalau pun aku berhasil, aku tidak ada bedanya dengan bunuh diri." Adelia mengangkat bahu saat kembali melanjutkan. "Satu-satunya cara adalah pernikahan. Sudah menjadi tradisi kalau pihak perempuan akan ikut kemana pun sang suami pergi. Begitu pula dengan aku. Aku sama sekali tidak keberatan kalau kau mengajakku untuk tidur di kolong jembatan sekali pun." Aksa mendengus. "Aku bisa memberikanmu lebih layak dari ini." "Jangan sombong. Kau tidak tahu berapa banyak uang yang aku kumpulkan di tempat lain, bukan?" Adelia mengangkat tangannya. Melambai kecil ketika ada seseorang yang sigap membukakan pintu gerbang untuknya. Aksa menghela napas. Tidak banyak melamun di depan rumah yang luasnya hampir besar dengan rumah miliknya. Yang kini ditinggali orangtuanya. Bergegas masuk ke dalam mobil, Aksa memutar kemudinya mencari jalan lain untuk keluar dari perumahan mewah ini. *** Saat Adelia berjalan masuk, yang dia temukan adalah makan malam antar keluarga. Bersama keluarga Dexa Daro, termasuk ibu dan kakaknya. Ayah tiri Adelia telah lama pergi, berpulang untuk selama-lamanya. Adelia berdeham. Mengangguk sopan untuk tidak menghancurkan reputasi keluarganya. "Selamat malam," sapanya basa-basi. Tanpa mau melirik pada Daro sekali pun. "Malam, cantik." Suara Karura yang lembut menyapanya. Adelia menatap Karura dengan senyum. Ibu dua anak itu adalah artis opera di masa muda. Adelia pernah beberapa kali melihat pentas ibu Daro kala dia masih duduk di bangku menengah pertama. Kakak tertua Daro, Rei Temari tidak datang. Bisnis yang Temari kelola di bidang kecantikan meningkat pesat. Koneksi sang ayah tidak main-main. "Duduk dulu, sayang." Suara ibunya mengalun. Adelia memaksakan diri melihat ke arah mereka. Arah kakak dan ibunya. Tampaknya Delana Andhra sama sekali tidak peduli. Dia dengan acuh terus makan, menikmati hidangan yang disajikan koki dan pelayan rumah. "Tidak, terima kasih. Aku sudah kenyang. Sebelum pulang, aku pergi untuk makan malam." "Ah, bersama siapa?" Daro menyela dingin. Adelia menatap satu-persatu mereka yang duduk di kursi makan. Ruang makan mendadak lebih sepi. Adelia sama sekali tidak merasa takut dengan delikan tajam dari seorang Kazekage. "Aku belum katakan ini, tapi maaf sekali lagi untuk kalian semua. Aku akan menikah." Yang pertama kali bereaksi adalah Andhra, kakaknya. Adelia tidak tahu, kalau memiliki kakak seposesif Andhra akan membuatnya pusing setengah mati. Sikap Andhra tidak bisa baik padanya. Selalu keras dengan dalih melindungi adik kecilnya. "Menikah?" Vina mengerjap panik. Karena Karura dan Kazekage membeku di kursi mereka. Adelia menatap Dexa Daro yang tengah meremas gelas kaca. Hampir meremukkan. Dan Adelia sama sekali tidak takut dengan pancaran mata Daro yang seakan ingin mengulitinya hidup-hidup. "Siapa?" Adelia membuang pandangannya ke arah Andhra. "Siapa kekasihmu?" Vina menunduk, mengulurkan tangan untuk menenangkan Andhra yang terlihat marah sekaligus kecewa. "Sudah, nak. Adelia belum selesai bicara." Andhra menarik napas panjang. Menatap uluran tangan lembut itu dan menariknya kasar. Membuat Vina tertegun, menatap anak tirinya dengan pandangan nelangsa. "Kau masih tidak mau bicara, Adelia? Dengan mempermalukan kami di depan keluarga Dexa Daro?" Adelia mengangkat kepalanya. Menatap Andhra dengan pandangan mencela. "Aku tidak membuat malu mereka. Ibu dan kau sendiri tahu, aku menolak lamaran apa pun. Aku juga menolak Dexa Daro untuk menjadi suamiku. Bisa kau jelaskan dimana letak kesalahanku?" Daro mengerang tak percaya. Matanya menatap datar pada sang ibu yang mematung. Terlalu terkejut dengan fakta yang sebenarnya. Jadi, putranya tidak pernah dapat kesempatan? "Siapa dia?" Adelia menunduk untuk menatap mata Daro yang berkilat dingin. "Devan Aksa. Kau pasti mengenalnya." Andhra kehilangan suaranya untuk bicara. Saat dia mendengus, meminum air putih dalam gelas dengan perasaan hancur dan marah. "Benar-benar. Kau mengejutkan kami, Adelia. Apa kau tidak menganggap aku dan ibumu ada?" "Itu gunanya aku bicara hari ini. Agar semua jelas. Agar semua terbuka. Kesempatan itu tidak pernah ada untuk Daro. Aku tidak bisa menikah dengan pria yang—," Adelia menarik napas. Merasakan getir bercampur rasa sakit dalam dadanya. "—tidak kucintai." Daro mendengus masam. Melemparkan raut marahnya ke arah lain. Saat Vina bangun, berjalan untuk menghampiri putrinya yang mematung. Menunggu sang ibu menamparnya seperti biasa kalau dia kecewa dan marah. "Masuk kamarmu, Adelia!" Adelia tidak akan berpikir dua kali untuk beranjak pergi dari neraka ini secepat mungkin. *** "Aksa, bolehkah ibu ikut untuk mencarikan gaun pengantin calon istrimu nanti?" Aksa mengangguk. Menatap mata sang ibu yang berseri-seri. "Tentu. Kalau tidak membuat diri ibu lelah, ibu bisa lakukan itu." "Baik, ibu sebisa mungkin lakukan yang terbaik. Apalagi ini sekali untuk seumur hidup, aku harus melihatnya. Melihat putra kesayanganku bahagia." Kunyahan roti di mulut Aksa terhenti. Saat ini, dia sedang menikmati sarapan di meja makan. Seperti biasa, hanya ada Aksa dan sang ibu. Tanpa kehadiran Devan Aria yang menghilang sejak pagi buta. Atau memang ayahnya tidak pernah kembali setelah acara itu? Aksa menelan marah dalam dirinya sendiri kuat-kuat. Meremas garpu di atas piring dan mengembuskan napas kasar. Membuat Devan Ara menatapnya bingung. "Aksa, kau tidak apa?" Kepala Aksa menggeleng singkat sebagai balasan. Membuat sang ibu menarik napas lega. Kemudian, menyunggingkan senyum manis. "Kalau nanti kau punya anak, tolong bawalah dia datang untuk mengunjungiku. Aku ingin suasana rumah ini kembali hidup." Aksa menunduk dalam. "Untuk yang satu itu, aku tidak akan berpikir dua kali. Aku akan membawanya kemari sampai ibu bosan," katanya. Dan Ara tertawa manis. "Tidak, tidak. Ibu tidak akan bosan," balasnya dengan senyum. Aksa mendorong piring sarapannya menjauh. Menatap sang ibu yang masih sibuk menghabiskan sarapannya. Saat mata Aksa terus mengawasi, dan sampai pada sisa terakhir makanan yang ada di atas piring. "Asalkan ibu mau berjanji padaku," Aksa mendapat perhatian penuh dari ibunya. "Untuk terus seperti ini. Ibu harus sehat. Kalau pun suatu hari nanti keadaan memaksa ibu untuk kembali pergi ke rumah sakit, ibu tidak akan menolaknya." Ara menarik napas panjang. Menatap nanar pada guci yang terletak di atas lantai dengan senyum hangat. "Ibu berjanji. Karena mendengar anak ibu akan menikah, ibu menjadi lebih bersemangat." Aksa tidak tahu harus berkata apa sekarang. *** Adelia terpaku. Menatap pada Devan Ara yang sudah menunggu di depan pintu masuk butik ternama. Matanya melirik sosok yang berdiri dibelakang kursi roda hitam itu, dan sapaan calon ibu mertuanya membuat lamunan Adelia pecah. "Kemari, sayang." Adelia menutup pintu mobilnya. Terburu-buru untuk menguncinya saat dia berjalan mendekat, menunduk untuk menyapa Ara yang masih terus tersenyum hangat. "Aku minta maaf karena terlambat. Aku punya rapat dan ternyata melebihi jam bubar." Kepala Ara menggeleng ramah. "Tidak apa-apa. Aku sangat senang melihatmu datang. Hampir saja aku memaksa Aksa untuk pergi menjemputmu." Aksa menunduk menatap ibunya datar. "Aku tidak akan meninggalkan ibu sendiri di sini." Adelia mendongak, menatap mata kelam itu dan menggeleng pelan. "Aku tidak apa. Aku terbiasa pergi sendiri. Cukup Aksa memberikan alamatnya padaku, aku akan datang." Ara dengan senyum mengulurkan tangan, mengusap pipi Adelia dari jarak dekat. Dan Adelia mendadak kehilangan napasnya. Menatap pancaran mata hangat calon ibu mertuanya yang tulus. "Ayo, masuk." Pegawai ramah itu membantu membukakan pintu masuk untuk mereka. Mengucapkan selamat datang dengan suara hangat, dan Adelia disambut beberapa koleksi terbaru yang sengaja dipajang di dalam toko. "Melihatnya saja sudah membuatku senang," pekik Ara riang. Membuat Adelia membeku. Menatap satu-persatu gaun pengantin yang sama sekali tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. Memakai gaun di acara pernikahannya sendiri? Adelia bahkan sempat berpikir untuk menikah dengan cara sederhana yang tidak perlu memakai pesta dan gaun. "Aksa, bawa ibu ke sana. Aku ingin melihat model gaun cantik itu." Aksa mendorong kursi roda itu mendekat. Ke tujuan yang ibunya mau. Ara menatap lekat gaun cantik memikat hatinya. Senyum tidak lepas dari wajah pucatnya. Devan Ara yang mulai pudar karena usia. "Aku akan membayar dengan kartu. Hitung saja semua belanjaannya." Adelia melepaskan tatapannya dari Devan Ara dan berpindah pada sosok yang berdiri di dekat meja kasir. Merogoh sesuatu dari dalam tas mahalnya, dan mengeluarkan kartu dari dompet bertekstur kulit buaya yang mencolok. "Sebentar, Nyonya." Terdengar pekikan halus darinya. "Apa aku terlihat setua itu sampai kau panggil dengan Nyonya? Usia anakku baru lima tahun, dan aku belum setua itu." Adelia mengembuskan napas panjang. Ingin beranjak menghampiri si pembeli yang terlihat angkuh dan pamer, Adelia harus menahan dirinya untuk tidak terkejut karena lengannya tertarik seseorang. "Kau datang untuk memilih gaun bersama ibuku. Bukan melabrak perempuan di depan sana," desis Aksa dingin pada telinganya. Pandangan mata Adelia turun melihat cengkraman tangan Aksa pada lengannya. "Siapa bilang aku ingin melabraknya?" "Oh, ya?" Aksa mengendik pada tas yang dibawa gadis itu. "Kalau saja kau membawa pisau lipat atau parang, aku yakin kau akan membunuh perempuan itu di depan sana. Membuat kacau satu butik." Adelia mendorong tangannya menjauh dari jangkauan tangan Aksa. "Sepertinya, kau mulai tahu siapa dia dan apa yang membuatku marah." Aksa mengangguk datar. Matanya melirik pada sang ibu yang masih berkeliling ditemani pegawai butik. Yang dengan sabar membantunya melihat-lihat koleksi sekitar. "Aku tidak tahu dia," balas Aksa acuh. "Dan aku juga tidak mau peduli." Adelia berdeham. Menyelipkan satu anak rambutnya yang keluar dari ikatan tinggi rambutnya ke belakang telinga, dan menatap pada Ara yang masih sibuk melihat-lihat. Memilih untuk menghindari konfrontasi, Adelia berjalan dengan sengaja menabrak bahu pria itu. Membuat Aksa mendengus dingin, melirik pada perempuan muda yang masih sibuk berceloteh tentang kekayaan dan koleksi pakaian mahalnya, lalu pada getaran ponsel di saku jas mahalnya. "Sebentar, Zura." Aksa menatap sang ibu yang kini bersama Adelia pergi untuk melihat-lihat. Adelia menawarkan diri untuk mendorong kursi rodanya, membuat ibunya tersenyum lebar. Dengan semangat, menunjukkan rancangan gaun yang menarik perhatiannya pada calon menantu. Aksa mendorong pintu kaca itu terbuka. Membiarkan Arion Zura bicara lebar mengenai tender mereka yang baru, dan meminta Aksa untuk datang rapat sebentar lagi. "Aku akan datang sepuluh menit lagi. Tahan mereka semua sampai aku datang." "Baik, aku akan menahan mereka sesuai kemauanmu. Apa kau bersama Adelia sekarang?" "Dia bersama ibuku di dalam butik." "Tidak apa. Atur saja sesuai yang kau mau. Aku akan menunggu sepuluh menit sampai kau kembali." Aksa mematikan sambungan telepon mereka. Menatap datar pada ponselnya sendiri. Saat dia mendengar suara pintu terbuka, dan menemukan perempuan yang baru saja membayar belanjaannya terpaku menatap dirinya. "Ah, Devan Aksa. Benar?" Perempuan muda itu menghampirinya. Aksa terdiam selama beberapa saat. Menilai sekaligus menebak-nebak berapa usianya. "Namaku, Sara. Kemarin aku datang ke pestamu. Kau tidak melihatku datang?" Aksa menggeleng. "Terlalu banyak tamu yang tidak aku kenal," akunya jujur. Mengabaikan uluran tangan Sara dan melengos pergi begitu saja masuk kembali ke dalam butik. Membiarkan Sara mendengus marah. Langkah Aksa terhenti tatkala menemukan Adelia mematung di samping kursi roda ibunya. Yang melihat Aksa sedang bercengkrama dengan gadis lain di depan butik. "Dia siapa? Apa kau mengenalnya?" Kepala Aksa menggeleng singkat. "Tidak sama sekali. Aku tidak tahu." Dan membiarkan Adelia yang memilih untuk tetap diam sampai urusan mereka selesai.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN