4

1763 Kata
"Aku tidak masalah kalau kau mempercayakan semua persiapan pernikahan padaku. Hanya saja, tidak terlalu cepat?" Decakan dari Aksa membuat Arion Zura bungkam. Terkesan cuek, Zura mengangkat tangannya. Pertanda menyerah. "Oke. Baiklah. Aku bisa apa dengan calon pewaris tahta sepertimu." Aksa menunduk. Menatap pada cangkir kopinya yang telah dingin. Napasnya berhembus kasar, membuang pandangannya ke arah lain. Aksa merasa menatap bunga tulip yang sedang kuncup lebih baik dibanding dia harus tenggelam mendengarkan lantunan musik sendu yang membuat suasana hatinya berantakan. "Aksa," panggil Zura lirih. Aksa masih diam. "Kau membawa lukamu ke dalam pernikahanmu sendiri," Zura mulai serius kali ini. "Apa semua akan baik-baik saja? Pernahkah otak jeniusmu memikirkan hal ini? Di masa depan, tidak hanya kau yang terluka. Tapi, Adelia. Apa kau tidak berpikir mengapa dia mau menerima ajakanmu menikah?" Kalimat panjang Zura berhasil membuat atensi Aksa berpindah. Semula dari bunga tulip dalam pot gantung, kini berpindah pada lautan biru yang tampak redup. "Adelia tidak mungkin punya luka sedalam diriku." Zura nyaris membalik mangkuk gula kubus di atas meja. "Kau yakin? Aku rasa, kau perlu bertanya pada Aqilla Dira. Kemungkinan besar, Dira tahu apa yang terjadi pada sahabatnya. Itu pun kalau Adelia terbuka padanya." Aksa termenung selama beberapa saat. "Apa yang perempuan muda punya selain harga dirinya sendiri? Adelia ada di usia yang sama denganku. Lukanya pasti berdasarkan patah hati karena dikecewakan berulang kali, kan?" Zura terdiam. Otaknya mencerna kalimat polos Aksa. Sebelum dia berdeham, mengaduk kopinya yang tidak lagi panas dengan sorot bingung. "Aku tidak tahu. Tapi, sepertinya dia sedikit paham tentang mengurus para pria di rumah," bisik Zura. "Dia pernah berkencan. Itu bukan masalah," balas Aksa masam. "Aku sama sekali tidak keberatan dengan masa lalunya. Selama itu tidak membuatku kesulitan, aku baik-baik saja." Aksa berdeham. Kembali melemparkan tatapannya ke luar jendela. "Karena jika ini datang dari masa laluku, itu tidak akan pernah merusak apa pun di masa depan." Zura menghela napas berat. Beban yang ia pikul, bertambah berat mendengar kalimat Aksa yang baru saja meluncur bebas. "Itu tidak merusak apa pun, tapi merusak dirimu dan diri ibumu. Benar?" Kepala Aksa tertunduk. Menarik napas untuk kembali mengendalikan mimik wajahnya yang sempat retak. "Aku tidak akan membahas ibuku sekarang. Sampai aku mati, aku akan terus mencoba." "Oke. Lupakan," Zura menurunkan tatapannya. "Bagaimana dengan rumah? Kau membeli yang baru, atau berpikir untuk tinggal di apartemen mewah?" Aksa kembali menoleh. Menatap Zura datar. "Aku membeli rumah. Setelah semua urusan selesai, aku akan memberitahumu." Alis Zura terangkat. "Ah, jadi kau sedang dalam proses tawar-menawar dengan agen penjual rumah ini? Atau, dengan pemilik lama?" Aksa mendesah. "Pemilik rumah." "Kenapa dengannya?" "Sang suami bersikeras menjual rumah itu, dan istrinya menolak. Mereka bertengkar setiap kali aku datang. Aku bertanya, karena aku membutuhkan rumah itu." Kedua bahu Zura terangkat. "Kau tidak mudah tertaut dengan properti atau barang cantik sekali pun. Bahkan, saat orang-orang histeris melihat benda unik, kau akan bilang membosankan. Jadi, apa istimewanya rumah itu?" Kali ini, Aksa memilih untuk diam. Dan Zura tidak perlu memaksa Aksa bicara. Karena pria itu sudah tahu jawaban apa yang tertahan di dalam pikiran sahabatnya. "Aku berdoa untukmu, Aksa." Lagi-lagi, Devan Aksa memilih untuk diam. *** "Kau seharusnya tidak perlu repot-repot datang ke kantor dan membawaku pergi untuk makan malam. Aku bisa pergi dengan mobilku sendiri." Adelia kembali mengedarkan pandangannya ke dalam restauran yang sepi. Kenapa Aksa harus memilih tempat sesunyi ini untuk mereka bicara? Selain lantunan musik klasik dari piano yang berbunyi tanpa ada yang menyentuhnya. Kunyahan daging di mulut Adelia terhenti kala dia melihat Aksa mengeluarkan sesuatu dari saku jasnya. "Berikan nomormu. Bagaimana bisa aku menghubungi kalau aku tidak tahu nomor ponselmu?" "Ah," Adelia mendengus menahan geli. Menaruh pisau dan garpunya untuk meraih ponsel itu. "Kenapa kau tidak memintanya kemarin? Saat aku datang ke pestamu." Aksa menggeleng acuh. "Aku lupa." Adelia mengetikkan nomor pribadinya dengan santai. Kembali memberikan ponsel mahal itu pada pria yang tampak sibuk menyantap makan malamnya. "Kau terlihat lapar. Sebelumnya, kau tidak turun untuk makan siang?" "Hanya dengan roti isi dan kopi," balas Aksa datar. "Itu terdengar seperti menu sarapan dan bukan makan siang," sela Adelia santai. Mengangkat bahunya dengan bibir menipis. "Apa kau alergi terhadap sesuatu?" Atensi Aksa beralih. Dari piring berisi daging sapi yang dipanggang matang bersama sosis dan kentang goreng. Lalu, pada sepasang mata teduh yang menatapnya penuh ingin tahu. "Makanan? Aku memilikinya." "Apa?" "Jamur." "Ah, kalau begitu kita sama," Adelia menunduk untuk memotong sosis besar itu menjadi tiga bagian. "Aku tidak terlalu suka dengan olahan jamur. Saat aku mencoba memakannya, kulitku akan memerah." Kepala Aksa terangguk. "Kau punya mantan kekasih?" Alis Aksa tertaut. Menatap Adelia dengan pandangan tak terbaca. Aqilla Dira melantur? Berkata kalau Adelia adalah perempuan tidak tersentuh. Tapi, mengapa gadis ini terlihat biasa saja dan bahkan tidak berhenti mengajaknya bicara? "Aku tidak pernah benar-benar berkencan. Jika kau bertanya saat masa remajaku, aku akan berkata ya. Tapi, untuk saat-saat ini tidak ada." Adelia menghela napas. "Aku hanya ingin memasang sikap baik saat mendengar keributan yang berasal dari teman tidurmu. Kalau-kalau mereka mengamuk di depan gerbang rumah." Rahang Aksa mengetat. Saat dia menaruh pisau makannya, memandang Adelia dingin dengan kening mengernyit. "Lalu, bagaimana denganmu? Aku berharap banyak padamu. Untuk tidak membuatku kesulitan jika mantan kekasihmu mengacau." Adelia mendengus. Ekspresinya terlihat gelap saat dia kembali menatap sepasang manik kelam tanpa ujung. "Tidak ada mantan kekasih. Tapi, mungkin kau sudah tahu ini. Aku punya seseorang yang akan dijodohkan denganku. Aku tidak ingin ada kebohongan. Kau masih bisa berlari mundur untuk membatalkan semuanya. Aku menyetujui ide gilamu karena hidup bersama Dexa Daro akan membawaku terjebak di neraka." Aksa terpaku diam. "Dexa Daro?" "Putra bungsu dari pasangan Kazekage dan Karura. Mantan pejabat yang pernah menduduki posisi tertinggi pada anggota dewan. Ayahnya mungkin tidak lagi berperan penting di layar kaca. Tapi, siapa tahu? Ternyata Kazekage masih sangat berkuasa di dalam partai dan kubu oposisi." Aksa mulai tertarik. "Jadi, karena ini kau menyetujuinya? Bukan seperti alasanmu saat itu? Yang ingin melarikan diri dari rumah?" Adelia menghela napas. Menatap datar pada daging dan sosis di atas piring. "Itu alasan pertama. Alasan kedua adalah Dexa Daro. Dan alasan ketiga, karena ibuku." Aksa kembali diam. Tidak memberikan respon berarti selain anggukan kepala. "Tidak ada kesepakatan?" Aksa terdiam kaku. Dalam diamnya, tidak ada objek lain yang mampu menarik perhatiannya selain pada mata gadis itu yang bersinar dalam arti lain. Yang membuat Devan Aksa menerka-nerka kesan apa yang Adelia tulis dalam kepala tentangnya. Kepala itu menggeleng datar. Membuat Adelia membisu. "Tidak ada. Kesepakatan agar kita berdua tidak saling jatuh cinta? Klise. Karena apa pun yang berawal dari kesepakatan, semua akan berbanding terbalik. Akhir ceritanya akan berbeda. Benci berubah menjadi cinta." Adelia menipiskan bibir. Mengerti kemana arah pembicaraan Aksa sekarang. "Sedangkan, kita berdua? Aku tidak membencimu. Kau pun sama. Kesan pertama kita bisa dikatakan baik. Lantas, apa? Kita akan baik-baik saja tanpa kesepakatan." Adelia menunduk untuk mengulum satu senyuman tipis. "Karena kita berdua tahu, akhirannya akan sama. Tanpa kesepakatan pun, kau dan aku sama-sama membiarkan semua ini berjalan semestinya. Sampai kita berdua bosan dan memutuskan untuk pisah secara baik-baik?" Aksa mengangguk puas. "Kau mengerti tanpa perlu kujelaskan." "Kita bertemu secara baik-baik, dan saat berpisah nanti pun, harus dengan cara yang sama. Tidak perlu meninggalkan dendam satu sama lain?" Aksa mengangkat bahu. "Aku tidak punya ide untuk menyakitimu. Lagipula menikah atau tidak, aku akan tetap sama." Adelia menghela napas panjang. Sesekali matanya melirik pada kasir yang tengah menghitung uang dan pada pelayan yang silih-berganti membersihkan meja. "Itu berarti, tidak ada perselingkuhan?" "Selingkuh tentang rasa," balas Aksa dingin. "Kalau kau tidak punya rasa, kau tidak akan peduli dengan apa yang akan kulakukan nanti. Sekali pun aku tidur bersama perempuan lain di depanmu." Adelia menarik napas. "Kalau begitu, arti tidak menyakiti disini adalah kau tidak akan bermain kasar dengan mengangkat tanganmu padaku?" "Kau benar." Adelia mengangguk. "Aku mengerti. Kalau pun aku bersama pria lain, kau tidak akan marah." Aksa mendengus pelan. Menatap gadis itu dengan pandangan mencela. "Kau serius? Reputasimu terkenal baik-baik. Kau tidak suka bermain dengan pria. Atau aku salah?" "Kau akan melihatnya nanti setelah aku ada di sekitarmu. Tinggal di atap yang sama, mungkin akan membuatmu lebih mengenal siapa aku dibanding menurut mulut orang lain." Tatapan mata Aksa jatuh pada surai merah muda lembut yang tergelung asal. Saat Adelia turun dari tangga teras kantornya, rambut itu masih tergerai indah. Dan kali ini, tergelung acak untuk tidak mengganggu saat dia makan. "Dan satu lagi, aku bukan perawan." Bola mata itu bergulir menatap Adelia yang tampak santai saat mengatakannya. Membuat Aksa menarik punggungnya untuk lebih tegak. Mengangkat alis saat menikmati pemandangan Adelia makan di depannya. "Kenapa tiba-tiba?" "Hanya ingin menilai reaksimu," balas Adelia dingin. "Kau juga bukan tipe pria baik-baik yang menginginkan perempuan penurut tinggal bersamamu. Kau tidak akan meniduri mereka yang masih tersegel rapat, bukan?" Lama Aksa diam. Dan Adelia berpikir, kalau pria itu tersinggung atas kata-katanya. Namun, semua pikiran buruk itu seketika lenyap melihat reaksi geli Aksa yang terang-terangan meledek ke arahnya. "Kenapa kau tersenyum?" Adelia mulai merinding sekarang. Aksa menyesap anggur di gelas kaca dengan dengusan tipis. "Kenapa tidak? Aku hanya tersanjung padamu. Berkat dirimu yang pintar menilai situasi, aku tidak perlu menjelaskan siapa diriku. Dan bagaimana aku bertindak nanti setelah menjadi seorang suami." Adelia mengangguk singkat. "Oh," kembali menunduk untuk memotong kentang rebusnya. Saat pelayan datang untuk menuangkan anggur baru, dan Adelia menolak. Meminta mereka membawakan segelas air dingin untuknya. "Satu hal yang aku tahu," Adelia masih belum menoleh untuk membaca ekspresi Devan Aksa sekarang. "Aku sama sekali tidak menyesal karena Aqilla Dira membawamu padaku. Kau punya kesan baik di awal pertemuan kita, Delana Adelia." Adelia tiba-tiba mendengus kasar. Membuat kening Aksa mengernyit dalam tatkala menemukan Adelia tidak lagi berminat pada piring makan malamnya. Dan memilih untuk memainkan pisau di atas daging, lalu memutarnya dengan pandangan dingin. Mendengar pelayan menuangkan air dalam segelas yang telah diisi penuh dengan es berbentuk kristal, pelayan itu membungkuk setelah menyelesaikan tugasnya. Membiarkan mereka berdua kembali diselimuti sepi. "Tolong. Jangan pernah sekali pun memanggilku bersama marga itu. Aku tidak terlalu suka mendengarnya—," Aksa mengangkat alis saat Adelia mendadak melepas jemarinya dari pisau itu dan membuatnya terjatuh di atas piring. Berbaur dengan kerasnya bunyi piring yang beradu besi pisau. "—Delana hanya pantas untuk ibuku. Bukan untukku." Aksa semakin tidak mengerti. Ketika Adelia menarik napas panjang. Melemparkan tatapannya sejenak pada lentera yang tergantung di tepi jendela restauran. "Margaku sebenarnya Aile. Aile Adelia. Bukan Delana Adelia." Aksa terpaku selama beberapa saat. Kala bola mata sehijau hutan pinus itu balas menatap matanya yang dingin, dan Aksa tidak menemukan adanya kebohongan atau lelucon menari-nari di matanya. Selain rasa sakit. Yang berusaha Adelia pendam dengan memutuskan sepihak kontak mata mereka. Lalu, menunduk untuk melihat piring makan malamnya sendiri yang membuatnya mual.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN