EMPAT

1585 Kata
Things I don't say out loud When I hate the situation or that person ... instead try to adjust the situation and try to act good at that moment - Hari Chandana - Kudengar suara bertepuk tangan ketika kusudahi permainan gitarku. Leo berada di ambang pintu memperhatikanku entah sejak kapan. Ia melihat ke arah gitar yang kupegang. "Rosa yang menemukan ini dan meminjamkannya padaku," kataku sambil berdiri. Ia hanya tersenyum dan mengangguk sambil berjalan ke arahku. Aku berjalan dan meletakkan gitarnya di sudut ruangan. "Permainan gitar kamu bagus, Rei. Suara kamu juga," pujinya. "Terima kasih, Mas," sahutku malu-malu tapi tersanjung dengan pujiannya. Leo menghela napasnya, "Sebetulnya kami memerlukan penyanyi tambahan. Kalau kamu mau, kamu bisa mengisinya Rei," cetusnya, "kamu akan dapat bayaran dua kali lipat—bagaimana?" tanyanya dengan mimik serius. Dadaku melonjak senang, mungkin mataku juga berbinar sekarang, karena senyum Mas Leo terlihat lebih lebar dari sebelumnya, ekspresiku seolah-olah sudah menjawab semuanya. Aku suka bernyanyi, ditambah aku memang memerlukan uang lebih untuk menopang hidupku sekarang. "Tapi aku enggak punya pengalaman bernyanyi Mas," jawabku. "Selalu ada yang pertama untuk semua hal, Rei. Kalau karena kamu belum berpengalaman dan kamu menolak tawaranku, lalu kapan kamu akan punya pengalaman?" katanya masuk akal. Mas Leo benar, kemudian aku mengangguk malu-malu, "Baiklah, aku mau mencobanya, Mas." "Bagus! Kamu bisa mulai malam ini ya, sebagai percobaan satu atau dua lagu saja, tidak masalah," katanya. *** Tepuk tangan terdengar tepat di saat aku mengakhiri laguku, tepuk tangan Mas Leo paling keras sepertinya. Awalnya aku sangat gugup, namun karena dukungan Mas Leo dan teman-teman band di panggung aku bisa mengatasinya dan berakhir dengan baik. Aku melihat ke arah Mas Leo yang menganggukkan kepalanya ke arahku sambil tersenyum dan memberikan dua jempolnya padaku. Namun ada hal yang membuatku tercengang, yaitu sosok laki-laki yang berada di belakangnya. Laki-laki itu melihat ke arahku dengan ekspresi aneh. Aku turun dari panggung kecil itu dan menghampiri Mas Leo di kursi bar untuk beralih pekerjaan lagi menjadi pelayan. "Kirei! WOW! Aku enggak bisa berkata-kata. Suara kamu perfect!" katanya memujiku berlebihan. Di sebelah Mas Leo ada Elang yang menatapku dengan sinis. "Biasa aja suaranya," cibirnya sambil berdecak. Seharusnya dia tidak datang malam ini, karena baru kemarin dia dari sini kan. Apa dia akan setiap hari muncul di cafe? "Thanks!" ujarku, entah mau diartikan aku menjawab pujian Mas Leo atau celaan Elang. Leo berdecak dan mendorong pundak Elang. Ia tidak perduli walau Elang menatap sebal ke arahnya. Mungkin ia sudah sangat terbiasa dengan sifat Elang yang sinis itu. "Tidak perlu di dengar Rei. Dia memang tidak tahu caranya memuji, biasa saja menurutnya itu berarti bagus sekali!" ujarnya. Terdengar suara decakan yang keras dari mulut Elang sembari duduk di depan meja bar. Sedangkan aku sendiri sudah berada di balik meja bar lengkap dengan apronnya—seragam café. Leo mengikuti bosnya, "Ngomong-ngomong aku baru tahu kalau kamu satu kampus sama Elang, Rei," cetus Mas Leo mengambil tempat duduk di sebelah Elang. Aku tersenyum miris menanggapinya seraya merapikan gelas kosong yang ada di meja bar. "Iya Mas...," sahutku malas. "Panggil Leo saja seperti yang lain, Rei," ujarnya. Aku mengangguk pelan, "Iya...." Leo tersenyum miring sambil melirik ke Elang dan aku bergantian. Kemudian matanya beralih ke belakang Elang, membuatku ikut melihat ke arah yang sama dan mendapati seorang gadis cantik yang sedang berjalan mendekat ke arah kami. "Leo, Elang ... apa kabar?" sapanya merdu setelah mendekat, kemudian ia melihatku, "Ehm, jus orange ya, dingin!" katanya sambil tangannya memberiku kode untuk segera membuatkan pesanannya. Wanita itu menarik kursi di sebelah Elang menjadi lebih dekat lagi, kemudian duduk di sana. Elang melengos dan minta dibuatkan minuman lain untuknya pada bartender, sedangkan aku membuatkan jus orange untuk gadisnya itu. Aku mengangsurkan gelas jus itu ke mejanya dan tidak sengaja harus melihat gadis itu sedang memeluk tangan Elang dari samping—dan payudaranya yang besar itu menempel di lengan Elang dengan sempurna, tapi cowok itu tetap bergeming di tempatnya, tidak terlihat risih sama sekali. Ya tentu saja! Bahkan sangat terlihat kalau dia menikmati keintiman yang disodorkan wanita itu. Eh kenapa aku harus sewot ya? Tapi aku merasa ada sesuatu yang aneh di dadaku ketika melihat gadis itu terus menempel terus pada Elang—seperti cicak saja. Dan cowok itu tidak menepisnya atau bahkan menghindarinya. Leo memajukan kepalanya melewati Elang untuk melihat ke arah gadis itu, "Hai Cheva, sudah lama enggak main ke cafe, tumben," tegur Leo. "Iya, biasa Le, banyak urusan. Kebetulan sekarang lowong, jadi gue pikir bisa ketemu Elang di sini ... eh untung orangnya ada, kangenlah gue sama Elang," jawabnya sambil membelai pipi Elang yang kali ini mendapat respon dengan wajahnya yang sedikit menjauh—terlihat risih. "Dia lagi jual mahal nih, enggak balas-balas telepon dan pesan w******p gue...." Tangannya sekarang mengusap leher Elang. "Lo pasti kangen gue juga, kan Lang?" tanyanya dengan gaya manja yang membuatku mual dan memilih untuk melemparkan pandangan ke objek lain dari pada aku harus muntah melihat gayanya yang murahan itu. *** [Lo lebih mendingan kalau rambut lo digerai gitu.] Alisku berkerut karena syok mendapati pesan seperti ini dari nomor tidak kukenal. Tapi perasaanku mengatakan pengirim pesan ini bisa melihatku sekarang. Mataku mengedar ke seluruh penjuru ruangan kantin mencari seseorang yang mencurigakan. Aku memilih untuk mengabaikan pesan iseng itu. [Nyariin ya? Cari aja yang paling keren di kampus ini.] Keningku makin berkerut mendapat pesan berikutnya yang narsis. Ina dan Ruth melihatku dengan tatapan penuh selidik, "Kamu kenapa, Rei?" tanya Ina. "Huh? Enggak apa-apa," sahutku grogi. [Tanya temen sebelah lo deh, dia dari tadi ngeliat ke arah gue terus tuh...] Punggungku menegak tanpa alasan. Aku terbatuk sambil menghela napas panjang. Elang? Mau apa sih cowok itu kirim pesan aneh seperti tadi? [Apa maksud kamu?] Akhirnya aku membalasnya. [Gue mau ajak lo ke suatu tempat.] Huh? Dia pikir aku mau? Mataku mencari lagi sosoknya dan menemukannya di ujung ruangan—agak tersembunyi dari teman-temannya. Ia melihat ke arahku sambil tersenyum aneh. Aku bisa membayangkan titik hitam pada pipinya itu adalah lesungnya yang mendalam. Ya ampun Rei! Fokus! Fokus! [Kalau lo nolak, gue ajak temen lo yang aneh itu dan bisa dipastikan dia enggak akan nolak gue, kan?] Dadaku meradang karena marah, Apa Elang bermaksud mau mempermainkan perasaan Ruth? [Jangan berani-berani mempermainkan Ruth!] [Oke, kita ketemu di parkiran motor ya!] Di ujung sana Elang melambaikan ponsel dan tangannya sambil menyeringai. Aku mendengkus pelan dan kembali fokus pada Ruth dan Ina, sambil berpikir apa yang dia mau sih sebenarnya? *** Setelah terpaksa mencari alasan untuk menghindar dari Ruth dan Ina, aku menghampiri Elang yang sudah menungguku di atas motornya, dagunya memberi kode agar aku segera naik di belakangnya. "Kita mau kemana?" "Lo banyak tanya ya. Cewek lain langsung loncat ke belakang gue tanpa disuruh lagi," katanya. "Dan aku bukan cewek lain!" sahutku kesal. "Naik atau gue bawa temen lo yang gampangan itu!" Mataku membulat menatapnya, mulutnya benar-benar harus dikasih les tambahan sepertinya. "Jangan bilang Ruth—." "BAWEL! Cepetan naik!" bentaknya memotong kalimatku. Sambil menggerutu kesal aku naik juga ke motornya yang tinggi itu, setelah duduk di belakangnya aku bingung harus berpegangan pada apa demi keamananku. Apalagi ketika Elang mulai melajukan motornya dengan kencang, hampir tubuhku terjengkang ke belakang kalau saja tanganku tidak sigap meraih jaketnya dan mencengkeramnya dengan kuat. Elang melajukan motornya seperti orang gila, meliuk-liuk membelah keramaian lalu lintas. Aku tidak mungkin bertahan hanya berpegangan pada jaketnya—karena itu dengan terpaksa aku harus memeluk pinggangnya. Padahal awalnya aku menolak keras sarannya itu, karena terus terang darahku seperti dialiri listrik saat aku menyentuhnya sedikit saja. Tapi sekarang aku memeluknya dengan erat, bahkan aku merasa payudaraku menekan punggungnya—untung ia dilapisi jaket kulit yang tebal. Jantungku berpacu sama kencangnya seperti motornya yang lari dengan kecepatan di atas 120km/jam saat ini. Cepatnya detak jantungku ini tidak jelas penyebabnya, entah karena aku yang menempel pada punggung Elang seperti cicak atau karena Elang mengendarai motor seperti orang gila? Sepertinya aku pernah mengatakan ada wanita seperti cicak yang senang menempel pada Elang, dan buruknya aku merasa menjadi salah satunya. Tapi ini karena kondisi darurat, bukan karena aku yang menginginkannya. Kalau aku tidak memeluknya seperti ini, bisa membahayakan keselamatanku sendiri, jadi ini bukan keinginanku sepenuhnya—ini darurat—aku terus berpikir seperti itu berulang-ulang. Walau aku akui, sangat nyaman memeluknya seperti ini, punggungnya keras dan hangat—aku—aku suka memeluknya. Aku masih memeluknya dengan mata terpejam walau kurasakan laju motornya mulai melambat. Samar-samar kudengar suara ombak yang bersahutan dan merasakan angin menerpa wajah dan rambutku. Kubuka mataku dengan perlahan dan tercengang melihat bahwa aku benar-benar ada di pantai. "Heh, lo mau sampai kapan peluk gue?" semburnya membuyarkan lamunanku, ketika itu juga aku melepaskan pelukanku dan kurasakan wajahku yang memanas merah padam. "Mau apa kita di sini?" "Lo pasti inget kan Pak Yanuar ngasih lo tugas apaan?" tanyanya sambil mematikan mesin motornya, "atau lo yang perlu bimbingan?" Dahiku berkerut, Pak Yanuar memang memberi syarat untuk pemberian beasiswa berikutnya, yaitu memberi bimbingan khusus untuk Elang. Tentu saja aku menolak, namun beliau mengancam beasiswaku yang akan hilang. Dan sampai saat ini aku belum memberi jawaban padanya. Tapi sepertinya ia sudah berbicara pada Elang. Aku berdecak sambil turun dari motornya, "Kenapa harus jauh-jauh ke sini sih? Di kampus kan bisa?" keluhku. "Ck! Lo banyak protes ya?!" ketusnya seraya turun juga dari motor besarnya itu. Embusan angin yang datang, ditambah suara debur ombak yang tenang membuat pikiran menjadi lebih rileks. Kupejamkan mata sebentar saja untuk menikmati angin yang menerpa wajah dan tubuhku. Aku merasa semakin rileks saat fokus mendengarkan suara deburan ombak yang berlomba mencapai pantai lebih dulu. "Lo pasti lagi bayangin yang jorok-jorok kan?" Dan mataku terbuka sempurna seraya menatapnya kesal. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN