LIMA

2316 Kata
Hargai orang yang membencimu, karena dia adalah penggemar yang telah menghabiskan waktunya hanya untuk melihat setiap kesalahanmu "Issh!" Suara Elang benar-benar membuyarkan konsentrasiku yang sedang menikmati suara deburan ombak. Aku berdecak dan menatapnya tajam, kemudian mengeluarkan ponselku. "Gue salah apa?" tanyanya dengan muka innocent. "Banyak! Pertama kamu memaksaku ikut naik motor kamu. Kedua, kamu mengendarai motor seperti orang gila dan hampir membuat jantungku berhenti! Dan ketiga kamu menganggu ketenanganku sekaligus menuduhku berpikir jorok!" Elang menyeringai sambil melengos, "Jantung lo mau berhenti itu bukannya karena lo nempelin dua gunung lo yang kecil itu ke punggung gue!?" ujarnya seraya menoleh ke arahku dan menunjuk ke dadaku dengan kunci motornya. Hah? m***m dasar! Pelecehan dan penghinaan sekaligus! Dia menghina ukuran dadaku yang kecil—75B—dan ini bisa dikatakan pelecehan karena dia menunjuk dan melihatke arah dadaku. Tentu saja dia bilang ukuran payudaraku ini kecil, karena wanita yang ada di sekitarnya adalah wanita dengan d**a berukuran cup C! Mataku membulat ke arahnya. "Aku enggak akan peluk pinggang kamu kalau kamu bawa motornya pelan-pelan!" semburku kesal. Aku menggerutu kesal bila mengingat begitu banyak wanita yang dengan sukarela menyentuhkan dadanya di tubuh Elang. Ia duduk pada sebuah batu kecil yang ada di pinggir pantai. Aku mengikuti dengan duduk di sebelahnya. "Tiga atau empat kali seminggu!" seru Elang sambil melemparkan batu kecil ke arah laut. Aku memandangnya dengan dahi berkerut, "Huh?" sahutku terkejut, "itu kan sama saja hampir setiap hari?" Ia mengangguk, "Ya-iyalah! Nilai gue kan E semua, kalau enggak gitu, kapan mau naiknya nilai gue!" tukasnya. Dan tanpa kuduga Elang meraih ponselku, ia membaca jadwal yang kutulis di sana. "Apa ini Jum'at full?" tanyanya. "Jum'at adalah hari aku bersama teman-temanku," sahutku sambil merebut lagi ponselku dari tangannya dengan cepat. "Oke, berarti Senin sampai Kamis bimbingannya!" katanya sembari berdiri dan membuka kausnya, ia menoleh ke arahku sambil membuka celananya, "lo pake underwear kan?" Huh? Aku masih terkesiap melihat adegan Elang buka baju di depanku, dan sekarang ia hanya mengenakan boxer-nya saja. Akupun tidak menjawab pertanyaannya, karena ia sudah berlari menuju ke arah air yang berkilauan karena terkena sinar matahari. Tato pada lehernya terlihat makin jelas karena bagian atasnya yang polos tanpa kaus, ada juga gambar tato pada bagian tubuhnya yang lain. Aku menelan ludah dengan susah payah melihat punggungnya dari jauh yang ikut berkilauan terkena air laut. Memangnya dia bawa pakaian ganti? Aku tidak melihat ada bagasi lebih pada motornya—aku menoleh ke belakang—di mana motornya parkir. Elang berenang ke sana kemari di laut sana. Dia berulang kali melambaikan tangannya mengajakku ikut berenang bersamanya. Dan dengan konsisten aku berulang kali juga menolaknya, walaupun gemerlapnya air laut begitu menyilaukan dan menggiurkan. Tapi aku menahan diri untuk tidak bergabung dengannya ke dalam air. "Bu Lurah! Ayo buka bajunya! Lo enggak mungkin enggak pakai underwear, kan?" teriaknya lagi, masih saja berusaha membujukku masuk ke dalam air. Entahlah aku tidak terbiasa dengan mulut Elang yang kelewat santai menyebutkan hal-hal tabu. Ya memang tidak mungkin aku tidak menggunakan pakaian dalam kan? Apalagi ke kampus. Aku menggeleng. "Enggak!" sahutku dengan keras supaya dia mendengar. Dan kepalanya timbul dari air memandangku dengan mata membesar dan seringaian aneh. "Hah? Enggak pakai underwear?" tanyanya, "serius!?" Elang menampilkan ekspresinya yang kurang ajar. Ck, dasar otak m***m! Tapi anehnya dadaku menghangat mendengar celotehannya yang terdengar seperti godaan itu. Huush! Aku menggeleng sendiri mengusir pikiran aneh yang mulai merasuki kepalaku dan memilih fokus pada ponselku saja. Beberapa saat kemudian, aku melihat Elang dengan boxer-nya berjalan ke arahku. Mataku susah berkedip menatap perut dan boxer-nya yang hampir merosot melewati tulang V pada pinggulnya. Tenggorokanku dengan susah payah menelan saliva yang menumpuk. "Belum pernah lihat cowok setengah b***l ya?" tanyanya mengejutkan. Aku tergagap ketika sadar Elang sudah berada di depanku. Aku menggeleng dengan mulut masih terbuka. Elang meraih celananya, dan tangannya yang bebas meraih boxer yang melekat di tubuhnya dan sepertinya ia akan membukanya. Ya benar saja! Serta merta aku berteriak sambil mengitari sekitar dan memutar tubuhku membelakanginya sambil menutup wajahku. Manusia satu ini memang seenaknya saja kalau bertindak. Apa dia tidak merasa malu sudah membuat dirinya polos di tempat umum seperti ini? Ya, memang tidak ada siapapun di sini kecuali kami berdua sih, tapi tetap saja ini tempat terbuka! Gila. "Padahal tidak semua perempuan punya kesempatan bisa lihat gue begini lho," gumamnya keras dengan nada sedikit congkak. Aku hanya mendengkus dan menghela napas sekaligus, wajahku pasti merah padam karena malu sekarang. Dia yang b***l tapi kenapa aku yang malu. Aku menyahut masih memejamkan mata dan membelakanginya, "Maksud kamu, aku beruntung?" "Ya, kind of, " sahutnya. Tanpa sadar aku berdecak, "Sudah selesai?" tanyaku sembari menoleh sedikit ke arahnya, dan kulihat ia sudah berada di atas motornya. Elang memberi tanda agar aku segera naik di belakangnya. Dan lagi-lagi, Elang melajukan motornya seperti orang kesetanan. Aku kembali memeluknya seperti tadi, bahkan mungkin lebih rapat dan lebih kuat dari yang pertama. Aku terus memeluknya sampai kami tiba di cafe. *** "Kirei," Leo menghampiriku di bar. "Aku mau undang kamu ke pestaku, nanti malam" ujarnya. "Pesta? Pesta apa?" Aku tidak terbiasa dengan pesta. "Teman-temanku mengadakan acara pesta ulang tahun untukku nanti malam," katanya. Aku tersenyum seraya menggeleng pelan, "Ehm, selamat ulang tahun Mas, tapi aku enggak bisa datang," ujarku cepat, "maaf ya Mas," lanjutku lagi. "Leo saja Rei, terkesan aku tua sekali kalau kamu panggil Mas," ujarnya protes aku memanggilnya dengan sebutan Mas lagi. "Kamu bisa panggil Langit dengan Elang aja kan? Aku sama Elang berada di umur yang sama lho...." katanya lagi seolah protes aku membedakannya dari Elang. Aku terkekeh ringan, "Iya deh, maaf ya Leo, tapi aku enggak bisa datang ke pesta kamu nanti malam," kataku menegaskan lagi. Laki-laki itu tersenyum kecut, penuh kekecewaan, "Kenapa Rei?" tanyanya dengan nada sedih. Duh aku paling tidak enak mengecewakan orang yang sudah baik padaku. Aku menggaruk-garuk pipiku yang tidak gatal, "Ehm, selain aku enggak terlalu suka pesta, aku juga enggak punya baju pesta...," kataku memberi alasan. Dan ia terkekeh, "Kirei, pestaku ini bukan pesta formil, kita cuma mau makan bersama-sama aja di pinggir pantai, santai kok," terangnya. "Huh? Malam-malam di pantai?" Aku menggeleng berusaha menolak ajakannya, dan bayangan Elang berenang di pantai dengan boxer-nya siang tadi kembali menari di benakku. Aku hanya mengatakan akan mengusahakan untuk datang, tapi tidak berjanji. Leo terlihat cukup puas dengan jawabanku. *** Jantungku berdentum keras ketika melihat Elang berjalan ke arah panggung dan meraih gitar, kemudian duduk menghadap pengeras suara dan mulai memetik gitarnya. Suara pengunjung yang sebagian besar wanita, terdengar mulai histeris dan bertepuk tangan dengan sangat keras. Mataku masih menatap ke arah panggung dengan takjub. Elang bisa bernyanyi? Suaranya bagus, dan aku yakin bukan hanya menurutku saja kalau suara dan penampilannya sangat menarik perhatian. Keriuhan pengunjung yang menagihnya untuk bernyanyi lagi ketika ia menghentikan aksinya membuatku semakin yakin bahwa suara Elang bukan hanya bagus di telingaku saja. Mungkin ini adalah salah satu daya tariknya yang membuat para wanita meleleh dan klepek-klepek bertekuk lutut padanya. Jujur untuk saat ini, Elang memang pantas diidolakan. Dan jantungku kembali meronta dan berdentum kencang lagi di saat pandangan mata kami tidak sengaja bertemu. Ditambah lagi dengan bayangan Elang tanpa busana tadi berkelebat di kepalaku dengan liarnya. Setelah memenuhi keinginan penggemarnya untuk bernyanyi lagi, Elang menyudahi perform-nya dan turun dari panggung kecil itu. Tepuk tangan meriah pun menggema demi mengapresiasi penampilannya barusan. Secara tidak sadar tepuk tanganku mungkin yang paling keras. Oh tidak, jangan sampai aku terjerat pesonanya. Elang itu b******k. Elang itu b******n. Elang itu player, badboy atau apalah sejenisnya! Laki-laki yang suka berganti-ganti wanita, tidak bisa berkomitmen dengan satu wanita, ia bukan kriteria lelaki idamanku. Selain lesung pipinya itu Elang bukanlah tipeku! Bukan—bukan—dan bukan! Please jantung yang baik, yang tenang ya ... aku bicara sendiri dalam hati. "Bos kita keren ya, Rei," ujar Rosa dari arah sampingku. Tanpa sadar kepalaku mengangguk dengan pandangan mataku masih melihat ke arah Elang yang sedang turun panggung dan dicegat oleh penggemarnya yang mengajak berfoto selfie. "Kamu suka ya sama si Bos?" tudingnya sembarangan. Mataku mengerjap dan seketika menjadi gugup karena tuduhan Rosa. "Ih enggak ya!" elakku seraya memalingkan wajahku dari Elang dan menyibukkan diri dengan mengelap meja bar yang sudah bersih—salah tingkah. Rosa mengikik geli, "Mulut kamu bilang enggak, tapi mata kamu enggak bisa bohong saat kamu melihat Bos Elang, Rei." Ya ampun, benarkah? Aku memilih untuk diam saja. "Lihat, sekarang aja pipi kamu merah tuh" ujarnya lagi, membuatku buru-buru menutup pipi dengan kedua tanganku dan menjauh dari Rosa dengan perasaan aneh. *** Aku masih di ruang ganti ketika jam sudah menunjukkan pukul sepuluh. Leo mengirimkan lokasi tempat pestanya berlangsung. Padahal aku belum menyetujuinya datang atau tidak ke pesta ulang tahunnya itu. Pesan dari Elang masuk ke ponselku. Aku sudah memberi nama pada nomornya tadi siang. [Gue tunggu lo di sini.] Maksudnya pasti di pesta Leo. Ini sudah larut malam aku harus naik apa ke sana? [Kalau lo enggak datang, temen lo itu yang gue suruh datang.] Pesan Elang masuk lagi dan mulai lagi dengan ancaman menggunakan nama Ruth, sahabatku. [Jangan coba-coba Lang!] [Di depan sudah ada taksi online, lo tinggal naik aja.] Ya ampun ... sebenarnya apa pengaruh kehadiranku di sana. Aku yakin pesta akan tetap berjalan sebagaimana mestinya walaupun aku tidak jadi datang. *** Sebuah restoran pinggir pantai yang beratapkan kayu dan jerami, sebuah restoran dengan konsep terbuka yang mengandalkan cuaca bersahabat. Restoran ini mungkin satu-satunya yang buka pada jam malam seperti ini. Deretan mobil yang parkir di depan restoran menandakan tamu restoran masih ramai, atau ini semua adalah tamu undangan Leo? Bagian depan hanya terlihat beberapa orang saja, itupun sepertinya pelayan yang terpaksa bekerja lembur karena pesta Leo ini. Aku bertanya tentang Leo pada salah seorang di antaranya dan mereka menunjuk bagian dalam restoran sebagai tempat pestanya. Aku menghela napas dan memberanikan diri untuk melangkah menuju ke tempat yang terdengar ramai sedang menyanyikan lagu ulang tahun. Beberapa kursi dari rotan dengan bantalan warna warni di atasnya menghiasi suasana restoran terbuka ini, sedangkan langit malam yang cerah menjadi atapnya. Angin laut menerpa wajahku ketika kakiku menginjak pasir pantai. Aku bisa melihat Leo yang sedang dikerumuni teman-temannya termasuk Elang, mereka tidak menyadari kehadiranku sampai seseorang melihatku dan mencolek Leo untuk menoleh dan berjalan ke arahku. "Kirei...," sapanya menghampiriku, "terima kasih sudah mau datang...," katanya dan mengajakku bergabung dengan yang lainnya. Aku bersalaman dengan beberapa temannya dan tidak mengingat satupun nama mereka semua yang memandang aneh padaku. Aku tahu seharusnya aku tidak berada di sini, pikirku sambil menelan ludah. Ketika Leo dan yang lainnya sibuk dengan urusannya masing-masing, aku memilih keluar dari sana dan mendapati Elang dan wanita—yang bernama Cheva itu— sedang sibuk bercengkrama dengan intim di sudut ruangan. Aku memalingkan wajahku ke arah pantai, demi menghindari melihat adegan memuakkan itu. Aku semakin yakin harus pergi dari tempat ini sekarang juga. Menungguku apanya?? gerutuku dalam hati. Kakiku membawaku melangkah ke arah laut, kulepas sepatu kets milikku dan menentengnya, merasakan dinginnya pasir pantai pada malam hari—ini belum pernah kulakukan. Aku tersenyum sendiri sambil memandang ke arah langit yang berbintang. Setidaknya ingin kunikmati dulu keindahan langit malam ini sebelum pulang. Kuletakkan sepatuku dipasir dan kujadikan alas untuk duduk sembari menarik napasku dalam-dalam menikmati udara pantai yang tenang. Namun seketika ketenanganku terganggu dengan suara gaduh yang terdengar begitu dekat denganku. Kepalaku menoleh ke arah suara dan melihat teman-teman Leo yang berlarian menuju ke laut sambil melepaskan baju mereka masing-masing. Mataku membelalak saat melihat mereka semua berlari dengan hanya menggunakan pakaian dalamnya saja menuju ke laut dan menenggelamkan diri di sana. Samar-samar kulihat Elang yang juga berlari ke arah laut sambil menggendong seorang gadis yang hanya menggunakan pakaian dalam saja dan mereka tenggelam bersama. Sontak aku berdiri dengan cepat dan menjauh dari sana. Tapi langkahku tertahan ketika kudengar suara teriakan yang diiringi tawa keras dari arah laut. Aku menoleh dan mendapati seorang wanita yang sedang diayun kemudian dilemparkan ke air begitusaja. Dua laki-laki itu tertawa puas dan gadis yang baru saja dihempaskan tadi bangkit dari air dan berjalan menuju pantai sambil ikut tertawa puas. Aku hanya menggeleng dengan pikiran aneh sambil kembali menggunakan sepatuku. Baru saja selesai sepatu melekat sempurna di kakiku, tiba-tiba tubuhku terangkat begitu saja oleh dua orang laki-laki yang baru saja melemparkan seorang gadis telanjang tadi ke laut. Aku berteriak panik dan meronta sebisa mungkin. Kakiku yang bebas melayang ke pangkal paha salah satu laki-laki yang membawaku. "AAKH!! SIAL!" ia melepaskan tanganku dan diikuti oleh laki-laki satunya. "Hei, gue pengin lo bersenang-senang aja! Dasar cupu!" Dia memakiku sambil mendorong pundakku. "Enggak ada orang yang dipaksa untuk bersenang-senang!!" balasku tidak kalah galak dan mendorong laki-laki tidak sopan itu agar tidak menghalangi jalanku untuk menjauh dari pantai. Tapi dia menahan tanganku dan menarik pinggangku, kemudian mendekatkan wajahnya padaku seolah ingin menciumku. Lagi-lagi aku meronta berusaha untuk melepaskan diri sekuat mungkin. "Ini juga cara untuk bersenang-senang manis...," ujarnya menjijikkan dan membuatku memejamkan mata sambil menggerakkan kepalaku ke kanan dan ke kiri dengan cepat, menghindari bibirnya. BUGH!! Suara itu bersamaan dengan lepasnya pegangan kuat pada pinggangku, ketika mataku terbuka—kudapati Elang sedang memukuli orang itu secara membabi buta. Suara teriakanku tidak digubrisnya sampai akhirnya Leo dan temannya yang lain datang dan menghentikan aksi Elang itu. Orang itu terkapar dengan wajah penuh darah, aku memandangnya dengan ekspresi horor. Elang melakukan itu untuk membelaku? Tapi kenapa? Leo menghampirinya dan menepuk pundak Elang, matanya menyorotku tajam, kemudian ia berjalan ke arahku dan meraih tanganku, "Gue antar lo pulang!" katanya. Aku menelan ludah beberapa kali selama tanganku berada dalam genggamannya, "Aku bisa naik taksi, aku enggak mau naik motor kamu, aku takut," ujarku. Elang berhenti melangkah dan menatapku, "Lo pikir gue enggak punya mobil?" katanya terdengar congkak dan kembali menarik tanganku menuju parkiran mobil. "Enggak perlu tarik-tarik, aku bisa jalan sendiri," tukasku sambil menepiskan tangannya lepas dari tanganku. Aku tidak tahan dengan rasanya, ketika kulitku bersentuhan dengannya, rasanya ehm ... seperti ... yang pasti aku merasa aman dan nyaman—dan aku takut rasa itu akan berkembang. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN