ENAM

3034 Kata
[Kebahagiaanmu tidak ditentukan oleh orang lain, tapi oleh dirimu sendiri. Apa yang kamu lakukan hari ini, menentukan bahagia masa depanmu.] Aku dan Elang tidak bicara banyak sepanjang perjalanan menuju ke rumahku, aku hanya bicara saat ia bertanya di mana tempat tinggalku. Kejadian di pantai tadi pun tidak kami bahas lagi. Aku juga tidak tahu harus membahas apa, sampai saat mobilnya berhenti di depan sebuah rusun sederhana tempatku tinggal. Ia mematikan mesin mobilnya bersamaan dengan gerakan tanganku membuka pintu mobilnya. Aku menoleh padanya, "Kamu sebaiknya langsung pulang saja, sudah malam. Aku bisa masuk sendiri," kataku. Tapi ia mengabaikanku dan malah ikut meloncat dari mobilnya yang cukup tinggi dan menguncinya dengan alarm. Aku memutari mobilnya dan menatapnya. Elang menghela napasnya, "Gue anterin lo sampe depan pintu, Bu Lurah...," katanya masih dengan ekspresi yang keras dan ikut masuk ke dalam lift yang sempit untuk membuntutiku. Elang menekan tombol angka delapan setelah aku memberitahunya dan sekilas aku melihat buku-buku tangannya yang memerah dan berdarah sedikit. Itu pasti akibat dari pukulannya pada wajah laki-laki tadi—dan itu karena membelaku. "Tangan kamu luka, Lang," kataku. Dan ia hanya menoleh tanpa suara padaku. Lift berhenti di lantai yang kutuju dan pintunya terbuka. Elang mempersilakanku keluar lebih dulu sementara ia memegangi pintunya. Ia berjalan di belakangku ketika kami menyusuri lorong kamar yang sepi. Ini sudah hampir pukul dua malam, jadi sudah sewajarnya tidak ada siapapun di lorong ini. "Lo tinggal sama siapa di sini?" tanyanya ketika sampai di depan pintu kamarku. "Sendiri." "Kakak, adik?" "Enggak punya...." Aku dengar Elang menahan napasnya, terkesiap. "Ehm—?" "Ayahku enggak tahu ke mana," jawabku—seolah tahu apa yang akan ia tanyakan selanjutnya—sembari membuka pintu kamarku dan masuk ke dalamnya. Elang masih berdiri di ambang pintu ketika melihatku menyalakan lampu rumahku. Matanya mengitari ruanganku yang mungil. Ruangan berukuran 5x5.5 meter ini punya satu kamar tidur, ruang tamu mini, dapur mini, dan kamar mandi kecil. Aku adalah pecinta kebersihan dan kerapihan, walaupun rumah kami kecil, aku tidak pernah meninggalkannya dalam keadaan berantakan. Ada sofa kecil di ruang tamuku, dengan televisi ukuran 32 inci di depannya. Dapur mungil dengan meja makan kecil dan dua kursinya berada di sisi dalam, ada pintu kecil untuk keluar balkon dan menjemur pakaian. Dan kamar tidur dengan satu tempat tidur ukuran queen, tadinya untukku dan ibu, sekarang aku tidur sendirian. "Kamu boleh masuk, aku mau obatin luka di tangan kamu...," kataku sambil mempersilakannya duduk pada sofa kecilku. Jantungku berdegup keras saat kembali ke ruang tamu—setelah mendapatkan alkohol sekaligus obat merah untuk luka Elang—dan melihatnya sedang menunduk memandangi ponselnya. Aku menelan ludah dengan susah payah ketika kepalanya mendongak dan matanya yang berwarna cokelat bertemu dengan mataku. Aku tetap berjalan ke arahnya sambil menghindari tatapannya, kuraih tangannya dan membersihkan lukanya dengan kapas yang sudah kubasahi dengan alkohol. Elang meringis sesekali saat lukanya kuolesi obat merah. "Terima kasih sudah memukulnya untukku, Lang," kataku sembari membereskan kapas bekas mengobati lukanya. Alisnya berkerut, "Lo pikir gue mukul dia karena belain lo?" sahutnya membuatku terkejut dan menatapnya dengan mata besarku. "Gue emang udah lama cari kesempatan untuk mukulin tu orang! Dan kebetulan momennya pas banget tadi!" Oowh ... jadi aku hanya merasa ‘baper’ sajakah? Aku berdiri di depannya sambil mengangguk, "Oke, tapi kamu sebaiknya pulang sekarang, sudah hampir pagi, enggak enak sama tetangga...," ujarku dan membuat Elang menatapku sambil mendengkus. "Lo ngusir gue!?" Aku menghela napas, "Bukan gitu ... tapi besok kita kan ada kuliah pagi, dan sekarang sudah pukul dua malam lebih." Tapi kemudian Elang malah merebahkan tubuhnya di sofa, memperbaiki posisi bantalan kursinya dan menjadikannya sebagai alas kepalanya. Hampir seluruh kakinya berada di luar bagian sofa. "Kayaknya gue ngantuk, bahaya kalau nyetir dalam keadaan ngantuk, kan?" katanya. "Emangnya lo mau tanggung jawab kalau ada apa-apa sama gue? Jadi lebih baik gue tidur di sini aja," lanjutnya seenak jidat. Hah? "Maksudnya kamu mau menginap???" Mataku membulat dan menatapnya tidak percaya. "Gue yakin lo pasti bahagia, kan?" Ish, ni cowok makan apa ya, kok rasa percaya dirinya tingkat dewa banget. "Tapi kamu enggak bisa menginap di sini, Lang," sahutku cemas. Dan Elang membuka kausnya dengan gerakan sekali hentak saja. Ludahku bergerak menuju kerongkongan dengan susah payah demi melihatnya memamerkan perutnya yang bagai roti sobek itu. "Siapa bilang enggak bisa? Dan lebih baik lo tidur sekarang juga dari pada melototin gue kayak gitu," ujarnya seraya mengambil posisi miring di sofa mungilku itu. "Tapi terserah aja kalau lo mau ngeliatin gue terus sampe pagi." Eh? Akhirnya kesadaran menghampiriku lagi dan serta merta aku berlari menuju ke kamarku dan mengunci pintunya. Ini untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, tentu saja. Belum pernah ada pria manapun menginap di rumahku, dan cowok b******k itu malah menjadi yang pertama kali. Ck. Sudah dua puluh menit berlalu, tapi mataku belum terpejam juga, pikiranku terus melayang ke ruang tamu di luar kamarku. Aku harus mengalihkan pikiranku dari sosok itu, kuraih novel dari laci yang ada di bawah tempat tidurku dan membacanya, setelah beberapa halaman mataku mulai mengantuk dan akhirnya terpejam. Karena saat kubuka mata jam dinding di kamarku menunjukkan pukul lima pagi. Aku bergegas beranjak dari tempat tidur dan meraih gagang pintu—terkunci—dan saat itu juga aku tersadar bahwa aku tidak sendirian, ada Elang di ruang tamu. Dengan perlahan aku memutar kuncinya dan gagang pintunya bersamaan. Kepalaku menoleh ke kiri—di mana ruang tamuku berada, namun Elang tidak ada di sofa, melainkan di lantai. Aku menahan senyum geli membayangkan kemungkinan ia terjatuh dari sofa kecil itu. Aku berjinjit kecil menuju ke kamar mandi. Dan lima menit kemudian terdengar suara 'DUG DUG' pada pintu kamar mandi yang membuatku melonjak kaget, "Rei!" suara Elang dibarengi dengan suara keras pada pintunya sekali lagi, "DUG DUG!" "Ada orang di dalam, Lang! Biasa antri kan?" sindirku dari dalam. "Gue mau kencing nih!" Uugh! Aku paling geli mendengar orang bilang kata itu, kan bisa bilang mau pipis, atau buang air kecil, gitu? Tapi tidak ken****, itu lebih untuk hewan kan. "Tahan sebentar! Sebentar lagi selesai!" jawabku sembari menyiramkan air ke tubuhku sekali lagi dan mengeringkannya dengan handuk, semua kulakukan dengan gerakan cepat. Keningku berkerut heran karena suara ketukan di pintunya sudah berhenti. Semenit kemudian aku keluar dan mendapati Elang yang sedang duduk tenang dengan handphone di tangannya, tidak kelihatan kalau dia tergesa ingin buang air kecil. "Kamu sudah bisa buang air kecil sekarang," ujarku menunjuk kamar mandi yang kosong. "Udah beres," jawabnya, dan aku menatapnya dengan ekspresi aneh. "Huh? Sudah beres gimana maksudnya?" Hatiku cemas tidak karuan sambil menoleh ke sana kemari dan ke arah pintu balkon yang sedikit terbuka. Dengan nada panik aku bertanya pada lelaki itu, "Kamu buang air kecil di mana, Lang??" Sumpah, aku tidak bisa membayangkan kalau balkonku akan bau pesing, karena ulahnya. Kemudian dia menunjuk pintu balkon dengan gerakan dagunya. Dan mataku benar-benar mendelik menatapnya. "Kamu buang air kecil di balkon?!!" Spontan aku berlari ke arah itu, "KAMU JOROK TAHU!!" jeritku panik. "Nanti kalau bau pesing gimana?" "Ya karena itu gue kencingnya bukan di balkonnya tapi ke bawah...." APAA???? "ELANG!!" Aku gusar mendengar pengakuannya, "kamu enggak serius kan?" "Kalau ditahan lebih lama lagi, gue bisa sakit kelamin! Lo mau tanggung jawab?" Huh? Ergghh ... sumpah!! Aku berdoa semoga enggak ada yang menyadari air apa yang menyiram ke lantai bawah tadi. *** Elang bersikukuh untuk berangkat ke kampus bersama. Tapi aku tidak mau membuat kehebohan atau menjadi pusat perhatian, jadi aku mengajukan syarat untuk turun sebelum sampai di kampus—dan ia setuju. Kami sempat berhenti di tengah jalan, dan Elang melesat turun, saat kembali ia membawa beberapa roti dan s**u untuk kami sarapan. Dan kami berpisah di halte sebelum kampus, aku berjalan kaki dari sana. Aku berjalan memasuki gerbang kampus dan menuju loker lebih dulu. Hari ini mata kuliah Matematika Bisnis dan dosennya terkenal dengan julukan dosen killer, jadi aku tidak boleh terlambat sama sekali. Sambil berjalan aku mengingat yang terjadi tadi malam dan pagi ini dengan Elang. Mengingat hal itu saja membuat darahku berdesir cepat. Aku baru tahu kalau Elang ternyata menyukai hal kecil yang romantis. Membelikan roti dan s**u itu adalah hal yang romantis menurutku. Eits! Romantis apanya! BRUGH! Lamunanku menyebabkan baju seseorang basah terkena minuman yang sedang dipegangnya jatuh karena kutabrak. Ups! Masalah lagi deh. "Maaf...," kataku buru-buru mengambil gelas minumannya yang sudah kosong. Lelaki itu tersenyum sembari menerima gelas kosong dariku. "Iya, maaf juga, gue juga enggak lihat kalau ada orang...," sahutnya membuat dadaku lega. Kupikir dia akan marah dan menghardikku, tapi ternyata tidak. Aku mengenalnya sebagai salah satu teman yang sering bersama Elang. "Ehm, aku ganti ya minumannya...," ujarku merasa bersalah dan harus bertanggung jawab. Ia menggeleng, "Enggak usah! Enggak apa-apa—lagi pula sudah mau habis kok," katanya menolak, kemudian ia mengangsurkan tangannya, "gue Bio...," Ia memperkenalkan dirinya. Aku tersenyum, "Oke kalau begitu." Aku menyambut tangannya, "aku Kirei." "Baju kamu juga basah tuh...," katanya menunjuk bajuku bagian perut. Aku mengangguk, "Cuma sedikit kok ... enggak apa," jawabku seraya memegang bagian yang basah, "Minuman kamu beneran enggak mau diganti?" "Kalau kamu maksa ganti, enggak apa-apa juga, kapan-kapan kamu bisa beliin gue minuman ini lagi ya," ujarnya sambil tersenyum manis. "Boleh..." sahutku merasa lega, karena ia mau menerima pertanggung jawabanku. Ponselku berbunyi notifikasi pesan, dan Bio pamit melanjutkan langkahnya. [Rei, kamu di mana? Kok enggak ada di kelas?] Pesan dari Ruth, aku membalas pesannya setelah melambaikan tangan pada Bio. [Menuju ke sana.] *** Aku duduk di sebelah Ruth dan Ina seperti biasanya. Mataku diam-diam mengitari ruangan mencari keberadaan Elang. Tapi tidak kutemui sosoknya di dalam kelas. Sampai sebuah pesan masuk ke dalam ponselku. [Gue enggak mau bimbel di kampus, nanti digosipin lo yang girang lagi...] Aku berdecak sebal sambil menekan huruf-huruf pada layar ponselku dengan gusar untuk membalas pesannya. [Asal kamu tahu, jadi tutor kamu juga bukan keinginan aku ya!] Balasku mengingatkannya bahwa aku pun menolak untuk menjadi tutornya saat itu. Apalagi sampai digosipkan bersamanya, ck, tidak mungkin. Ruth menyenggol tanganku untuk memberitahu bahwa dosen sudah datang. "Kamu akhirnya menerima syarat beasiswa kamu Rei? Untuk jadi tutornya Elang?" tanyanya. Ruth dan Ina sudah tahu kalau membimbing Elang adalah hal yang terpaksa kulakukan demi beasiswaku. Aku mengangguk, "Iya Ruth. Dan setiap hari kecuali hari Jum’at. Dan hari ini dia mau bimbingan di cafenya saja," jawabku. Kepala Ruth mengangguk dengan mulut yang membulat, "Ooh...," cetusnya, "aku iri sama kamu yang bisa dekat terus sama Elang, Rei," katanya dengan ekspresi kecewa. Aku meraih tangannya, tidak tahan dengan wajahnya yang kecewa. Bagaimana kalau dia tahu tadi malam Elang sempat menginap di rumahku? Aku menghela napas panjang berusaha menghilangkan rasa tidak enak dalam dadaku, kenapa aku merasa seperti sedang mengkhianatinya ya? Aku kan tidak ada hubungan apa-apa dengan Elang, harusnya aku merasa biasa saja kan. "Ruth, kita sama-sama tahu bahwa Elang cuma seorang player ya kan? Kita pantas mendapatkan yang lebih baik dari cowok itu, terlebih kamu...," kataku berusaha menghiburnya. Ruth tersenyum manis, dan ia memang gadis yang manis, entah kenapa Elang malah ingin mempermainkannya. Ruth dan Ina adalah sahabatku sejak tahun kedua aku berada di kampus ini. Mereka berbeda denganku, Ruth dan Ina adalah anak orang berlebihan alias orang kaya—entah kenapa mereka mau jadi sahabatku. Tapi aku menyayangi mereka berdua seperti saudaraku sendiri, karena walaupun mereka anak orang kaya, tapi mereka berbeda dengan yang lainnya. Lebih suka berkegiatan sosial daripada berpesta—mungkin sifat ini yang membuat kami jadi cocok berteman. "Asal kamu jangan sampai masuk kelompok pecinta Elang juga ya Rei...," ujarnya terkekeh pelan. “Karena cinta bisa tumbuh karena terbiasa juga lho.” Aku tersenyum dengan terpaksa sambil menelan ludah. *** [Aku tunggu di mobil!] Aku membaca pesannya sambil menghela napas, Ina dan Ruth menatapku penuh selidik ketika aku menolak makan siang bersama mereka karena ada tugas membimbing Elang di cafenya. "Hati-hati masuk perangkap Elang, Rei," cetus Ina memeringatkan. "Aku bukan tipe wanita yang menyukai cowok seperti Elang Na. Tapi seandainya ada yang bisa menggantikanku ... tolong sampaikan saja ke Pak Yanuar, kumohon," jawabku tidak sepenuhnya bohong. Aku memang merasa lebih baik bukan aku yang menjadi pembimbing Elang, demi menyelamatkan hatiku. Aku naik ke mobil Elang yang tinggi itu dan ia langsung melajukan mobilnya keluar kampus dan menginjak gas lebih dalam lagi ketika sudah berada di jalan raya. Lebih kencang lagi ketika masuk ke jalan bebas hambatan—sampai aku harus berpegangan pada pintu mobil saking takutnya. Mungkin Elang harusnya jadi pembalap saja. Lajunya baru melambat setelah kami memasuki jalanan kecil yang agak menanjak. Ini sih jelas-jelas bukan jalan menuju cafenya. Dan aku benar-benar buta soal jalanan, jadi aku tidak tahu kemana Elang akan membawaku. "Kita mau kemana sih, Lang?" "Lo takut ya?" "Jangan macam-macam, Lang," ancamku, "aku bisa berubah jadi wanita sss kalau terdesak," kataku lagi. "Oya?" sahutnya sambil terkekeh, lesung pipinya terlihat sangat jelas dan dalam. Ini adalah jarak terdekat di mana aku bisa melihat wajahnya yang tersenyum. Sejak mengenalnya ini pertama kalinya ia tersenyum sedekat ini. Mobil Elang memasuki sebuah halaman luas dengan sebuah rumah besar berlantai dua dengan banyak jendela di setiap sisinya. Seorang setengah baya menghampiri kami, "Mas Elang...." Ia menyapa sambil memeluk Elang yang baru saja turun dari mobilnya. Sepertinya ia sudah lama tidak bertemu dengannya. "Sudah lama tidak main ke sini, Mas," katanya. Elang tersenyum, "Saya kangen sambelnya Mbok, Mang Adin," sahutnya dan bapak itu tertawa, kemudian melihat ke arahku—lama. Elang menepuk pundak pria itu, "Mang Adin, kedip dong, kayak enggak pernah lihat cewek cantik aja," selorohnya dan terus terang membuat dadaku hangat dan kepalaku membesar, apa maksudnya aku ini cewek cantik di matanya? Aku menyambut tangan pria yang dipanggil Mang Adin itu, "Saya Kirei...." "Pacarnya Mas Elang ya?" tudingnya. Aku menggeleng panik, "Oh bukan—bukan ... saya—." Elang berdecak. "Saya mau ajak dia jalan-jalan dulu, Mang...," selanya sambil menarik tanganku menjauh dari Mang Adin. *** Napasku terengah mengikuti langkahnya menyusuri jalan setapak yang menanjak. Elang mengajakku masuk ke dalam hutan kecil di belakang villanya, "Ini kita mau kemana sih?" tanyaku entah yang ke berapa kalinya. "Bukan Bu Lurah kalau enggak bawel, ya kan?" sahutnya. Aku berdecak kesal, lebih kepada diriku sendiri, kenapa juga aku mau ikut dengannya? "Lang! Kamu itu banyak modusnya, ini kapan kita belajarnya? Dan sekarang aku juga jadi bolos kerja gara-gara kamu—," "Heh! Bos tempat lo kerja ada di depan lo sekarang. Kenapa lo repot sih?" "Iissh!" "Justru lo bisa gue pecat kalau enggak ikut gue!" Mulai deh dengan sifat arogansinya. "Iya bos," jawabku menghindari perdebatan lebih dalam. Dan Elang tersenyum penuh kemenangan, namun aku tidak bisa lama-lama menikmati lesungnya yang dalam itu karena wajahnya kembali fokus ke depan, sedangkan aku berjalan di belakangnya. Sampai tibalah kami di kolam air terjun yang jernih dengan tebing batu tinggi di sekililingnya. Sangat natural dan damai, suara air terjun yang tidak terlalu tinggi terdengar begitu menyejukkan, suara gesekan daun yang terkena angin seakan menambah kedamaian di sekitarnya. Mataku melihat sekililing, tidak ada orang lain kecuali kami berdua. Sangat sepi, terbersit rasa takut dalam hati, tapi buru-buru kualihkan dengan pemandangan indah di depan mataku. Dan kembali kejadian di pantai waktu itu terulang lagi—Elang mulai membuka kausnya, aku terkesiap melihat tubuh polosnya yang keras dan bergambar di beberapa bagian itu. Ck, tidak ada perasaan risih sedikitpun buka-bukaan depan orang lain. Dia melihat ke arahku sambil menurunkan celananya. "Jangan bilang kalau lo cewek sss yang enggak bisa berenang...," ujarnya mulai berusaha memprovokasiku. Aku tahu itu. Elang berharap aku akan membuktikan bahwa aku bisa berenang. Tapi aku terlalu pintar untuk mudah terpancing provokasi seperti itu. Aku menggeleng, "Aku bisa berenang, tapi aku enggak mau berenang sama kamu," dalihku tegas. "Pengecut," gumamnya sambil terjun ke dalam air dan meliuk-liuk di air dengan indahnya. Memang terlihat segar dan menyenangkan. Aku sempat tergiur ingin ikut terjun juga dengan pakaian lengkap, tapi itu tidak mungkin, aku kan tidak membawa pakaian ganti. Pada akhirnya aku memilih duduk di pinggir kolam di atas bebatuan sekaligus merapikan pakaian Elang yang dionggokkan begitu saja oleh pemiliknya. Ponselnya juga aku ambil dan kusimpan dalam tasku. Di saat yang sama ponsel Elang berbunyi, nama Cheva muncul di layarnya. Aku melihatnya ke arah kolam dan berniat memberitahunya, tapi sosoknya tidak juga muncul ke permukaan sampai bunyi ponselnya berhenti. Sedetik kemudian ponselnya kembali berdering, dan masih nama yang sama. Aku menghela napas memandangi nama pada layarnya. Gigih sekali sih, pikirku. Namun, Elang tidak terlihat juga, sampai ponselnya mati lagi dengan sendirinya. Kemudian sebuah notifikasi pesan w******p masuk, secara tidak sengaja aku menekan layarnya dan pesan itu terbuka begitu saja. [Elang, lo di mana? Gue udah di apartemen ya. Gue tunggu. Miss your lips!] Aku menelan ludah. "Eh! Baca-baca handphone orang." Suara Elang benar-benar mengejutkanku. "Hh? Maaf!" Aku langsung memberikan ponselnya, "enggak sengaja, aku mau pindahin, tiba-tiba ada telepon dan pesan masuk," ujarku sambil menghindari tatapannya. Dadaku terasa sesak seketika. Miss your lips! Ck. Apa sih! Aku menunduk dan memalingkan wajahku darinya, bukan karena marah atau apa, tapi karena Elang masih berdiri di depanku dengan celana boxer-nya yang basah. Aku memilih memutar tubuhku membelakanginya sementara ia memeriksa ponselnya. "Kamu ada janji sama orang lain, kenapa kita harus jauh-jauh ke sini?" "Maksud lo Cheva?" Aku mengangguk, "Iya...." Ia berdecak sembari melempar ponselnya ke tumpukan baju yang sudah kurapihkan tadi, "Enggak penting juga. Lagian itu urusan gue, lo enggak perlu mikirin, sekarang waktunya senang-senang!" ujarnya, "ayo buka baju lo atau jangan-jangan lo malu ya, karena badan lo b***k?" Huh? Apa tuh maksudnya? Rese! Aku berdecak kesal, "Kamu pikir aku enggak mau berenang karena badanku b***k?" sergahku. "Ya bisa aja kan, dari kemarin lo takut banget buka baju," ujarnya sambil menyisir rambutnya yang basah dengan tangannya, "asal lo tahu ya Bu Lurah bawel ... lo b***l sekalipun enggak akan bikin gue nafsu!" katanya. Dadaku memanas mendengar komentar Elang, "Ck! Awas ya kalau sampai kamu jadi suka sama aku gara-gara aku buka baju...." ancamku seraya membuka celanaku dan menurunkannya dengan kakiku, kemudian melepaskan atasanku hingga hanya meninggalkan bra dan celana dalamku saja, kemudian dengan gerakan cepat aku meloncat ke dalam air dan menyembunyikan diriku di sana. Tuh kan, akhirnya aku menjilat ludahku sendiri karena terpancing emosi. Dan sekarang aku berenang bersamanya hanya dengan menggunakan pakaian dalam saja. Aku pasti sudah gila—pikirku sambil menyelam ke dalam air dan menyesali diri. Elang berenang menghampiriku, "Setelah gue perhatiin, ternyata lo enggak b***k sih. Tapi gue tetap enggak nafsu juga," ujarnya sambil memandang ke arah dadaku, kemudian pergi lagi berenang menjauh sebelum tendangan kakiku dalam air mengenai dirinya. "DASAR MESUUUM!" teriakku ke arahnya. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN