TUJUH

2161 Kata
P a r t 7 "Ada saat di mana kita merasa sesuatu yang terjadi dalam hidup ini tidak sanggup lagi kita jalani dan cinta adalah alasan mengapa kita masih bertahan" Kirei Dengan tetap berusaha untuk bersikap profesional, sebagai tutor-murid di kampus dan sebagai bos-pegawai di café, maka hubunganku dengan Elang lumayan berjalan lancar. Sebisa mungkin aku menolak jika Elang mengajak keluar untuk melakukan bimbingannya. Seminggu ini kami melakukannya di café, sebelum jam kerjaku. Dan ini lebih nyaman, demi menghindari gossip yang bisa beredar di kampus—terutama menghindari teman-temanku yang mulai curiga dengan hubunganku dan Elang. Sebisa mungkin juga aku menghindari kontak fisik dengannya, dan membuang jauh-jauh perasaan aneh yang mulai muncul ketika aku berada di dekatnya. Dan hari ini, ketika aku lebih awal tiba di kelas—masih sepi—Ruth dan Ina muncul tidak lama setelah aku menempati kursiku. "Pagi Rei!" "Pagi...," jawabku dengan dahi berkerut demi melihat wajah Ruth yang ditekuk. "Kamu kenapa Ruth?" tanyaku sembari melihat ke arah Ina juga. Ina menyahut, "Ck, biasa deh Rei. Siapa lagi yang bisa bikin dia cemberut dan ceria tiba-tiba selain si Elang itu?" Elang? "Kenapa memangnya?" tanyaku penasaran sekaligus merasa bersalah karena sudah menyembunyikan sesuatu dari mereka. Aku tahu betul perasaan Ruth pada Elang seperti apa, dia sangat menginginkan Elang menjadi pacarnya dan seringkali menanyakan tentang Elang padaku. Dan aku selalu bilang bahwa Elang itu sangat menyebalkan—arogan—egois—sok ganteng—dan lain-lain yang sekiranya bisa membuat Ruth mengurangi perasaan sukanya pada sosok Elang. Bukannya apa-apa, aku tidak ingin melihat sahabatku dikecewakan terus oleh sikap Elang padanya. Bukan berarti aku cemburu, karena aku tahu Elang—Langit—itu tinggi di atas sana, tidak bisa kujangkau, tidak mungkin. Ruth melihat ke arahku, "Rei, kenapa sih Elang bisa begitu saja melupakan ciumannya sama aku?? Aku enggak bisa lupain dia, Rei!" ujarnya memelas. Aku menghela napas sambil memandang Ina yang menaikkan bahunya, "Ruth...." Aku memeluk pundaknya, "jangan berlebihan menyukai seseorang, kata ibuku yang berlebihan itu enggak baik," nasehatku sok bijak. "Rei, aku boleh ikut ke café Elang, kan Rei?" tanyanya. "kamu ada bimbingan sama dia, kan nanti siang?" Aku mengangguk, "Iya, satu jam sebelum aku bekerja nanti, Ruth," jawabku. "Tapi kita kan harus ke yayasan yatim piatu, Ruth. Kita sudah janjian lho," sambar Ina, membuatku bernapas lega. Ina memandang ke arahku, "kamu berarti enggak bisa ya Rei?" aku menggeleng pelan, mohon pengertiannya. Ruth melemaskan bahunya, "O iya yaa...," katanya dengan ekspresi setengah kecewa dan raut wajahnya tidak banyak berubah sampai kuliah selesai siang ini. Pesan Elang masuk begitu aku melangkahkan kaki keluar kelas. [Gue enggak ke cafe, lo aja ke apartemen gue.] Tipe bos yang suka perintah-perintah. Kemudian masuk lagi pesan berupa map petunjuk lokasi rumahnya. Aku menghela napas panjang sambil berpikir keras apakah aku harus menurutinya. Ina mendapatiku bergeming di depan pintu kelas sambil memandangi ponsel di tanganku. "Kenapa, Rei?" "Huh?" cetusku spontan, "enggak apa-apa Na. Maaf ya Na aku enggak bisa ikut kegiatan kamu dan Ruth kali ini...," ujarku. "Iya, sejak jadi tutor Elang, kamu sibuk banget Rei, ditambah kamu harus kerja juga. Waktu kita untuk sama-sama jadi berkurang deh...," sesalnya. "Tapi besok kamu enggak diganggu gugat kan?" "Iya Na" ujarku sama menyesalnya. "Besok adalah hari bebasku...," ujarku pelan terdengar seperti tidak menyukainya malah. Mata Ina menyipit dan menatapku curiga, "Rei, kamu bener-bener enggak lagi terpesona sama Elang, kan?" tanyanya pelan, membuatku terkesiap. Aku menggeleng dengan cepat, "Ih! Ya enggak-lah Na! Kamu tahu sendiri kan Elang seperti apa dan sudah membuat teman kita yang satu itu bagaimana ... enggaklah!" sanggahku, tapi jantungku berdetak sangat keras, entah kenapa. [Bu Lurah! Kenapa enggak balas?] Aku mengetik dengan cepat jawabannya. [Iya.] *** Akhirnya dengan menggunakan taksi online yang dikirim Elang, sampailah aku di apartemen nya—kalau begitu untuk apa dia kirim peta rumahnya segala. Aku memasuki lobi gedung apartemen mewahnya dan menyampaikan pada resepsionis bahwa aku adalah tamunya Elang. Petugas itu menekan tombol interkom ke kamarnya sementara mataku mengitari sekitar dan agak terkejut ketika mendapati Bio yang baru saja keluar dari pintu lift dengan wajah babak belur. Bio juga menyadari kehadiranku dan ia menunduk berusaha menyembunyikan wajahnya—tapi sudah terlanjur kulihat. "Bio?" Ia memalingkan wajahnya ketika kepalaku sedikit merendah untuk melihatnya sambil menutupi dengan tangannya, "Kamu mau apa ke sini, Rei?" tanyanya dengan tatapan curiga. "Aku tutornya Elang, kalau kamu ingat...," jawabku. Ia mengangguk cepat, "Dasar modus," gumamnya pelan, tapi samar-samar kudengar umpatannya. "Saran gue, sebaiknya kamu pulang aja ... Elang lagi PMS!!" katanya. "Kamu berkelahi sama Elang?" tudingku. Ia tidak menjawabnya tapi juga tidak menyangkalnya. Dan ia sepertinya baru saja mau bicara sesuatu, tapi dari pintu lift keluarlah Elang yang tergesa menghampiriku. Bio melihat ke arah pandanganku dan ia pergi begitu saja. Elang menatapku sambil menghela napasnya dan mendengkus, ia merebahkan punggungnya di sandaran sofa lembut yang ada di ruang tamunya. Tulang pipinya memerah, sepertinya ia dan Bio benar-benar berkelahi tadi. Aku heran apa yang membuat dua sahabat itu berkelahi sampai harus saling melukai seperti itu. Ia memegang tulang pipinya sambil menggerak-gerakkan mulutnya. Demi menghindari mata cokelatnya yang tajam, aku minta izin untuk ke dapurnya dan mengambil es batu dalam lemari esnya. Dengan bungkusan es batu di tanganku, aku kembali padanya dan meletakkan handuk berisi es batu itu pada pipi Elang yang memar. "Kamu kenapa enggak ke café?" tanyaku sambil memegangi bungkusan es batu di pipi Elang itu dan duduk di sebelahnya. Kepalanya menoleh padaku, "Lo enggak tanya kenapa gue berantem sama Bio?" tanyanya. "Kalau aku tanya, kamu mau cerita?" tanyaku balik. Ia mengangkat bahunya, "Enggak," jawabnya. "Ya sudah," sahutku. Ia mendengkuskan napasnya dan meraih bungkusan es batu itu dengan tangannya, "Sini, biar gue aja yang pegang!" sungutnya. Aku melihat jam di tanganku, "Bagaimana kalau bimbingannya kita ganti hari Sabtu saja, karena besok hari Jum'at, hari liburku," kataku. "Lo ngajak gue kencan hari Sabtu?" "Huh?" "Ya udah, deal hari Sabtu, lo seharian sama gue!" katanya. Mataku membesar ke arahnya. "Kamu enggak bisa membuat pekerja kamu bolos terus-terusan, Lang! Bisa membuat karyawan lain iri." "Lo enggak masuk, atau berhenti sekalipun enggak akan bikin cafe gue bangkrut, Bu Lurah sayang," ujarnya membuatku menatapnya sinis tapi sekaligus senang. Eh, kok senang? "Rei, kamu bener-bener enggak sedang terpesona sama Elang kan?" Aku jadi ingat kata-kata Ina tadi di kampus. Tapi sekarang aku mendapati diriku sedang tersanjung dengan gombalannya. Ya Tuhan tolonglah selamatkan aku. "Sabtu di cafe, pukul sembilan sampai sepuluh pagi, setelah itu aku harus kerja" ujarku tegas dan aku berdiri, "jadi sekarang kamu istirahat saja, lagian enggak akan bisa konsentrasi belajar kalau keadaannya begini." "Begini gimana?" "Ya kamu dengan wajah memar kamu itu!" "Yang memar kan pipi gue doang Bu Lurah, otak gue baik-baik aja!" ujarnya protes. Sebenarnya aku menunda bimbingan ini karena aku sendiri yang tidak bisa konsentrasi sekarang. Melihatnya seperti ini, di kepalaku berkecamuk banyak pertanyaan dan pertentangan tentang keberadaanku di tempat tinggal Elang ini. Dan aku takut akan melibatkan perasaanku, karena itu aku harus pergi. .. Bio ternyata masih berada di lobi, ia menghampiriku dan menagih hutang minumanku untuknya, sekaligus menawarkan untuk mengantarku pulang. Aku katakan padanya bahwa aku bekerja di café milik Elang, dan memberi usul bahwa aku akan mengganti minumannya di sana. Bio bertanya soal Elang, dan kukatakan bahwa Elang tidak akan datang ke café hari ini, kemudian ia mengangguk setuju. *** Luka pada sudut bibir Bio sudah tidak berdarah lagi, mungkin ia juga sudah membersihkan wajahnya tadi saat di apartemen Elang. Sekarang, ia duduk di kursi bar dan menerima dengan senang hati minuman gratis yang kusodorkan padanya. Aku tidak bernyanyi hari ini, karena dua penyanyi sudah tersedia untuk mengisi acara live music sore hari ini. Sebelumnya Bio bertanya kenapa aku mau bekerja di café Elang dan aku hanya menjawabnya singkat, bahwa aku butuh uangnya untuk melanjutkan hidupku dan hanya di tempat ini yang menerima kerja paruh waktu—dengan gaji yang lumayan. Percakapanku dengan cowok murah senyum itu tiba-tiba saja bubar ketika Elang datang dari arah belakang dan langsung menyerang Bio dengan tinjunya, tanpa ayal lagi tubuh Bio jatuh terjerembab—karena mendapat serangan tiba-tiba seperti itu. Mataku menatap horor pada Elang yang berada di atas tubuh Bio. "ELANG!!" suara teriakanku mampu menghentikan tangannya yang sudah di udara dan siap meluncur lagi ke wajah Bio. Elang menoleh padaku, ekspresinya tegang dan marah. Entah apa yang membuatnya marah kali ini. Matanya bertemu dengan mataku, dia melihat lagi ke arah Bio dan melayangkan tinjunya ke lantai. Kemudian ia pergi meninggalkan temannya yang malang itu dan melangkah ke lantai atas, kantornya. Aku menghampiri Bio yang terjerembab di lantai. "Bio? Kamu enggak apa-apa?" tanyaku merasa bersalah sudah mengajaknya ke cafe ini dan menyebabkan ia terluka lagi. "Maaf Ya Bi...," ucapku tulus. Bio menggeleng, "Aku enggak apa-apa, Rei," jawabnya. Ia berdiri dan membereskan diri dengan tangannya. "Sebenarnya ada hubungan apa sih kamu sama Elang?" tanyanya seraya mengalihkan pandangannya ke jendela besar berwarna hitam di lantai atas. Huh? Aku sama Elang? Ada apa? Memangnya ada apa? "Maksudnya ada apa gimana, Bi?" "Elang jadi aneh sejak jadi murid kamu...," ujarnya seraya meraih ponsel dan kunci mobilnya di atas meja bar, "gue pergi ya, thanks minumannya, Rei," ucapnya. .. Aku melihat Leo turun dari lantai dua, mungkin dia habis memeriksa keadaan Elang. Dari semua teman Elang, Leo adalah yang paling terlihat tenang, pembawaannya lebih dewasa. Walau tubuhnya juga tidak luput dari tato yang terlihat di tangannya. Tapi Leo sepertinya seorang yang tidak akan membiarkan emosi menguasainya. Aku menyukainya, sebagai temanku. Ia mendekatiku ke meja bar, "Rei...." Aku menanti kata-kata berikutnya, bahwa kemungkinan aku akan dipecat karena menimbulkan keributan. "Kamu sebenarnya ada hubungan apa sama Elang?" tanyanya to the point dengan suara pelan. Duuh kenapa semua orang bertanya tentang hubunganku dengan Elang sih? "Kenapa semua orang menanyakan hal itu sih? Seperti kamu tahu, aku dan Elang itu kan murid dan tutor sekaligus bos dan karyawan, itu aja...." "Kelihatannya kamu juga akrab sama Bio ... sedekat apa kamu sama Bio?" Wajahku pasti terlihat aneh. Sedekat apa aku sama Bio? "Aku sama Bio dekat seperti selayaknya teman yang belum lama kenal aja sih—ada apa sebenarnya Leo?" Leo mengangguk dan menghela napasnya sekaligus. "Aku mau kasih kamu saran, Rei," katanya, "hati-hati bergaul dengan mereka," sambungnya dengan nada bijak. "Sebenarnya aku mau bilang, supaya kamu menjauhi mereka ... demi kebaikan kamu," lanjutnya. Aku mengangguk dengan perasaan terkucilkan dan direndahkan, "Aku cukup tahu diri kok, dan aku juga bisa jaga diri...," ujarku terdengar sarkastis. Ekspresi Leo berubah aneh karena melihatku rapuh, ia menyentuh bahuku, dan menghela napasnya dalam-dalam. "Aku hanya enggak mau kamu terluka, Rei." Enam jam berlalu, dan sekarang tiba waktuku untuk pulang. Aku bergegas pergi melewati pintu belakang, namun langkahku terhenti karena hampir menabrak seseorang. Dan sialnya orang itu adalah Elang. "Gue antar lo pulang," katanya dingin. Aku agak mendongak untuk melihat wajahnya, "Aku bisa pulang sendiri." "Gue mau nganter lo, Bu Lurah," ulangnya dengan nada memaksa. Aku memandangnya heran. Sekilas kuamati wajahnya yang memar tadi, warnanya mulai kebiru-biruan. Wajah yang tidak mau ditolak keinginannya, tapi dengan begitu aku malah semakin ingin menolaknya. "Tidak usah," sergahku. Tanpa mengindahkan jawabanku Elang malah meraih tanganku dan menggandengku melewati pintu belakang—menuju mobilnya—dan ia memaksaku untuk masuk ke dalamnya. Ini sih kategori penculikan! Sebagian diriku ingin langsung masuk ke dalam mobilnya, tapi sebagian yang lain berkata 'jangan masuk'. Dan di sinilah aku—di dalam mobilnya yang melaju dengan kecepatan 80-100km/jam—duduk di sebelahnya dengan aksi diam seribu bahasa. Aku ingin menunjukkan bahwa aku tidak suka dengan tindakan pemaksannya tadi. Ponsel Elang berbunyi, dan sudah yang ke sekian kalinya ia abaikan. Tapi kali ini ia menempelkan wireless bluetooth di telinganya, "Gue udah bilang enggak bisa, lo b***k atau gimana sih?! Jangan telepon gue lagi!" kemudian ia mematikan teleponnya dan melepas wireless bluetooth-nya dengan kasar. Ekspresinya terlihat sangat kesal, entah ini waktu yang tepat atau bukan untuk membahas tentang perkelahiannya dengan Bio tadi siang. "Siapa?" tanyaku terdengar kepo. Elang menoleh padaku, "Sekarang mau tahu urusan orang lain?" Dia malah balik bertanya dengan sinis. Aku menghela napas, sabar ... sabar. "Kenapa tadi kamu memukul Bio, Lang?" tanyaku makin terdengar kepo. Elang malah menatapku sesaat dengan mata cokelatnya yang tajam itu, dan sambil memalingkan lagi pandangannya ke jalan ia berujar, "Gue enggak mau lo deket-deket sama Bio!" jawabnya. "Dia itu b******n!" lanjutnya memaki sahabatnya sendiri. "Dan kamu bukan?" sahutku membalasnya. Mata Elang membesar menatapku. "Dengar Rei, gue tahu niatnya deketin lo," tukasnya, "pokoknya gue enggak suka lo akrab sama dia!" Dahiku mengernyit memandangnya aneh, "Memangnya kamu siapa? Kamu enggak punya hak melarang aku untuk dekat dengan siapapun yang aku mau, Lang," kataku sedikit gusar. Pacar bukan apa bukan, tapi melarangku dekat-dekat cowok lain. Aneh. "Maksud lo? Lo mau sama Bio?" Aku mengedikkan bahu menjawabnya. "Ya, aku berhak berteman dengan siapapun dan itu bukan urusan kamu," sahutku dan membuat Elang bungkam. Tapi aku melihat rahangnya berkedut menahan emosi. "Lo karyawan gue, jelas aja jadi urusan gue!" Lagi-lagi aku memandangnya dengan dahi berkerut, "Aku enggak tahu ada masalah apa antara kamu dan Bio ya ... tapi enggak usah bawa-bawa aku!" kataku lagi. Ia terdiam. Helaan napas Elang terdengar dalam kebisuannya. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN