DELAPAN

1800 Kata
["Menjadi seorang wanita yang dihormati itu adalah lebih baik dibanding menjadi seorang wanita yang sangat diminati oleh kaum adam" (zallegiance.com)] Aku tidak mengerti apa alasan Elang melarangku dekat-dekat dengan sahabatnya itu. Yang pasti ia mengancam akan memukulinya lagi kalau sampai melihatku berdekatan dengan Bio. Sikapnya seperti seorang pacar yang tengah cemburu. Tapi tentu saja bukan itu, Elang tidak pernah mengatakan kalau dia suka padaku atau apapun yang menjurus kesana. Semalam kami bertengkar layaknya sepasang kekasih, dia melarangku dengan sikap arogansinya, sedangkan aku menolak menurutinya, karena sangat tidak masuk akal. Aku bukanlah siapa-siapanya dan dia juga bukan siapa-siapa aku! Sampai akhirnya ia pergi begitu saja dengan perasaan marahnya. Aku tidak ingin memedulikan hal itu. Toh ia bukan pacarku. Lagi pula hari ini aku tidak harus memberikan bimbingan padanya dan bisa masuk bekerja lebih sore. Karena lepas kuliah siang ini, aku, Ruth dan Ina akan pergi untuk sekadar menghabiskan waktu bertiga saja. Dan sampai siang ini aku belum melihat batang hidungnya di kampus—dia juga tidak mengirimkan pesan apapun padaku sejak semalam. Ruth dan Ina ada keperluan di ruang dosen, dan aku berniat menunggunya di kantin kampus untuk sekadar memuaskan perutku yang keroncongan sejak pagi tadi. Sambil membaca novel fantasi favoritku yang berjudul MY KING, mulutku juga mengunyah kentang goreng renyah yang hangat. Tapi tidak lama ketenanganku terganggu, kursi di depanku bergerak karena ditarik seseorang, dan duduklah laki-laki yang sejatinya harus kujauhi. Tapi aku bergeming di tempatku sambil mendongak ke arahnya—ketika melihatnya tersenyum padaku—terlihat bekas luka pada bibirnya dan memar di pipinya. "Hallo Kirei," sapanya ceria. Aku menghela napas sembari menutup novelku, tubuhku menegak melihatnya duduk di depanku, kuperhatikan wajahnya yang tetap menarik walau ada luka dan memar menghiasi kulitnya. Sebetulnya aku ingin menghindarinya, karena terus terang aku tidak mau berurusan dengan mereka, tapi senyumnya yang ramah terlihat tulus, jadi aku tidak tega untuk meninggalkannya begitu saja, "Kamu ... enggak apa-apa?" tanyaku tulus. Ia menggeleng dan mengangguk sekaligus, "Ini belum seberapa, Rei...," katanya berseloroh. Aku menyeruput minumanku dari sedotan dan ikut mengangguk, belum seberapa katanya, "Kenapa sih Elang segitu marahnya sama kamu, Bi?" Ia menaikkan bahunya dengan gerakan cepat. "Urusan laki-laki, biasa...," jawabnya sambil memesan minuman dengan memanggil pelayan. "Maaf kalau kamu jadi sasaran Elang lagi, karena kuajak ke café kemarin ya Bi," kataku benar-benar merasa bersalah. Bio menarik napasnya dalam dan panjang, kemudian ia tersenyum, "Gue suka panggilan Bi itu, Rei," katanya, "apalagi kamu yang manggil...," tambahnya seolah sedang merayuku. Aku berdecak sambil menggeleng dan tersenyum malas mendengar gombalannya, "Ck, sebaiknya rayuan kamu itu buat cewek lain saja...," sergahku, "aku enggak butuh." Bio terkekeh ringan seraya manggut-manggut, "By the way, terima kasih minumannya kemarin ya." Aku mengangguk, "Iya sama-sama." "Tapi kemarin itu gue cuma minum setengah lho, keburu Elang datang," selorohnya sambil terkekeh. Aku ikut terkekeh, "Maksudnya kamu mau minta ditraktir lagi?" Minuman Bio datang dan ia langsung menyeruputnya hingga tinggal setengah gelas saja, ia melihat ke arahku sambil memutar-mutar sedotannya dalam gelas, "Kamu sama Elang itu pacaran atau apa sih, Rei?" Ck, pertanyaan yang sama lagi, mana mungkin sih Elang dan Kirei pacaran? Memangnya dia tidak tahu bagaimana tipe wanita yang diminati sahabatnya itu. Aku menggeleng cepat, "Bukannya kamu sahabatnya ya? Harusnya kamu tahu kan kalau sahabat kamu itu punya pacar atau enggak?” jawabku agak kesal. “Lagian mana mungkin sih Elang memilih wanita seperti aku untuk jadi pacarnya?” "Terus kenapa dia posesif banget sama kamu?" "Posesif?" "Ya, dia pasti ngelarang kamu dekatin gue kan?" tudingnya. "Kok kamu tahu?" Pupil mata Bio membesar seketika, "Ya, karena dia juga bilang hal yang sama ke gue...." Aku berdecak sembari menggeleng, "Kalau begitu memang teman kamu itu yang aneh," selaku. "Berarti kamu enggak pacaran kan sama dia? Kalau memang kalian enggak pacaran, ya enggak ada masalah kalau kita sekadar ngobrol seperti sekarang, kan?" ujarnya. Aku mengangguk dan menjawab, "Ya tentu saja bukan masalah." *** "Lo dengar sendiri kan rekaman itu? Dia bilang sendiri kalau mereka enggak pacaran!" Suara yang kukenal ini terdengar berapi-api. "Elang itu sebetulnya enggak main fair! Dia banyak waktu untuk mengenal cewek itu lewat bimbingan dan pekerjaannya. Dan merasa memiliki tu cewek dengan ngelarang gue lanjutin taruhan ini!" "Gue rasa Elang deketin tu cewek pake perasaan kali ini, karena dia sampe bikin lo babak belur begini Bre!” ujar suara lainnya. "Lo kayak enggak kenal Elang aja! Ini kan salah satu taktiknya, biar tu cewek benar-benar jatuh ke perangkapnya, dan Elang menangin taruhannya," kata suara pertama tadi, aku tahu ini suara Bio. "Tapi gue yakin Kirei juga bisa suka sama gue, kalau gue punya kesempatan ketemu dia lebih banyak! Masalahnya ni ceweknya juga sok jual mahal sih!" lanjutnya. Dadaku perih mendengar percakapan mereka sampai di sini. Ternyata Bio tidak seperti yang kupikirkan sebagai seorang teman. "Nah itu masalahnya, kayaknya si Tutor itu malah bikin Elang keder deh. Buktinya sampai sekarang dia belum juga bisa bikin tu cewek bertekuk lutut sama dia...," sela suara satunya. "Hmm, Elang enggak bisa seenaknya nyuruh gue berhenti taruhan, padahal dia belum pacaran sama tu cewek ... perjanjiannya adalah kalau Kirei jadian sama gue atau dia, barulah salah satu dari kita itu berhenti, ya kan?" "Kayaknya taruhan kali ini seru nih. Lo beneran suka sama Tutor itu Bre?" tanya suara lain itu. "Ya, enggak mungkinlah! Semua ini kan demi Lamborgini!" Aku dan Ina terkesiap sambil menutup mulut kami berdua. Mataku panas menyadari apa yang terjadi padaku belakangan ini. Ini menjelaskan semuanya, menjelaskan mengapa dua orang sahabat itu berkelahi. Mereka sedang bertaruh siapa yang bisa membuatku bertekuk lutut pada salah satunya. Ina menatapku dengan prihatin dan ekspresi sedih, tangannya mengusap-usap punggungku dengan lembut. Aku dan Ina beranjak dari tempat persembunyian itu dan diam-diam pergi menjauh dari sana, sudah cukup aku mendengar rencana mereka terhadapku. Ina mengikutiku ke arah toilet. Aku menutup wajah dengan tanganku di depan cermin, Ina menghampiriku dan memelukku. Membuatku menangis terisak, dadaku sesak sekarang. Padahal terus terang aku hampir saja menyukai kehadirannya, mulutku memang menyangkal bahwa aku menyukainya, tapi hatiku tidak bisa berbohong tatkala merasa hangat bila berdekatan dengannya, bergetar karena sentuhannya. Tapi ternyata, semua itu hanya fantasiku saja, semuanya tidak nyata. Ina membawakan teh hangat untukku, kami mampir ke kantin lagi untuk menenangkan hatiku. Aku meminta Ina untuk tidak menceritakan hal ini pada siapapun termasuk Ruth dan ia setuju. Ina juga mengerti saat kukatakan bahwa aku tidak bisa pergi bersama mereka karena situasi ini membuat suasana hatiku tidak enak. Aku merasa lega karena Ina tidak mendesakku untuk pergi. Kita lihat siapa yang bisa menang taruhan ini, Lang. *** Aku menutup pintu rumahku dan mendengkus pelan. Perlahan rasa sakit menjalar ke dadaku dan tanpa kusadari air mataku mengalir begitu saja. Aku tidak bertemu dengannya di café hari ini dan itu cukup melegakanku. Ponselku berbunyi notifikasi pesan yang masuk—dari Elang—dan aku mengabaikannya. [Di mana Rei?] Aku tidak berminat membalasnya. [Di mana?] Pesannya masuk lagi dengan pertanyaan yang sama. Dan aku pun segan menjawabnya. [D I M A N A ??!] Ck, apa pedulinya sih aku ada di mana? Kemudian ponselku berdering, nama Elang muncul di layar. Lagi-lagi aku bergeming tidak mengindahkan sampai bunyinya hilang dengan sendirinya. Beberapa detik kemudian berbunyi lagi, dan lagi dan terus berbunyi sampai berkali-kali hingga berhenti karena kutekan tombol power off pada ponselku—sampai layarnya berubah hitam. Perhatiannya tidak lebih hanya karena taruhannya, palsu! Kamu itu cuma pegawainya dan tutornya Rei, ingat itu! Jangan berharap lebih dari itu walau sikapnya membuatmu melayang tinggi, suara hatiku yang lain mengingatkanku. Ya ini semua hanyalah kepura-puraan dan sebuah permainan. Ini hanyalah permainan Elang—ia berniat mempermainkan perasaanku! Bukan Ruth saja—tapi akulah sasarannya. Aku baru hendak naik ke atas tempat tidur ketika terdengar suara bel dan ketukan berkali-kali yang keras pada pintu, "REI! BUKA PINTUNYA!" Kuhela napas panjang sembari bergegas ke arah pintu yang masih digedor keras dari luar, bukan karena kuingin bertemu dengannya, tapi karena aku tidak mau membuat tetangga lain terganggu oleh ulahnya itu. Elang, dengan raut wajah yang keras berada di depan pintuku, dan dengan gusar ia menyeruak masuk ke dalam rumah sebelum aku mempersilakannya. "Gue enggak tahu apa yang harus gue lakuin ke elo, Rei!" katanya dengan gusar. Aku menatapnya dengan ekspresi aneh, sambil menutup pintunya dan melirik ke jam dinding, sudah pukul dua belas malam, "Memangnya aku kenapa?" "Lo bikin gue khawatir tahu enggak!" tukasnya, galak. Kalau aku enggak tahu bahwa ini sandiwaranya, mungkin saja aku akan tersanjung dengan perhatiannya. "Kenapa kamu harus khawatir?" "Lo enggak hubungin gue seharian ini, enggak balas pesan gue, telepon gue enggak lo angkat juga dan bahkan sekarang telepon lo mati!" marahnya sambil menggoyangkan ponselnya di depan wajahku. Aku berusaha menahan diri untuk tidak terbuai dengan perhatiannya, aktingnya bagus sekali, sangat meyakinkan kalau dia benar-benar cemas karena tidak bisa menghubungiku seharian ini. "Enggak usah berlebihan, Lang...," sahutku dingin seraya menuju ke dapur dan mengambil air minum untukku dan juga untuknya. Alis Elang berkerut melihatku, pandangannya mengikuti arah kuberjalan. Mungkin ia heran dengan perubahan sikapku sekarang. "Lo kenapa sih?" tanyanya, "dan ngapain di kantin sama Bio, huh??" "Bukan urusan kamu," ketusku, "dan aku enggak kenapa-kenapa." Matanya membesar sekaligus mendekat ke arahku. "Urusan gue!" Alisku berkerut menatap manik cokelatnya yang sedang menatapku dengan tajam, lubang pipinya begitu kentara dan membuat lututku melemas untuk melawannya. Aku menghela napas panjang sembari duduk di meja makan mungilku. "Gue bilang untuk jauhin cowok itu, lo malah duduk-duduk berduaan sama dia? Gila lo ya?!" sergahnya sambil melayangkan tangannya ke udara. "Kamu bukan siapa-siapa aku, Lang!" ujarku, "jadi kamu enggak berhak larang-larang aku!" tukasku frustrasi dengan aktingnya yang terlalu menjiwai ini. Ia menghampiriku dan memukul meja makan dengan cukup keras, "Lo pegawai gue kan gue bilang!" dalihnya, "dan gue bertanggung jawab sama semua karyawan gue!" "Oya? Apa kamu ngelarang semua karyawan kamu untuk enggak bertemu seseorang yang bermusuhan sama kamu?!" Jakunnya bergerak naik turun menelan ludahnya, "Gue—." Kedua alisku berkerut menatapnya aneh dan menunggu lanjutan kalimatnya yang tidak kunjung keluar, "Hentikan sikap aneh kamu ini, Lang!" seruku. Sekali lagi tangannya menyugar rambutnya yang tebal ke belakang kepalanya dengan helaan napas putus asa. Sangat terlihat kalau ia begitu tegang dan gusar. Seandainya aku tidak tahu ada taruhan di antara mereka, pasti aku menganggap bahwa Elang sedang merasa cemburu. Tapi sayangnya aku tahu sandiwaranya. "Kenapa sih lo enggak bisa dengerin gue?" Aku menghela napas sambil berdiri, "Dan tolong kasih tahu aku kenapa aku harus dengerin kamu, selain karena aku ini karyawan dan tutor kamu!" Aku berusaha menahan emosiku di sini. Elang mendekatiku dan mencengkeram tanganku dengan cukup kuat, "Lo kenapa sih?" tanyanya dengan mata cokelatnya yang menyala, "lo menikmati dapet perhatian dari Bio, huh? Lo suka sama dia?" tanyanya dengan sinis. Aku menepiskan tangannya dan bergerak menjauh dari Elang, Seraya membereskan gelas bekas minumku tadi, aku menjawab, "Kalau iya, kenapa?" "Lo enggak tahu siapa Bio!!" tukasnya jengkel. "Aku tahu! Dan kamu enggak berhak ngatur hidup aku!" "Gue berhak, karena gue sayang sama lo!" ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN