[Liking someone doesn't mean you have to be lovers, sometimes you just have to be friends.
-unknown-]
Mataku mengerjap berkali-kali sambil menatap pemilik mata cokelat—yang berlesung pipi menawan itu—dengan kaku. Ia juga berdiri membeku di hadapanku seolah tidak menyadari dengan apa yang baru saja disampaikannya atau ia malah menyesal. Tapi laki-laki ini begitu teganya mempermainkan perasaanku dengan bilang sayang padaku.
Aku benar-benar hampir terjerat pesonanya.
Dia bilang sayang pada seorang Kirei? Siapa yang akan percaya hal itu?
Aku memilih duduk, karena biar bagaimanapun lututku terasa lemas saat ia pura-pura mengungkapkan perasaannya, "Kamu bilang apa?" tanyaku berlagak tidak dengar.
Ia menarik kursinya mendekat padaku, jantungku berdebar cepat, Elang menelan ludahnya, "Lo pasti dengar," katanya seolah lidahnya berubah menjadi kelu untuk mengulangnya atau lebih tepatnya lagi ia malas.
Aku mengerjap lagi ke arah mata cokelatnya yang dalam dengan ekspresi aneh dan tidak percaya, sembari menggelengkan kepala aku berujar, "Aku memang dengar, tapi aku enggak percaya...," sahutku.
"Jadi lo lebih percaya sama Bio?" ujarnya dengan nada cemburu.
Aku menelan ludah sambil merapikan rambutku yang terurai—untuk menghilangkan rasa gugup. Sudah pasti aku tidak percaya mereka berdua. "Kamu tuh sebenarnya maunya apa sih, Lang?"
"Gue mau lo enggak dekat-dekat Bio lagi! Simpel!"
"Kamu aneh tahu enggak! Tiga minggu yang lalu itu kamu enggak begini. Kamu benci setengah mati sama aku, dan sekarang kamu bilang sayang?" Aku berdecak sambil menghindari matanya. "Kamu salah menilai aku, Lang. Aku bukan fans kamu yang akan langsung berlutut ketika kamu mengatakan hal tadi..., " tuturku dengan jantung yang berdentum keras.
Jakun Elang bergerak naik turun, manik matanya menatapku tajam, dan dia kehabisan kata-kata. Lesung pipinya kelihatan bergerak-gerak seiring dengan rahangnya yang mengeras.
Dengan berusaha tetap tenang, aku menghela napas pelan sambil berusaha untuk bisa berdiri di atas kedua kakiku sendiri. "Kamu itu bukan siapa-siapa selain bosku di tempat kerja, dan murid bimbinganku di kampus. Jadi sekali lagi kamu enggak ada hak apapun ngatur hidup aku...," tegasku.
Ia mendengkus jengkel, "Tapi Rei, Bio punya niat enggak baik! Gue enggak—." Ia menggantungkan kalimatnya sendiri dan ikut berdiri sambil terus menatapku.
Tidak, aku tidak boleh terjerat atau jatuh dalam perangkapnya.
"Terus niat kamu baik, huh?" selaku, dan aku bersumpah melihat perubahan ekspresi pada raut wajahnya. Rahangnya terlihat semakin mengeras, matanya menatapku penuh selidik dan aku melihat sedikit kepanikan pada raut wajahnya.
Tapi lagi-lagi bukan karena takut aku menolaknya, tapi karena dia takut kalah taruhan. "Gue cuma pengin lo—."
Aku memotongnya, "Aku—bukan urusan kamu Lang. Dan kamu enggak bertanggung jawab atas apa yang terjadi sama aku," kataku. "Kamu cari saja wanita lain yang bisa kamu gombalin seperti tadi, jangan aku...," lanjutku dan membuatnya bungkam sekaligus menunduk.
Kami sama-sama terdiam beberapa saat sampai Elang menarik napas panjang dan, "Oke, gue kasih lo waktu untuk berpikir ngejawab perasaan gue tadi...," katanya sambil mengeluarkan sesuatu dari kantongnya dan mengangsurkan benda tersebut padaku, aku menerimanya sambil memandangnya skeptis. Ia hanya menyeringai sambil memutar tubuhnya, "Gue pulang...," pamitnya.
***
Elang sukses membuatku tidak bisa tidur semalaman tadi. Dan hari ini aku tetap harus pergi ke café untuk bekerja dan mengganti bimbingan belajar yang dua hari lalu kami batalkan. Aku mengetuk pintu ruangannya dua kali dan membukanya setelah terdengar seruan dari dalam. Tidak ada pembicaran lain selain topik distribusi yang menjadi tema bimbingan hari ini, lebih tepatnya aku menghindari hal itu dan juga menghindari tatapan matanya. Satu jam setelahnya, pukul sepuluh pagi—saat café sudah harus dibuka—aku pamit untuk turun ke bawah.
Hari Sabtu ini, Blue Sky menghadirkan live music lebih banyak dari biasanya. Pukul sembilan malam aku melihat Elang turun dari lantai atas tepat setelah aku turun dari panggung kecil—menyanyikan lagu Never Be The Same dari Camila Cabello—sambil menahan rasa sakit pada perutku. Ia langsung menuju pintu belakang, menuju parkiran kendaraannya. Bisakah aku menahan perasaanku setelah mengetahui bahwa aku hanyalah objek taruhannya? Kurasa tidak, selama aku masih berhubungan dengannya, yaitu menjadi tutor dan karyawannya.
Leo menegurku sesaat setelah aku memasukkan apron ke dalam lokerku dan menguncinya. "Rei...."
Aku menoleh ke arahnya, "Ya?"
Leo berjalan dari ambang pintu menghampiriku, "Hari ini kamu terlihat enggak seperti biasanya, ada apa, Rei?" tanyanya.
"Aku enggak apa-apa," sahutku singkat.
"Kamu bisa cerita padaku kalau ada masalah. Siapa tahu aku bisa bantu," katanya penuh perhatian. Tapi aku jadi waspada sekarang, entah Leo tulus atau tidak menawarkan bantuannya padaku.
"Ya, Leo. Terima kasih," sahutku sambil mengaitkan tas di pundakku dan bersiap untuk pulang.
Tapi di ambang pintu Elang sudah menanti sambil menatapku intens. Aku menghela napas panjang dan berusaha melewatinya. Tapi ia malah menahanku dengan tangannya yang membentuk palang di depanku, "Gue antar lo pulang, Rei," katanya.
Aku menggeleng cepat sambil berusaha menurunkan tangannya yang menghalangiku, "Enggak perlu, aku bisa pulang sendiri." Dan aku berhasil melewatinya. Dengan langkah cepat aku berderap menuju pintu keluar.
Elang mengejarku, "REI!" teriaknya. Ia berhasil meraih tanganku dan kembali menahanku sebelum aku mencapai pintu keluar yang tinggal dua meter lagi, "gue salah apa sih? Apa salah kalau gue sayang sama lo, huh?!" Ini kedua kalinya ia bilang sayang padaku.
Aku terdiam. Tidak salah kalau itu adalah perasaan yang real, Lang. Yang salah adalah, aku tahu kalau sayang kamu itu palsu. Aku menggeleng, "Jangan keras kepala Lang. Aku enggak seperti cewek-cewek kamu sebelumnya...."
"Dasar culun! Ya karena lo beda sama cewek lain!" sanggahnya sembari menguatkan cengkeraman tangannya di tanganku karena aku berusaha melepaskan diri, "gue antar pulang...."
"Enggak mau!"
Aku terkejut karena tiba-tiba saja Elang mendesakku ke dinding dengan tubuhnya, "Gue tahu lo juga suka sama gue, Rei..., " desisnya di telingaku, bulu kudukku sampai berdiri merasakan napasnya yang panas. Aroma khas mint maskulin yang menguar dari tubuhnya menyeruak masuk ke dalam hidungku, rasanya aku bisa mabuk kalau berlama-lama menghirup wanginya.
Jangan menyerah Kirei! Aku menggeleng keras dan berusaha melepaskan diri dari perangkapnya. Kulihat ada kesempatan untuk menggunakan kakiku yang bebas dengan mengayunkan lututku ke arah bagian tengah antara dua kakinya, dan BUGH!
"AAAKH!!" Sontak saja ia melepaskanku dan memegangi bagian vitalnya yang kesakitan akibat tendanganku itu. Aku hampir jatuh iba melihatnya meringis kesakitan, tapi kuabaikan perasaan itu dan belajar untuk tidak peduli—dengan berjalan cepat dan menjauh darinya secepat mungkin.
Ia mengejarku dengan kesakitannya dan bukan Elang kalau tidak berhasil menarikku untuk masuk ke dalam mobilnya. Dengan ekspresi marah campur meringis karena masih menahan sakitnya ia menatapku tajam, "Ini udah malam, gue anterin!"
"ENGGAK!" Aku masih berusaha menolak ketika Elang memasukkanku ke dalam mobilnya dengan paksa. Ini terlihat seperti sebuah penculikan. Dan demi menjaga ketenangan lingkungan sekitar pada malam hari ini atau tidak mengundang perhatian orang lain, maka aku mengalah untuk masuk ke dalam mobil walau sambil bersungut-sungut dan terdiam seribu bahasa sepanjang perjalanan.
Elang berhenti di depan rusun tempat tinggalku dan tanpa menunggu aba-aba darinya aku membuka pintunya dan meloncat turun untuk berlari ke arah lobi dan masuk ke dalam lift yang kebetulan baru membuka.
Sesaat kemudian ponselku berbunyi notifikasi pesan darinya, Lo enggak sama seperti cewek lain, Rei. Dan ini pertama kalinya gue bilang sayang ke cewek.
Aku berdecak membaca pesannya. "Terus aku harus tersanjung, gitu?" gumamku kesal.
Aku tidak akan biarin kamu memenangkan taruhan ini, Lang. Tidak juga Bio.
Kembali malam ini aku tidak bisa tidur nyenyak karena memikirkan kata sayang yang sudah beberapa kali diucapkan Elang padaku. Ponselku berbunyi notifikasi, dan mendapati kiriman rekaman suara dari Elang. Aku membukanya dan terdengar suara Elang dengan gitarnya menyanyikan lagu If I Can't Have You dari Shawn Mendez.
I can't write one song that's not about you
Can't drink without thinkin' about you
Is it too late to tell you that
Everything means nothing if I can't have you?
Jantungku berdentum keras mendengar liriknya dan tanpa sadar senyum tersungging di bibirku. Mana mungkin aku enggak jadi baper kalau begini?
Tiba-tiba suara bel pintu membubarkan khayalanku, aku membuka pintunya dan terhenyak mendapati Elang ada di depan pintu rumahku. Ia menerobos masuk begitu saja ke dalam rumah sebelum aku sempat berkata apapun.
"Kamu—mmphtt!!" Bibir Elang menyambar bibirku dan mendesaknya dengan keras.
Elang menciumku!!
Aku mendorong tubuhnya sekuat tenaga dan menatapnya dengan marah, tanganku spontan melayang ke arah pipinya yang bolong.
PLAK!!
Aku menamparnya untuk yang kedua kali dan menghapus bekas salivanya di bibir dengan punggung tanganku. Kemudian aku menatapnya dengan perasaan berkecamuk dalam d**a. Jantungku berdegup dengan kencang, memandangnya geram, "Apa-apaan sih kamu, Lang!!" semburku menahan amarah.
Ia masih memegang pipinya yang agak memerah karena tamparanku tadi, "Gue enggak bisa nahan lagi, Rei."
Mataku membelalak mendengar jawabannya, dia sama sekali tidak memedulikan perasaanku! Ia tidak peduli kalau aku marah dan merasa direndahkan.
"Seandainya lo biarin gue lebih lama, lo pasti akan ketagihan...," ujarnya , "dan gue dengan senang hati—," Ia berhenti karena aku mendorong dadanya dengan kesal.
"Aku enggak suka! Dan enggak akan pernah suka!!" sanggahku marah, "ciuman kamu payah! Enggak seperti yang diceritakan orang-orang!” sindirku. “Kamu dengar ya Lang ... aku enggak suka ciuman kamu!" tukasku sambil mendorong lagi tubuhnya dengan sekuat tenaga sampai ia keluar dari rumahku. "Pergi sana!" usirku dan kembali menyapu bekas bibirnya dengan tanganku setelah menutup pintunya rapat-rapat.
Kupejamkan mata sambil bersandar di balik pintu dan merosot ke lantai seperti di film-film. Kuhela napas panjang sembari memegangi dadaku yang masih saja berdegup keras, walau sosoknya sudah pergi dari hadapanku. Rasa bibirnya masih ada, membekas sempurna ... oh Tuhan, ini yang dirasakan Ruth ketika ia tidak bisa melupakan rasa bibir Elang.
***