SEPULUH

2088 Kata
[If you cannot hold me in your arms, then hold my memory in high regard. And if I cannot be in your life, then at least let me live in your heart. - Ranata Suzuki -] Pagi ini lebih cerah dibanding hari-hari sebelumnya, matahari sudah terasa hangat di kulitku walau waktu masih menunjukkan pukul 6.45 pagi. Langitnya biru terang, bahkan awan pun sepertinya enggan menampakkan dirinya. Langkahku tertahan diujung lorong loker ketika aku melihat Bio yang berjalan ke arahku. "Pagi Kirei," sapanya, terdengar jujur dan biasa saja kalau aku tidak tahu maksudnya menegurku. Aku menelan ludah sambil menahan perutku yang sedikit mual. Aku hanya membalasnya dengan senyuman dan tetap melangkah ke arah lokerku. Bio mengikutiku, "Kamu sudah sarapan, Rei?" tanyanya. Aku mengangguk, "Sudah," sahutku, "tapi aku bisa minum kopi...," lanjutku. Kurasa ini saatnya aku membuatnya untuk berhenti mendekatiku. Ekspresinya berubah sumringah. Dia pasti berpikir kalau ia akan memenangkan mobil Lamborgini impiannya itu. Dia benar-benar terlihat gembira kalau aku bisa menemaninya sarapan. Dua player yang sangat ahli dalam hal berakting, pikirku memuji keduanya—Elang dan Bio. Bio memesan makanannya dan kopi untukku. Kami memilih duduk di area outdoor, karena Bio sambil merokok. Profilnya juga tidak luput dari perhatian mahasiswi kampus, karena setiap yang datang tidak akan melewatkan pandangannya untuk melihat laki-laki tampan yang sedang duduk bersandar sambil menopang satu kakinya di atas kaki lainnya itu. Sedangkan tangannya memegang rokok. Tidak ada yang salah dalam penampilannya secara fisik, rambutnya hitam berpotongan seperti bintang film Tyler Posey di Teen Wolf. Beberapa juga memperhatikanku dan seperti bertanya-tanya kenapa aku bisa duduk berduaan dengannya di pagi ini. Aku memperhatikannya dari balik gelas kopi yang kuminum. Haruskah aku bangga menjadi target taruhan mereka berdua? Bio mematikan rokoknya dan menegakkan tubuhnya untuk menikmati makanannya, "Kamu enggak mau sarapan lagi?" Aku menggeleng, "Enggak," jawabku. "Kamu nanti kerja?" tanyanya. "Ya." Ia mengangguk cepat, "Oke, kalau libur, kita nonton film mau enggak?" tanyanya. "Kenapa?" Dahinya berkerut bingung tidak jadi memasukkan makanan ke dalam mulutnya, "Hh? Kok kenapa?" "Ya, kenapa kamu ngajak aku?" Kali ini alisnya yang berkerut, "Ya, karena aku mau nonton sama kamu, Rei," jawabnya, tidak memuaskanku. "Tapi aku enggak nonton sama orang yang baru kukenal Bi ... maaf," kataku menolaknya. Mulutnya menganga, "Tapi kita kan udah beberapa hari kenal," sergahnya. "Butuh tahunan berkenalan untuk bisa nonton sama aku Bi," jawabku sengaja membuatnya kesal dan membuatnya semakin berpikir bahwa aku adalah 'cewek sok jual mahal' seperti yang ia katakan waktu itu. Pasti ia sedang mengumpatku dalam hati sekarang. Tidak ada tanda apapun ketika tiba-tiba saja tubuh Bio terangkat dengan sendirinya sehingga menyebabkan kursi yang didudukinya terbalik dan jatuh. "b*****t LO!!" Suara Elang menggelegar sembari mencekal kerah baju Bio dan tangan satunya hampir membuat wajah Bio memar lagi kalau saja aku tidak mendorongnya mundur sehingga cowok pemarah itu melepaskan kerah baju Bio. Aku berdiri di antara keduanya. "Kamu apa-apaan sih?" makiku pada Elang yang masih menatap Bio dengan mata cokelatnya yang garang. Sementara itu Bio juga memandang Elang dengan seringai mengejek dan menantangnya. Sepertinya mereka serius sama-sama ingin memenangkan taruhan ini. Elang yang tidak ingin kehilangan Lamborgininya dan Bio yang begitu ingin mendapatkan mobil mewah itu secara cuma-cuma. Mata cokelat yang memancarkan api kemarahan itu beralih padaku, "Lo juga keras kepala banget sih! Mau lo apa huh? Lo mau bikin gue cemburu atau gimana?" tanyanya dengan nada gusar, "lo lupa kalau kemarin bibir lo itu gue perawanin?" ungkapnya asal dengan suara keras, seperti sengaja mau memberitahu Bio soal insiden ciuman itu. Aku terperangah dan spontan melihat ke sekeliling, ada beberapa orang yang memperhatikan kami karena sudah membuat keributan pagi-pagi. Namun kemudian pandanganku berhenti—bersamaan dengan degup jantungku yang berdetak cepat—saat aku melihat sepasang mata yang sangat kukenal menatapku dengan ekspresi terluka. Ruth—dia mendengarnya! Tidak – tidak ... Ruth tidak boleh salah paham oleh kata-kata Elang tadi. Ia memutar tubuhnya setelah melemparkan tatapan sinisnya padaku. Aku berniat mengejarnya, tapi tangan Elang menahanku. "Lo mau kemana?" geramnya. Aku menatap bola matanya yang memantulkan sinar kecokelatan karena cahaya matahari yang terang, lalu memutar kepalaku ke belakang melihat ke arah Bio. Aku menelan ludah dan berkata, "Sebaiknya kalian berdua berhenti mendekatiku, karena aku sudah tahu semuanya...." Aku berusaha untuk tetap tenang. "Aku tahu tujuan kalian, dan usaha yang kalian lakukan terhadapku hanyalah sandiwara saja. Jadi, kumohon hentikan...," kataku dan melepaskan tangan Elang dariku sementara matanya membesar menatapku. Ia melihat ke arah Bio, mungkin ia mengira Bio yang memberitahuku atau entahlah. Yang pasti aku meninggalkan keduanya saat itu juga dan berusaha mencari Ruth. Tapi Elang lagi-lagi mengejarku dan berhasil menghalangi langkahku. Ia berdiri di hadapanku, "Maksud lo tadi ... apa maksud lo tahu semuanya itu, Rei?" Ia berusaha memancingku. "Lang, please...." Aku berusaha melewatinya. "Enggak! Apa yang lo tahu!?" desaknya sambil memegang kedua pundakku dengan kuat, "tapi terserah lo tahu apa deh. Yang pasti gue serius mau lo jadi pacar gue, Rei!" ujarnya dengan raut sungguh-sungguh. Mataku membesar menatapnya, dasar cowok egois yang tidak peka! Bisa-bisanya dia memikirkan taruhannya di saat begini? Pandanganku mengedari sekitar, beberapa pasang mata penasaran menantikan apa jawabanku untuk lelaki yang menjadi idola wanita satu kampus ini, "ENGGAK!!" jawabku dengan suara keras yang lantang dan penuh keyakinan. Dan aku bersumpah mendengar suara terkesiap dari beberapa orang yang memperhatikan perdebatan kami. Matanya membelalak mendengar kerasnya penolakanku di depan umum. Harga dirinya pasti terinjak-injak sekarang. Mungkin aku adalah perempuan satu-satunya yang menolak untuk menjadi pacarnya. Dadanya naik turun menahan emosinya, kepalanya mendekat ke wajahku, ia bertanya lagi, "Apa lo bilang?" tanyanya dengan tekanan emosi yang kentara. Aku menghindari tatapan matanya sambil mengangguk, "Kamu dengar jawabanku...," kataku. "Pembohong!" tudingnya seraya mundur selangkah dariku. Hah? Siapa yang pembohong? Ya mungkin aku memang berbohong sedikit soal perasaanku, tapi itu hanya karena aku tidak mau lebih sakit lagi nantinya. Aku menghela napas panjang, "Aku pembohong?? Sebaiknya kamu berkaca, Lang!" semburku sembari pergi meninggalkannya. Terdengar suara bisik-bisik yang mengiringi kepergianku dan mungkin besok aku akan menjadi lebih popular karena menolak cowok paling keren di Kampus Segara ini. Kemudian aku mendengar teriakan dari cowok egois itu, "AARGHH!! f**k YOU, REI!!" makinya dengan suara tidak kalah keras dari penolakanku tadi, aku menoleh ke arahnya ketika ia juga memutar tubuhnya pergi dengan gusar dan marah. Fuck me? Kamu yang b******k, Lang!! Makiku dalam hati. Tapi aku mengacuhkan makiannya dan tetap berjalan menuju kelas demi mencari Ruth dan menjelaskan semuanya. Namun sebuah suara memanggilku berkali-kali sambil mengejarku, aku berhenti seraya menarik napas panjang dan menatap Bio dengan skeptis. “Rei—maksud kamu....” Ia sengaja tidak menyelesaikan kalimatnya. Aku mengangguk, "Ya, aku tahu kalau kamu dan Elang menjadikanku taruhan kalian Bi...," ungkapku, "aku mendengar pembicaraanmu dengan teman-temanmu," lanjutku lagi. Matanya membulat sambil menelan ludahnya dengan susah payah. Ekspresinya penuh penyesalan, tapi tentu aku tidak akan gampang percaya begitu saja. "Kirei—aku—." Aku menunduk dan mendongak lagi sembari kuhela napas pendek, "Cukup Bi, aku hanya minta kalian berdua jauhi aku mulai sekarang," ujarku dan melanjutkan langkahku menuju kelas. Aku tidak menemukan Ruth di manapun, ia pasti marah atau kecewa padaku. Dengan ponsel menempel pada telinga, mataku tetap sibuk mengedar mencari sosoknya. Teleponku tidak diangkat. Hari ini aku tidak bertemu lagi dengan Ruth ataupun Ina, mereka berdua tidak juga menjawab teleponku. *** Sampai hari berikutnya, aku belum juga bisa menghubungi Ruth ataupun Ina untuk menjelaskan duduk persoalannya. Bahwa apa yang didengarnya hanyalah sandiwara saja. Dan Ina tahu soal sandiwara ini. Tapi sampai selesai kuliah hari ini mereka tidak membalas telepon ataupun pesanku. Baiklah. Aku tidak akan memaksanya untuk memahami situasiku. Biar saja mereka mau berpikir apa—aku tidak terlalu peduli lagi. Kalau mereka masih menganggapku sahabat, seharusnya mereka mau mendengar penjelasanku. Tapi yang terjadi sebaliknya. Dering ponselku terdengar dari dalam tas, aku meraihnya dan melihat si penelepon—Elang. Tanpa pikir panjang aku menekan tombol decline dan mematikan ponselnya. Ini supaya laki-laki itu tidak mencoba menghubungiku lagi. "BU LURAH! Tunggu!" Alih-alih menoleh untuk melihatnya aku malah menambah kecepatan langkahku untuk segera menjauh darinya. Tapi tiba-tiba saja sosoknya sudah berada di hadapanku. Aku berdecak pelan, "Maaf Lang, hari ini kita libur dulu bimbingan, aku harus pergi...," ujarku sambil bergeser ke kiri untuk melewatinya. Ia menyamakan langkahnya denganku, tentu saja cowok keras kepala ini tidak akan berhenti sampai ia mendapatkan apa yang dia mau. "Gue cuma mau ngomong Rei," katanya, Aku menghela napas, "Kalau enggak berkaitan sama bimbingan, aku enggak mau." "Gue mau ngomongin soal—." Suaranya sedikit tersendat, aku melihat ada gurat penyesalan di wajahnya. Tapi mana aku tahu kalau itu hanya akting saja. "Enggak perlu dibahas juga, aku hanya minta kamu untuk jauhin aku...," seruku sambil terus berjalan ke arah halte bis. "Enggak bisa!" Aku memicing menatapnya, "Huh? Kenapa?" tanyaku heran. "Lo tahu kenapa." Aku menghela napas pendek sambil berdecak, namun darahku berdesir cepat dan jantungku berdentum keras aneh lagi. "Dan kamu berharap aku percaya?" Nadaku skeptis, "aku enggak percaya, dan enggak akan pernah percaya sama kamu, Lang!" sanggahku sembari bergerak ke pinggir—karena bisku sudah terlihat—dan naik ke dalamnya. Dan cowok berlesung pipi dengan rambut cokelat sedikit berantakan itu ikut naik ke dalam bis bersamaku. Aku menoleh ke arahnya ketika sudah berada di dalam dan duduk. "Kamu mau ke mana?" "Ke mana pun lo pergi...." "Aku harus kerja, Lang," sahutku. "Tenang aja, bos lo k—." Aku menyelanya, "Aku sudah enggak di cafe Blue Sky lagi." Matanya mendelik horor menatapku. "Maksud lo?" Dia menggeleng cepat, "Enggak! Lo enggak boleh keluar dari cafe!" sergahnya. Aku memalingkan wajah darinya, menatap keluar jendela bis yang sedang melaju sambil sedikit meringis—merasakan sakit yang datang tiba-tiba pada perutku. "Lo enggak boleh kerja di tempat lain, Rei!" "Bukannya kamu yang pengin aku keluar dari sana saat pertama kali?" sindirku, "dan aku enggak mau kamu atur-atur...," lanjutku sambil meringis lagi, dan kali ini Elang melihatku. "Lo kenapa, Rei?" tanyanya cemas sambil menyentuh tanganku, seperti real. "Enggak apa-apa," jawabku berusaha menyembunyikan sakitku sembari menarik tanganku dari sentuhannya. Ekspresinya berubah, "Bu Lurah! Muka lo itu pucet, berarti lo kenapa-kenapa!!" bentaknya. Kupejamkan mataku demi menahan sakitnya yang datang lagi. Ini sakit biasa yang sering terjadi setiap saat awal datang bulan. Aku masih memegangi perutku sembari berdiri untuk turun ketika bis berhenti di tujuanku. Elang mengekoriku. Untung saja tangannya yang kuat sempat menangkap tubuhku yang hampir jatuh ke aspal karena limbung. "Kirei...." Ia menyentuh dahiku yang berkeringat dingin dan membawaku duduk di halte. Ia menekan-nekan ponselnya dengan cepat, "gue bawa lo ke dokter," katanya. Aku berdecak sambil menarik napas panjang, "Aku sedang datang bulan, Lang. Enggak apa-apa ... ini sudah biasa, nanti juga hilang," terangku. Elang menoleh padaku dengan ekspresi aneh, "Lo kesakitan begini setiap bulan, lo bilang enggak apa-apa? Pasti ada yang salah!" katanya sok tahu. Aku menggeleng, "Enggak ada," kataku. Please jangan sok perhatian, Lang. Ketika sebuah taksi berwarna biru berhenti di depan kami, Elang meraih tanganku dan memaksaku untuk masuk ke dalamnya dan memerintahkan supir taksinya untuk membawa kami ke dokter. Sekeras apapun usahaku menolak ajakannya tidak merubah apapun, lagipula aku memang tidak punya daya lagi untuk membantahnya—karena kesakitan. Aku masih meringkuk seperti udang saat taksi sudah sampai di rumah sakit. Elang keluar lebih dulu dan mengangsurkan tangannya padaku dari pintu lain, aku bergeser pelan-pelan sampai semua anggota tubuhku keluar dari mobil dan di luar dugaan Elang membopongku masuk ke dalam rumah sakit. "Elang, turunin!" jeritku. "Enggak!" Jangan periksa jantungku, please. Elang baru menurunkanku ketika seorang perawat membawakan kursi roda padaku dan mendorongku ke bagian perawatan UGD. Dokter bilang sakitku hanyalah karena hormon yang tidak seimbang, harus banyak makanan bernutrisi dan jangan berlemak atau banyak gula. Jadi dokter hanya memberikan vitamin untuk menetralisir sistem hormon di tubuhku. *** Elang masih duduk di tepi tempat tidur dan mengusap punggungku—karena aku tidur membelakanginya. Aku hanya perlu memejamkan mata sebentar, sekitar dua sampai tiga jam, setelah itu biasanya rasa sakitnya akan berkurang. Lututku kembali naik sampai hampir ke dadaku, kemudian memeluknya. Posisi ini yang paling meringankan sakit pada perutku. Elang menyentuh lenganku lagi, tanpa suara. "Aku enggak apa-apa, kamu pulang aja...." Aku tidak mendengarnya menyahut, tapi aku merasakan tempat tidurku sedikit melesak, ternyata Elang ikut merebahkan dirinya di belakangku, dan selanjutnya yang dilakukannya tidak pernah terlintas dalam benakku ataupun kuharapkan terjadi. Tangannya melingkar di pinggangku, dan tangan satunya menarik kepalaku mendekat ke dadanya, ia mendekapku dengan tangannya ikut menahan lututku ke arah perut demi mengurangi sakitku. Rasa itu aneh, tidak pernah kuundang datangnya, tapi sakit ketika memikirkan rasa ini hanyalah bagian dari sandiwaranya. Tapi aku diam saja. Aku tidak memberikan gestur menolak, malah merasa nyaman dan Elang malah mempererat pelukannya, aku semakin nyaman sampai melupakan rasa sakitnya dan akhirnya tertidur pulas. Aku baper dan tenggelam dalam kenyamanan yang diberikannya. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN