[That person who enters your life out of nowhere, and suddenly means the world to you
- Pinterest.com -]
♥♥♥
Mataku terbuka perlahan dan terkejut masih mendapati Elang berada di sebelahku dengan posisi duduk, matanya intens menatapku, "Rei...."
Aku melihat ke arah jam dinding di kamarku, sudah pukul lima sore dan aku melenguh ketika teringat bahwa aku sudah melewatkan hari pertamaku bekerja begitu saja. "Kenapa kamu masih di sini?" tanyaku mendongak ke arahnya.
Ini fake atau real—perhatiannya.
"Ya lo pikir gue akan ninggalin lo sendirian dengan kondisi begini? " tukasnya sembari beranjak dari tempat tidur dan meraih ponselnya.
"Terima kasih, Lang. Tapi kamu enggak perlu repot-repot nungguin aku di sini. Aku sudah enggak apa-apa sekarang," kataku dengan berusaha beranjak juga dari tempat tidur. Syukurlah, rasa sakit pada perutku sudah berkurang.
"Terus lo ngusir gue?" ucapnya. "Gue udah pesenin bubur ayam. Lo makan, terus minum obat yang tadi dikasih dokter," lanjutnya benar-benar sok perhatian.
Dasar badboy kelas kakap, terus saja buat aku baper, dan aku akan sakit hati di akhirnya. Aku harus bisa menghilangkan perasaan ini pada Elang. Harus! Tapi kalau sosoknya terus-terusan berada di depanku, bagaimana caraku menghilangkannya.
Elang itu tidak menghargaimu Kirei.
Dia menganggap kamu hanyalah seorang gadis perawan yang gampang dipermainkan dan gadis biasa yang sok jual mahal.
Karena alasan itulah aku harus membencinya, harus—harus—harus!
Aku menyusulnya keluar kamar dan melihatnya sedang menata meja makan dengan sajian makanan. Gesturnya nampak lihai dalam menyajikan makanan di atas meja—dan segera saja aroma makanannya merebak ke seluruh penjuru kamarku. Aku duduk di salah satu kursinya, dan ia mendorong mangkuk berisi bubur ayam padaku, kepulan asap dari mangkuknya mengeluarkan harum yang menggugah selera, membuatku lapar. "Makan...." katanya seraya ia duduk dan membuka makanan lainnya.
Kemudian ia menatapku intens, membuatku menghindari matanya, "Perhatian kamu enggak akan merubah keputusanku, Lang," lontarku sambil mengaduk buburnya.
"Terserah," sahutnya kembali fokus pada makanannya. "Gue sama Bio memang taruhan untuk dapetin lo, tapi itu sebelum gue kenal lo, Rei," ungkapnya. "Dan semua berawal dari gue yang enggak terima karena lo udah nampar gue di depan teman-teman gue."
Aku terdiam dan menunggunya melanjutkan ceritanya. "Tapi setelah kenal lo lebih dekat, gue ngerasa ada yang aneh, entah kenapa gue meradang kalau ngeliat lo deket-deket cowok lain, apalagi Bio," ungkapnya lagi. Elang menggeser kursinya lebih dekat padaku—ia meraih tanganku dengan kedua tangannya, "mungkin awal pendekatan gue salah, Rei. Tapi taruhan itu enggak ada hubungannya sama perasaan gue sekarang...." Ia menelan ludahnya, "gue enggak bohong soal perasaan gue...." Matanya menatapku dalam dan aku hampir tersesat lagi di kedalaman mata cokelatnya itu.
Secara perlahan kutarik tanganku dari genggamannya, "Terima kasih Lang—untuk perasaan kamu, tapi maaf ... aku benar-benar enggak bisa membalasnya," ucapku hampir tercekat.
"Kenapa?"
Alisku berkerut menatapnya, tapi sebisa mungkin aku menghindari matanya, "Karena kita berbeda, Lang, sangat berbeda—jauh," sahutku.
"Ya jelas kita beda ... karena gue juga enggak suka yang sejenis...," kelakarnya sambil pamer lesungnya yang dalam itu.
Oh Tuhan kuatkan aku—kuatkan.
Aku menggeleng. "Please, Lang."
"Please, Bu Lurah! Jangan bohongin diri sendiri. Gue tahu lo juga suka sama gue!" nadanya mulai tinggi. Inilah sikap cowok yang seumur hidupnya belum pernah ditolak perempuan.
Aku berpaling darinya seraya memasukkan sendok berisi bubur ke dalam mulutku, "Siapa bilang?"
"Gue bisa lihat dari mata lo!"
"Berarti kamu salah lihat."
Elang menarik kursiku lebih dekat, "Oke, sekarang lo liat gue, dan bilang kalau lo pengin cowok b******k ini pergi dari hidup lo!" serunya sambil mengangkat daguku dengan satu jarinya.
Aku menelan ludah sambil menatap matanya yang jernih dan sendu. Tidak-tidak, ini taktiknya untuk membuatmu bertekuk lutut Rei. Jangan goyah, jangan goyah! "Aku mau kamu pergi dari hidupku ... Lang," ujarku berusaha kuat.
Aku melihatnya mengangguk seraya menarik napasnya dalam-dalam dan panjang. Ia melepaskan jarinya dari daguku. "Gue harap lo bisa jujur sama diri lo sendiri, Rei. Tapi gue hargain keputusan lo, gue enggak akan ganggu lo lagi," ujarnya sambil berdiri dan membuat dadaku sedikit sesak.
Kemudian ia keluar dari pintu rumahku tanpa melihat lagi ke belakang. Dan yang tersisa berikutnya hanyalah kehampaan dalam hatiku. Tanpa terasa air mataku bergulir membasahi pipi.
Selamat tinggal Elang.
***
Seminggu setelah hari itu, aku benar-benar tidak melihat batang hidungnya lagi, baik di kampus ataupun di cafenya—karena Leo meneleponku menanyakan di mana Elang berada—dan aku tidak tahu dia ada di mana. Aku tidak mau memedulikannya lagi, apalagi hubunganku dengan kedua sahabatku juga belum membaik, Ruth dan Ina masih tidak mau mendengar penjelasanku dan selalu menghindariku.
Ketika dalam perjalanan keluar menuju gerbang kampus, tiba-tiba Eva muncul menghadangku, matanya tertuju padaku dengan penuh amarah, "Heh cewek culun! Kasih tahu di mana Elang!" sentaknya.
Dia pikir aku babysitter-nya atau bagaimana? Dan aku malas meladeninya, karena itu aku tetap melangkah untuk melewatinya. Namun langkahku terhenti, ketika Eva menarik tanganku dengan kasar, "Eehh, jangan pergi dulu ... gue kan belum selesai ngomong!"
"Kamu salah sasaran, Va. Aku enggak tahu di mana dia!" ujarku sambil menepiskan tangannya dengan keras.
Dan seperti biasa, keributan kami mengundang rasa ingin tahu orang yang lewat. "Lo jangan ke GR-an ya, cuma karena Elang bilang pengin lo jadi pacarnya! Asal lo tahu, dia itu deketin lo cuma untuk taruhannya sama Bio!" ungkapnya seolah-olah aku tidak tahu hal itu.
Aku mendengar suara terkesiap sekaligus tatapan iba dari orang-orang yang menonton perdebatan kami.
"Tapi kamu juga tahu kan kalau aku sudah menolak cowok itu?!" tukasku agak keras.
"Lo tuh sok kecakepan tahu enggak!" lontarnya terdengar geram. "Sok jual mahal...," gumamnya cukup keras.
Aku mendekatinya dan berbisik , "Dan asal kamu tahu Va, Elang sudah bosan sama yang murahan...."
Geraman Eva terdengar makin keras, "Sialan! Lo pikir lo siapa sih, huh?!" Eva mencoba mengintimidasiku dengan mendorong bahuku, namun tiba-tiba muncul sosok kekar yang menghalangi Eva berbuat lebih buruk padaku.
"Dia pacar gue!!" tegasnya keras, tangannya mencari-cari tanganku untuk diraihnya dan disembunyikan di belakang tubuhnya. "Lo pergi dari hadapan gue sekarang, atau lo pergi dari kampus ini selamanya? Lo pilih!" Suaranya penuh ancaman dan membuat semua membelalak karena mendengar pernyataannya itu.
Mata Eva membesar menatap Elang dan menatapku bergantian dengan ekspresi penuh kebencian. Namun mulutnya kaku tidak bisa berkata-kata lagi. Dengan menghela napas berat dan emosi yang tertahan, ia memutar tubuhnya dan pergi meninggalkan tempat kejadian perkara dengan gusar. Dan aku pun tidak ingin berada di tempat yang sama dengan Elang saat ini, aku melepaskan tanganku dan pergi menjauh dengan langkah cepat—walau aku tahu tidak akan bisa menghindarinya sekarang.
"Rei! TUNGGU!!" Dan ia sudah ada di sebelahku lagi.
Aku berdecak melihatnya, setelah taruhannya terbongkar, seingatku dia belum minta maaf padaku sedikit pun. Yang ada dia hanya menunjukkan bahwa seolah-olah perasaannya padaku adalah real. "Kamu sudah setuju untuk enggak masuk ke dalam hidupku lagi, Lang. Jadi enggak ada yang perlu dibicarain," ujarku.
"Lo bisa dengerin gue dulu, enggak?!"
Aku menatap lekat-lekat ke arah matanya sekarang, berusaha mengabaikan dua lubang pada pipinya itu. "Kamu tahu kan kalau semua orang sekarang tahu kalau aku adalah target taruhan kamu dan Bio?"
"Terus?" tanyanya.
Aku melongo menatapnya, "Ya orang-orang pasti mengira kamu mendekati aku itu karena taruhan itu!"
"Gue enggak peduli itu! Yang penting itu perasaan lo gimana ke gue?"
Aku menggeleng sambil menghela napas panjang, "Aku sudah pernah kasih tahu kamu soal perasaanku."
"Dan gue enggak percaya!"
Aku menggangguk, "Kalau begitu ternyata kita sama, sama-sama enggak percaya dengan perasaan satu sama lainnya, kan?" kataku.
"Tapi perasaan itu bisa berubah karena terbiasa kan, Rei?" cetusnya sok puitis. "Aku mau ke US malam ini dan enggak akan kembali lagi, tapi kalau lo bilang mau jujur—gue akan balik lagi untuk lo...," lontarnya membuat dadaku bergetar, tapi dia memang ahlinya bukan?
Kuhela napas pendek pelan, "Aku enggak berhak mengatur hidup kamu, Lang."
"Gue kasih lo hak untuk itu, lo yang putusin Rei," ujarnya.
Aku menggeleng lemah seraya menunduk, seminggu tidak bertemu dengannya benar-benar membuat hariku kacau balau, ditambah aku tidak bisa menceritakan apa yang kurasakan pada sahabatku—yang notabene menghindariku—yang semakin jauh dariku. Bersamanya atau tidak aku tetap kehilangan sahabatku. "Entahlah, Lang," pondasiku mulai goyah.
"Gue sayang sama lo, Bu Lurah, apa itu salah?"
Ya Tuhan, pengakuan itu lagi. Fake atau real? "Jangan gampang mengucapkan kata itu, Lang."
"Lo pikir gampang ngomong gitu? Pegang nih!" ujarnya sembari meraih tanganku dan menempelkan telapakku di dadanya. "Gue begini cuma kalau ketemu lo aja!"
"Ck! Gombal!" sahutku sambil berdecak dan menarik tanganku kembali.
***