Mahluk di Dalam Semak Belukar

1395 Kata
“Kamu masih membenciku?” Marni yang masih terjongkok tiba-tiba saja bertanya.  “Hah?” aku terbengong.  “Soalnya, kowe seperti menjaga jarak denganku. Apalagi, sejak dulu kowe sudah tau rahasiaku,” terangnya.  Aku menggeleng, tak menyangka. Pikiranku selalu terbuka dan tak pernah berpemikiran sesempit itu, tetapi Marni ternyata terlalu grumuh . Itu membuatku mendengus. Ini mungkin bagian dari rencana Tuhan untuk meluruskan sesuatu yang bengkok.  “Soal jimat, dan ritual-ritual klenik enggak mutu itu?” selorohku.       Marni tersenyum, begitu kecut. Tersirat bantahan kuat dari ekspresi wajahnya yang menakutkan, tetapi kalau bukan aku, siapa lagi yang berani jujur? Sejak SMP, Marni memang sudah melakukan perawatan magis seperti mandi kembang, dan pasang susuk. Dia juga sangat percaya dengan jimat, dan berpemikiran terlalu animisme. Padahal, Marni kecil sebenarnya sangatlah aktif. Bahkan, melebihi Jumi. Membuat aku, dan Ilham babak belur hanyalah rutinitas, di masa itu.       Ya, kami merupakan sejawat. Di antara kami bertiga, Marni merupakan sosok dominan yang ditakuti. Muka merah, mata terbelalak, mengincar alat vital. Pokoknya, Marni bisa menjadi sangat mengerikan kalau sudah marah. Saking takutnya, sampai sekarang pun, Ilham masih jadi barang kalahan kalau di rumah.  Jika kuingat kembali, masa itu sebenarnya tidak buruk. Menjahili Pak RW, memetik jambu tetangga tanpa izin, berburu ucen di ladang. Semua terasa menyenangkan meski adakalanya kami berselisih paham. Tanpa mereka, aku pasti sudah jadi anak badung yang tak tahu aturan.       Sayangnya, mereka berdua bersekolah ke desa sebelah, yang katanya memiliki reputasi lebih baik. Maklum, SD di desaku kebanyakan bermurid dekil dan norak sepertiku. Sementara, keluarga Ilham merupakan orang terpandang. Tak seperti kami yang lebih sering angon kambing ketimbang duduk di bangku sekolah, hidup mereka merah-meruh . Sejak itu pula, pertemanan kami akhirnya merenggang.       Kelakuan Marni berubah drastis saat SMP. Rumornya, dia ditolak pemuda tampan di sekolah kami, dan dicemooh dekil. Sejak saat itu, dia bertekad menjadi cantik dengan cara apa pun. Dia mulai hobi merias diri, mengubah sikap, sampai tak segan mendatangi dukun, hanya demi kecantikan duniawi.       Sialnya, dia tak tahu kalau dukun yang dia andalkan untuk memasang susuk adalah pamanku. Setelah kecurigaanku terbukti, aku jadi sedikit menjaga jarak dengannya, tetapi alasannya bukan karena takut apalagi jijik. Aku hanya merasa kecewa dengan alasan yang membuatnya rela berbuat sejauh itu. Lantaran perkara jenaka yang bisa ditemukan di mana saja, cara tak halal dia lakoni.  “Jawab!” desak Marni.       Sebenarnya, itu topik tak berbobot yang kurang pantas dirumpikan. Namun matanya yang berkaca-kaca merupakan kelemahanku.  “Aku ndak membencimu, kok! Keinginan tampil cantik itu memang wajar!” hiburku.  “Lalu, kenapa kowe menjauhiku?” desaknya.  “Alasanmu! Alasanmu itu yang tidak kusuka,” jawabku. Marni menatapku datar, aku yakin penjelasanku tak cukup gamblang. “Maksudku, tak semestinya urusan asmara membuatmu menyiksa diri,” lanjutku.  “Ini soal harga diri!” sanggahnya.  “Harga diri apa?! Yang kulihat cuma ketamakan, kurangnya rasa bersyukurmu!” tuturku. “Kamu itu sudah menarik, Mar. Lagi pula, kamu juga sudah berhasil membalaskan dendam, toh? Bukannya sudah tak ada gunanya lagi, melakukan ritual-ritual itu?” wajangku.       Marni tersenyum. Dia berjalan mendekat dan menarik tanganku. Kulihat bentuk wajah kecilnya, sorot matanya, bibirnya, semuanya kelihatan menggoda.  “Oops!” Tiba-tiba terdengar suara itu dari arah tenda. Dia tampak terkejut bukan kepalang, saat berkata, “Sori, ganggu!”       Kami saling tatap lalu mengambil jarak, sementara Eko dengan canggung kembali masuk ke dalam tenda.  “Aku bisa jelaskan, Ko!” teriakku. Dia berbalik. Menatapku sebentar, dan berceletuk, “Sinetron!” lalu kembali ke dalam tenda.       Marni terpaku menatapku. Dia menggeleng sebentar, lalu ikut masuk ke dalam tenda. Tersisa aku dan segala kegelisahan hatiku yang berkecamuk, tali di lain sisi. Aku belum lupa akan alasanku keluar. Ya, di sini bukanlah tempat yang aman. Dengan alasan itu, aku bergegas masuk ke dalam tenda untuk mendiskusikannya.  “Ko, ada hal penting yang harus kita omongin!” ucapku. Eko tak menggubrisku. Itu membuatku menarik-narik selimutnya agar dia berhenti pura-pura tidur. “Ko! Ko!” panggilku.  “Halah, sudaah! Besok saja bahasnya. Ngantuk aku!” ketusnya.       Aku sadar dia mungkin terkejut. Sepenting apa pun juga, ini sudah terlalu larut. Lebih berbahaya kalau kuceritakan ini lekas-lekas. Toh, esok juga matahari masih terbit.  ***       Esok paginya, aku terbangun sendirian di tenda yang kosong. Kulongok bilik seberang hanya untuk mendapati wajah Jumi yang terkulai lemas. Aku segera menarik karung pembatas untuk memastikannya, tetapi nyatanya, di sana pun kosong.       Aku bergegas keluar, sambil mengenakan sarung hijau-apek milikku. Situasi di luar masih begitu dingin sampai-sampai, sarung yang kupakai serasa tembus. Kurentangkan kedua tanganku kuat-kuat, mulutku pun, terbuka lebar seperti buaya menunggu mangsa. Benar-benar masih mengantuk, tetapi cerahnya mega menyadarkanku. Aku tak hanya telah melewatkan indahnya matahari terbit, tetapi juga melewatkan kesempatan yang bagus untuk menjelaskan situasinya kepada mereka.       Namun nasi telah menjadi bubur. Aku pun, berjalan melewati tenda. Sesekali tubuhku bergidik, diterpa angin. Di ujung tenda, kulihat beberapa potongan batang pohon singkong tergeletak tak bertuan. Kulitnya masih hijau. Bekas patahannya masih belum kering. Gabus di dalamnya pun, masih basah. Sontak tubuhku menggigil. Aku segera berlari ke dalam tenda untuk membangunkan Jumi.  “Bangun, Jum!” seruku, sambil menarik-narik selimutnya.  “Sepuluh menit lagi!” jawabnya.  “Bangun sekarang, atau kusiram pake air dingin!” ancamku.  “Iya, iya, aku bangun!” gerutunya.  “Mana yang lain?" tanyaku.  “Enggak tau.” Jumi menjawabnya wegah-wegahan , sambil mengedikkan kedua bahunya.  “Ke mana mereka?” tanyaku, tali yang ditanya malah kembali tidur.       Aku pun, menggeleng. Kutinggalkan gadis kebo ini, dan kuteriakkan nama mereka satu per satu. Beberapa lama kemudian, mereka terlihat bergerombol dari arah barat. Sebagian menggendong kayu bakar, sisanya berjalan dengan santai. Saat kukira kejadian semalam memengaruhi mereka, yang kulihat malah sebaliknya. Mereka terlihat akrab-akrab saja.  “Dari mana saja kalian?!” tanyaku, kesal.       Eko tak lantas menjawab. Diturunkannya kayu-kayu yang dia bongkok , lalu kudengar jelas dia menghela napas. Ilham juga melakukan hal yang serupa. Itu membuatku sedikit merasa bersalah karena tak bisa membantu. Lalu kulihat wajah keringatan Eko. Dia pun, berkata, “Ya ngambil kayu, lah!” Ilham mengangguk mengamininya, sementara Marni masih cuek.  “Kita harus segera turun, Ko!” hebohku.  “Kenapa?” tanyanya.  “Semalam, aku mendengar suara dari luar tenda,” beberku.  “Bukannya itu ranting?” acuhnya.       Lho, apa aku pernah cerita padanya? Pikirku. Semakin menukik kedua alisku, memikirkan betapa anehnya perbincangan ini.  “Apa bedanya? Lagi pula, semalam kan kamu dan Marni ....”  “Kan, sudah kubilang itu salah paham!” potongku.       Mereka terdiam menatapku. Itu membuatku mengarahkan tatapan kepada Marni. Namun gadis itu malah membuang pandangan.  “Jadi rebutan itu emang susah, ya?” Ilham tertawa, dengan kelakar tak berbobotnya.  “Yang satu adikmu, Ndes!” protesku.  “Masih saja ngeles!” celetuk Eko. Dia kemudian membawa kayu-kayu tersebut mendekati tenda, tanpa menghiraukanku.       Beberapa saat kemudian, Jumi keluar dari dalam bentengnya. Dia segera membantu membawa kayu-kayu tersebut, walau langkahnya masih terhuyung-huyung. Marni bergegas menata beberapa batu, sementara aku belum juga puas. Dari yang kulihat, mereka sepertinya sedang membuat perapian sederhana. Kedatangan Jumi membawa basi kecil berisi air meyakinkanku. Dia kemudian meletakkan basi tersebut ke atas tatanan batu, sementara Marni berusaha menyalakan api.  “Ko, aku serius ini!” eyelku.  “Apa lagi, sih?!” Eko terlihat mulai kesal, tali aku tidak main-main.  “Ada yang tidak beres di sini. Lagi pula, kenapa hanya ada kita di sini? Padahal, semalam Malam Satu Suro?” tanyaku. Eko tampak berpikir sejenak, tetapi dia tak cukup serius memikirkannya. “Apa kamu masih kesal soal semalam?” lanjutku.  “Masih saja ngomong gitu! Kita itu teman, Mat. Hanya karena satu dua wanita enggak akan membuatku marah,” ujarnya. “Aku jadi kasian sama Marni,” imbuhnya.  “Bener tuh, bener!” serombol Jumi.  “Apanya yang bener?! Ikut-ikutan saja kamu!” omelku.  Jumi terdiam, salah tingkah, dan berusaha menyembunyikan diri. Eko hanya memandang ke arah api. Dia segera membawakan beberapa kayu karena api yang mulai membesar, butuh lebih banyak kayu.  “Aku sudah emosi nih, kita buktikan saja kemenanganku yang lima kali!” tantangku.  “Empat menang satu kalah, maksudnya?” sanggahnya.  “Kapan aku kalah berkelahi denganmu?” Aku balik bertanya, sambil mengepalkan kedua tangan.  Eko pun, bangkit dan memandang ke arahku. Dengan wajah kesal, dia memasang kuda-kuda, tali dia langsung tertawa di saat wajahku semakin serius. Dahulu pun, menciut menatapnya penuh heran.  “Kami sudah tau semuanya, Mat!” katanya.  “Apanya?” Aku dan Jumi bertanya secara bersamaan. “Kamu juga enggak tau?” tanyaku, kepadanya. Jumi sontak menggeleng, sementara mereka masih tertawa.  “Marni sudah jelasin semuanya tadi pagi,” jelas Ilham.  “Ealah!” Aku, sontak kembali duduk, dan manarik napas panjang. Kutatap Si Marni yang tertawa amat girang. “Seneng, ya? Seneng!?” sebalku. Marni tertawa semakin lantang, sambil mengangguk-angguk.  “Seneng!” jawabnya.       Aku tertunduk. Sekali lagi ucapanku mereka anggap angin lalu. Mereka mungkin menganggapku penakut. Namun, coba kita berpikir lebih logis. Bagaimana bisa ada potongan batang singkong yang masih kokoh di samping tenda? Tidak mungkin terbawa angin. Angin apa yang bisa mematahkan batang singkong hingga menjadi enam bagian, dengan panjang masing-masing 20 cm? Terlebih, jarak ladang singkong ke tempat kami amatlah jauh.       Makhluk yang bergerak di semak belukar semalam itu, caping bermotif merah itu. Masih banyak hal ganjil yang tak bisa kukatakan karena kurangnya bukti. Perapian yang hangat pagi itu, sama sekali tak menyentuh jiwaku yang kacau. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN