Di jam pelajaran keempat, akhirnya b****g Tama sudah mendingan. Walaupun dia masih ngerasain nyeri, tetap saja dia harus mengikuti pelajaran.
Bangku Tama sudah beralaskan bantal kecil agar Tama tidak merasakan nyeri berkelanjutan. Tentunya masih dibantu Taeyong. Cowok itu dengan senang hati menawarkan lagi bantuannya untuk membantu Tama.
"Pelan-pelan." Taeyong berucap sambil membantu Tama duduk perlahan di bangkunya.
Seluruh murid kelas Tama sudah memberikan perhatian sepenuhnya kepada sepasang sejoli itu. Sejujurnya, Tama malu di perhatikan se-intens seperti itu. Tapi ia mencoba sebisa mungkin untuk mengabaikan tatapan para teman sekelasnya.
Tama akhirnya sudah duduk nyaman di bangkunya. Ia mengulas senyum. "Makasih, kak, udah bantuin aku."
Melihat Tama tersenyum semanis gula, beberapa anak cowok -termasuk Lucas- disana jadi baper. Pasalnya, cewek yang terkenal 'macan sekolah' lebih sering menunjukan tampang negatif. Jarang mereka lihat Tama tersenyum. Paling yang dapat senyuman itu hanya orang-orang tertentu saja.
"Sama-sama. Lagian saya gak tega biarin kamu lakuin sendiri." Taeyong balas tersenyum manis juga. Bikin para cewek disana menahan pekikan. "Yaudah, hati-hati, ya? Nanti kamu pulang saya anter lagi, mau?"
Tama menggeleng samar. "Gak usah, kak, makasih. Hari ini aku di jemput sama Mama saya, kok," balas Tama halus.
"Oke." Taeyong mengangguk. "Saya balik ke kelas, ya."
Taeyong kemudian mengalihkan perhatiannya kepada ketiga sahabat Tama. "Tolong jagain yang bener sahabat kamu ini," lanjutnya lalu berlalu dari kelas Tama.
Beberapa detik suasana hening melingkupi, suara sorakan Haechan dan Jaemin mengagetkan yang lain. Kedua cowok itu bergemuruh kencang sambil menggoda Tama yang pipinya sudah merona.
"AKHIRNYA MACAN SEKOLAH BERUBAH JUGA JADI KUCING PENURUT!" Haechan teriak-teriak, sambil tersenyum jail.
Raut Tama dalam hitungan detik berubah jadi sedia kala. Tapi cowok-cowok disana jadi makin gencar buat ngegoda Tama.
"Bisa diem, gak?"
Jaemin menggeleng sambil tersenyum sok imut. "Maunya sama kak Taeyong, baru diem." Lalu cowok itu terbahak.
Tama mendengus keras. Ia mengalihkan pandangannya ke depan, melihat Sekar yang juga tertawa mendengar celotehan para anak cowok.
"Kayak orang pacaran lo berdua," celetuk Nita sambil tertawa.
"Apaan? Biasa aja," dengus Tama. "Wajar kali dia bantuin gue."
"Mark!" Jaemin menarik bahu Mark agar menatapnya. "Nanti pulang kamu saya anter, ya? AHAY!" kata Jaemin menirukan ucapan Taeyong tadi pada Mark.
"Najis," umpat Mark sambil melepaskan tangan Jaemin.
"Heboh banget mereka," kata Sisca melihat Jaemin dan kawan-kawan yang masih bercanda.
"Awas aja-"
"Tama," panggil Lucas tiba-tiba. Cowok itu sudah berdiri di samping meja Tama. "Gue minta maaf."
Tama mendongak dengan kerutan di dahinya. Lantas mengangguk, Lucas menatapnya langsung. "Gapapa, salah gue, kok." Tama tersenyum padanya.
Lucas tercengang, melihat cewek beberapa jam yang lalu masih marah-marah padanya kini berubah jadi tersenyum padanya.
"Cas," suara Nita menyadarkan lamunan Lucas.
Cowok tiang itu mengerjap, lalu meringis karena ketahuan merhatiin Tama secara terang-terangan.
"Oke ... makasih, Tama," ucap Lucas seraya berlalu dari meja Tama.
Tama mengangguk, Lucas segera duduk di bangkunya di barisan sebelah barisan Tama. Cewek itu kembali mengalihkan pandangannya pada ketiga sahabatnya itu, lalu kembali berbincang seraya menunggu guru bahasa Inggris datang.
•••
Jam sekolah sudah berakhir, di kelas itu masih tersisa beberapa muridn termasuk dengan Tama dan ketiga sahabatnya. Mereka sengaja menunggu di kelas, karena Tama masih merasakan nyeri pada bokongnya.
Mungkin orang lain akan mengira kalau Tama itu lebay, tapi yang dirasakan cewek itu memang sakit, karena tulang ekornya mengenai lantai. Apalagi b****g Tama itu tepos.
Hape Tama berdering, menandakan sebuah panggilan masuk. Tama mengambilnya dan mengangkat panggilan dari Mama nya tersebut.
"Halo, Ma?"
"Mama sudah di luar sayang, ayo berangkat sekarang," jawab Tara, di dalam mobil.
Tama mengangguk, walau Tara tidak melihatnya. "Iya, Ma. Aku kesana. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
Panggilan akhirnya berakhir, Tama segera merapikan sisa-sisa alat tulisnya ke dalam tas. Nita segera siap siaga untuk membantu Tama berdiri. Begitupun dengan Sekar dan Sisca.
Nita merangkul Tama, seraya membawanya keluar. Sedangkan Sekar dan Sisca membantu dengan membawa tas Tama.
Setibanya mereka di depan gerbang sekolah, Tara segera keluar dari mobil. Melihat Tama yang jalannya dibantu itu, membuatnya khawatir.
"Kamu kenapa kok jalannya susah?" Pertanyaan Tara buat Tama menundukan kepalanya.
"Itu tante ... tadi Tama kepeleset, makanya pantatnya sakit tadi." Nita yang menjawab.
Tara menghela napasnya, Nita segera membiarkan Tara untuk membantunya kini. "Kamu tuh, hati-hati. Masih sakit?"
Tama menggeleng pelan. "Udah nggak, Ma. Cuma kepeleset kecil aja."
"Tapi jalan kamu susah gitu. Kita gak jadi pergi deh."
Sontak Tama mendongak, lalu menggeleng cepat. "Gak boleh! Harus jadi. Aku baik-baik aja, kok. Cuma kecelakaan kecil ini. Ya kan Ta, Ca, Kar?" Tama menoleh menatap ketiganya yang segera dibalas anggukan ketika melihat arti tatapan Tama.
"Lihat, aku bisa jalan sendiri." Tama melepaskan pegangan Tara. Lalu berjalan pelan menuju pintu mobil.
Tara menghela napasnya berat. Melihat keras kepalanya Tama tidak bisa ia tidak turuti, karena jika ia ikut keras kepala, tidak akan kelar nantinya.
"Ya udah. Terserah kamu aja, deh," kata Tara akhirnya. "Nita, Sisca sama Sekar, kami pamit duluan, ya."
Ketiganya mengangguk patuh. Lalu melirik Tama yang tersenyum menandakan ia berpamitan yang dibalas senyuman juga.
"Kalian hati-hati bawa motornya. Jangan kayak Tama. Ceroboh." Tara melirik anak bungsunya yang mendengus sebal.
"Iya, tante," balas ketiganya serempak.
"Assalamualaikum."
Nita, Sekar dan Sisca langsung menyalami tangan Tara. Lalu ikut berpamitan pada Tama dengan menepuk pelan pipi Tama.
"Waalaikumsalam."
Selama perjalanan menuju salah satu mall yang akan mempertemukan mereka dengan teman Tara, tidak henti-hentinya Tara menginterogasi Tama. Cewek itu menjawab dengan sedikit bercanda membuat Tara sesekali mengacak rambut anaknya.
"Mama nanya serius, kamu bercanda terus! Nanti Mama turunin nih, ya." Tara mengancam, namun nada bicaranya terdengar sekali jika wanita itu bercanda.
Tama mengangguk santai. Meladeni sikap Tara. "Ya udah. Turunin aja, Ma. Nanti aku bisa ketemu cogan ini di jalan."
"Cogan? Mana ada yang mau deketin kamu? Muka kamu aja judes gitu, ya takut lah!" ejek Tara, mereka kemudian tertawa. "Emangnya Mama nggak tau apa di sekolah kamu kayak gimana? Di sekolah aja muka judes, tapi di rumah? Manjanya minta ampun."
"Mama ...." Tama mendengus pelan. Tara tertawa lagi melihat sikap Tama.
"Bercanda, sayang." Tara menarik kepala Tama mendekat. Di ciumnya kepala Tama dan memeluk singkat dengan tangan kirinya. Karena tangan kanannya sibuk menyetir.
"Tapi serius kan kamu udah bisa jalan bener?" Tara bertanya sambil menoleh singkat.
"Bisa kok, Ma. Aku kan kuat! Kayak kakak. Hehehehe."
"Kalo kamu gak kuat, bilang Mama. Jangan diem aja, ya?" Tama mengangguk. "Nanti kakak kamu kesini, kamu mau kasih apa hadiahnya?"
"Um ..." Tama menyentuh dagunya, bergaya sedang berpikir. "Kasih cicak aja kali, ya? Kak Dev kan takut cicak."
Mendengar kekehan Tama, Tara juga ikutan. Lalu mengangguk setuju untuk memberi hadiah pada sang anak sulungnya yang berpulang dari London.
Begitulah reaksi antara Tama dan Mama. Mereka mengobrol layaknya sahabatnya sendiri tanpa ada kecanggungan sedikitpun. Apalagi sifat mereka yang suka bercanda dan bisa mencairkan suasana.
Sayangnya, sifat Tama sekarang ini hanya bisa ia tunjukan pada orang-orang terdekat. Seperti sahabatnya, orang tuanya dan kakaknya. Jika berada di luar, ia akan cenderung diam. Karena asing dan belum bisa menyesuaikan dengan keadaan sekitar.
Maka dari itu julukannya di sekolah muncul. Ia gampang marah-marah dengan orang yang tidak ia sukai karena sikap. Ia gampang judes dengan orang yang tidak disenanginya. Dan ia akan gampang dingin dengan orang yang menyebalkan menurutnya.
Beberapa menit kemudian, akhirnya mobil Tara sudah terpakir rapi di tempat. Tara lebih dulu keluar dari mobil dan membantu Tama. Awalnya Tama menolak bantuan Tara karena ia ingin membiasakan langkahnya. Dan penolakan halus itu, Tara maklumi.
Mereka berdua sekarang sudah berada di dalam mall. Tujuan utama Tara adalah untuk bertemu dengan sahabatnya dulu. Baru setelah itu mereka akan melakukan aktivitas yang biasa para Ibu lakukan jika sudah berada di mall.
Namun sebelum itu, Tara menyuruh Tama untuk ganti baju. Jadilah mereka berdua masuk ke dalam salah satu toko baju dan Tara membeli satu sweater abu-abu dan celana jeans hitam.

Setibanya mereka di salah satu restoran, Tara yang sedari tadi merangkul Tama segera membawanya ke salah satu meja saat ia sudah menemukan orang yang dicarinya. Tara mengulum senyum, ketika sahabatnya sudah menatap mereka berdua.
"Assalamualaikum, ukhti," salam Tara sudah berada di meja. Tama segera menyalami tangan wanita berhijab tersebut.
Zahra dengan tawa kecilnya memukul pelan bahu Tara kala mendengar panggilan Tara untuknya. Ia segera mempersilahkan keduanya untuk duduk. Tama duduk berhadapan Zahra dan Tara yang duduk berdampingan.
"Anak kamu udah gede banget, Ra." Zahra menatap Tama, yang segera dibalas senyum oleh Tama. "Cantik pula."
"Hehe. Makasih, tante." Tama membalas, sambil cengengesan.
"Jangan tante." Zahra menggeleng. "Bunda aja," koreksinya.
"Iya, Bunda." Tama sekali lagi tersenyum manis.
"Jangan sering-sering muji, tar terbang Tama nya," celetuk Tara.
"Ih, Mama!" dengus Tama sebal. Membuat Tara dan Zahra tertawa melihat wajah memberengut Tama.
"Ma, aku laper. Aku pesen makanan dulu, ya." Tama segera beranjak, tapi Zahra menahannya karena ia sudah memesannya untuk mereka.
Tara dan Zahra sudah larut dalam obrolan mereka berdua. Tama yang tidak mengerti bahasan para Ibu itu bicarakan, langsung mengeluarkan hapenya dari roknya.
Membuka w******p karena grup chatnya bersama sahabatnya yang tiba-tiba ramai dan membalas sambil menahan senyum karena melihat Nita dan Sekar yang berdebat perihal siapa yang paling ganteng antara murid cowok kelas mereka dengan kelas Taeyong.
Lalu beralih pada grup chat kelasnya yang tiba-tiba saja ramai. Karena tidak biasanya akan seramai ini. Namun setelah ia lihat, dengusan pelan keluar dari bibirnya melihat para anak cowok mengirim foto tentang game yang sedang digandrungi para cowok. Mobile Legend. Bahkan Yeri, Tzuyu, Umji, Nancy dan para cewek yang lain pada protes. Mereka akan mengancam jika para cowok kembali mengirim foto game itu, akan dikick dari grup.
Tama setuju. Karena menurutnya, tidak jelas. Menyita waktu. Dan tidak ada faedahnya.
Tapi itu kan menurut Tama. Karena ia tidak tertarik dengan game itu. Akan berbeda definisi lagi jika bagi anak cowok.