"Oh Sehun."
Naya melebarkan mata. Secara penampilan memang Dimas mirip Sehun, tapi masa sampai namanya juga?
"Serius? Oh Sehun kayak member EXO?"
Dimas tersenyum geli melihat reaksi Naya. Tadi dia hanya bercanda, tak menyangka jika mendapat reaksi selucu itu.
"Nggak, saya cuma bercanda. Soalnya banyak yang bilang saya mirip si Sehun-Sehun itu."
"Yah Dokter," ujar Naya kecewa. "Padahal tadi saya udah kaget, lho. Kalau nama Dokter beneran Oh Sehun, mau saya viralin."
"Kamu nih ada-ada aja. Tapi saya beneran punya nama Korea, Ahn Dae Hyun."
"Wah, namanya bagus. Dokter bisa Bahasa Korea?"
Dimas mengerutkan kening, lalu mengangguk. "Saya kecilnya di Korea. Baru pindah ke Indonesia pas kelas tiga SD."
"Berarti Dokter sering ke Korea?" tanya Farah. Dibanding tiga temannya yang sibuk bertanya, Juna hanya menjadi pendengar.
"Ya lumayan sering. Kakek nenek saya kan di sana."
"Enak banget, Dok. Saya dari dulu pengin banget ke Korea. Tapi kayaknya masih lama, deh. Harus nunggu jadi dokter dulu biar bisa ke sana."
"Kalau kamu mau, kapan-kapan saya ajak ke sana. Kamu harus cobain bimbimbap bikinan nenek saya."
"Dokter ngajak Naya ke Korea kayak ngajak ke Bringharjo," cibir Farah. Dimas tertawa.
"Eh maaf semuanya, aku harus pergi dulu. Kelompok makalahku tiba-tiba ngajak kumpul, nih." Juna bangkit dari duduknya.
"Harus banget? Terus aku gimana? Kan kamu mau nebengin aku sampai kost," keluh Naya.
"Oh iya." Juna menepuk jidat.
"Emang motor kamu kemana, Nay?"
"Lagi service bulanan."
"Terus gimana, Nay? Kelompokku nggak bisa ditinggal, nih," ujar Juna dengan rasa bersalah. Kemarin dia yang ngotot menawarkan diri untuk mengantar Naya selagi motornya di bengkel.
"Ya udah Naya bareng saya aja." Suara Dimas membuat mereka terdiam. Lisya tampak memberi kode agar Naya mengiyakan.
"Emang nggak apa-apa, Dok? Rumah dokter dimana?"
"Nggak apa-apa, kok. Lagian saya masih punya banyak waktu luang."
"Gimana, Nay? Bareng dokter Dimas nggak apa-apa?"
"Ya udah deh, Jun, aku bareng dokter Dimas aja."
"Kalau gitu aku duluan, ya. Maaf banget, Nay."
"Naya mau pulang sekarang?"
***
Naya mengeratkan pegangannya pada seatbelt yang melilit tubuhnya. Dia sekarang berada di mobil Dimas. Mobil bertipe SUV ini rapi dan wangi, seperti bau ice cream. Di jok belakang, ada jas dokter dan beberapa kemeja yang tergantung, namun tidak terlihat berantakan. Naya maklum, sih. Dokter seperti Dimas pasti sangat sibuk sampai tak sempat pulang untuk mandi.
"Gimana kuliahnya?"
"Baik, Dok."
"Baik?"
"Iya baik banget sampai kepala rasanya mau pecah," ujar Naya sarkas.
Dimas terkekeh. Perjalanan menjadi seorang sarjana kedokteran memang berat. Dia saja dulu pernah hampir menyerah.
"Dosennya ada yang nggak enak?"
"Lumayan banyak. Kebanyakan dosen tuh udah berumur, jadi cara ngomongnya lambat, kadang bikin ngantuk. Kecuali Profesor Adam. Beliau tuh asyik banget, ya?" Sebuah senyum terukir di wajah kedua insan itu.
"Sayang banget saya bukan alumni kampus kamu. Kalau saya dulu di situ, kan bisa ketemu Profesor Adam dari dulu."
"Lho, Dokter Dimas nggak satu almamater sama saya? Saya kira Dokter di sini juga, makanya bisa dekat sama profesor Adam."
Dimas menggeleng. "Dulu kampus kamu pilihan pertama saya, eh ketolak. Untungnya saya keterima di pilihan kedua. Berarti kamu lebih hebat dari saya dong."
"Kok gitu?"
"Ya kamu keterima sementara saya dulu ditolak."
"Ya nggak gitu juga dong, Dok. Sistem penerimaan mahasiswa zaman Dokter sama zaman saya kan udah beda banget. Jadi belum tentu saya lebih hebat."
"Jadi maksud kamu saya tua? Udah beda generasi sama kamu?"
"Eh, bukan gitu Dok." Naya melambaikan tangannya di udara. "saya serius tau. Sistem penerimaan sekolah tuh sekarang makin aneh. Adik saya tahun ini masuk SMP. Tau yang jadi parameter diterima nggaknya apa?"
"Apa?"
"Jarak dari rumah ke sekolah. Menurut saya sih nggak make sense banget. Malah kasihan sama anak-anak yang tinggalnya di gunung atau yang aksesnya jauh dari pendidikan. Mereka mau sekolah dimana coba, Dok? Kan banyak yang merantau buat sekolah karena mau yang terbaik, kalau gitu caranya menurut saya sih nggak fair. "
"Saya setuju sih sama kamu. Jujur saya lebih suka seleksi masuk pakai nilai ujian, apa tuh namanya?"
"NEM?"
"Nah iya itu. Kan kalau cuma berdasarkan jarak, anak-anak jadi pada males belajar. Ngapain belajar biar nilai bagus? Orang tinggal pindah rumah bisa langsung dapet sekolah favorit, iya, nggak?"
"Iya, bener banget. Adik saya juga kemarin pas ujian nasional ogah-ogahan. Yah, mentang-mentang rumah kami dekat sama SMP favorit di sana."
"Bingung saya. Mau protes nanti dikira nggak nurut sama pemerintah."
"Iya, Dok, terus... Eh itu udah mau sampai." Naya menunjuk ke jalanan.
"Yang mana, Nay?"
"Itu gang di samping rumah besar, masuk situ aja, Dok."
"Oke."
Dimas menjalankan mobil sesuai arahan Naya. Dia berhenti di depan kost-kostan Naya. Dengan segera, dia turun dari mobil agar bisa membukakan pintu untuk Naya.
"Ya ampun, Dok. Nggak usah dibukain pintu nggak apa-apa, kok."
"Saya yang apa-apa. Nggak baik dong biarin kamu buka pintu sendiri," ujar Dimas yang tanpa sadar membuat Naya tersipu.
Naya lalu melihat sosok Dean yang berjalan dari arah gang, di tangannya ada sekantong belanjaan berlogo biru. Dean dengan mata bulat tapi tajamnya mengamati Naya dan Dean.
"Mas Dean," sapa Naya sambil mengangguk. Dean hanya balas mengangguk kecil sebelum berlalu ke dalam kost.
"Kost kamu campuran?"
"Iya, Dok."
Air muka Dimas tiba-tiba saja berubah mendengar jawaban Naya. Saat menyadari hal itu, segera dia memperbaiki kalimatnya.
"Tapi banyak ceweknya, kok. Di dalem juga banyak CCTV, dipantau terus sama yang punya."
"Oh gitu." Dimas hanya mangut-mangut. "Yang barusan kating, ya? Manggilnya mas."
"Iya, Dok. Tapi dia anak manajemen."
"Kusut banget mukanya," ucap Dimas. Naya mengangguk setuju, siapa yang tidak akan sadar jika Dean keluar dengan rambut berantakan dan wajah tanpa senyum?
"Habis putus cinta tuh, Dok."
"Oh ya? Kalau gitu saya maklum, sih."
"Kok gitu? Dokter kalau putus cinta gitu juga?"
Dimas tak menjawab, ia sengaja langsung pamitan.
"Duluan, Nay!" serunya ketika mobilnya mulai melaju, meski pun kemudian dia membunyikan klakson. Naya yang telah berdiri di teras melambaikan tangannya.
"Pacar ya?" goda Bagus begitu Naya memasuki area ruang makan.
"Apaan sih, Mas? Orang cuma dianter pulang," jawab Naya dengan nada kesal, padahal Bagus bisa melihat dengan jelas rona yang muncul di pipinya.
"Sekarang dianter pulang, besok dianter ke KUA."
"Mas Bagus nggak jelas!" Naya masuk ke kamarnya.
Gadis itu merebahkan diri di kasur. Dia hanya diantar pulang, tapi entah kenapa dia merasa sangat senang. Apa mungkin karena terakhir dia berpacaran ketika kelas sebelas? Jadi dia merindukan lagi saat-saat seperti ini.
***
"Mau kemana, Mas?" Naya yang baru selesai mandi menatap Bagus heran. Lelaki itu telah mengenakan jaket dan helm, bersiap untuk pergi.
"Ngapelin pacar."
"Ini kan bukan malam Minggu, Mas."
"Ngapelin pacar nggak harus malam Minggu kali Nay. Aku pergi dulu, ya. Nanti kalau mau tidur jangan lupa pintu dikunci. Kalau ada apa-apa pintunya Dean kamu gedor aja. Aku pulang agak malem, Sania juga kayaknya nginep di rumah teman."
"Oke, Mas."
Naya melambai saat motor matic Bagus meninggalkan garasi. Naya itu anak pertama, jadi dari dulu dia ingin sekali punya kakak laki-laki. Dan Bagus yang baik hati, ramah, serta perhatian membuatnya dianggap kakak oleh Naya.
Malas belajar di kamar, Naya membawa buku dan alat tulisnya ke meja makan. Meja makan ini persis di bawah lampu, jadi dia tak perlu menggunakan lampu baca lagi.
Cukup lama Naya menekuri jurnal tebal itu hingga suara deheman Dean membuatnya sedikit berjengit.
"Gimana, Mas?"
"Bagus mana?"
"Lho, Mas Bagus nggak bilang Mas Dean? Tadi dia naik motor mau... Astagfirullah!"
Naya berdiri dengan wajah terkejut, membuat Dean yang berdiri di sebelah meja makan memberi raut khawatir.
"Kenapa?"
"Motor, Mas. Aku masukin motor ke bengkel tadi pagi, terus aku lupa ambilnya. Gimana nih?" Naya menggigit bibir. Besok dia ada urusan yang membuatnya harus menggunakan motor. Lagipula dia tidak tega nebeng pada Juna.
"Pakai jaketnya," ujar Dean singkat sebelum masuk ke kamar.
Naya yang masih kebingungan tak mendengar ucapan Dean. Dia hanya duduk dan mencari nomor bengkel tersebut, siapa tahu ada di internet.
"Kok belum pakai jaket?" tanya Dean begitu keluar dari kamar.
"Jaket kenapa, Mas? Maaf tadi aku nggak dengar."
"Aku antar ambil motor."
Dean sudah berjalan ke rak helm di ujung ruang tamu. Perlu beberapa menit sampai Naya paham maksud Dean. Dia lalu menyambar jaket dan mengekor Dean.
"Di bengkel dekat pasar bukan?"
"Iya." Bengkel dekat pasar itu adalah bengkel resmi yang paling dekat dengan kost-kostannya.
"Bukannya udah tutup ya, Mas?"
"Aku kenal yang punya. Naik!" titah Dean yang telah siap di atas motor. Naya mengantongi kunci, lalu duduk di belakang Dean.
Dean membawa motornya tidak secepat biasanya, takut Naya di belakangnya kedinginan. Dean rasa gadis itu agak bodoh. Dia memakai jaket agar tidak dingin, tapi celana rumahan selututnya tidak diganti. Decakan keluar dari mulut Dean, angin malam bisa membuat kaki gadis itu membeku.
"Kenapa, Mas?"
Dean mengernyit, kenapa apanya?
"Nanti aja ya Mas! Aku nggak dengar!" Naya sedikit berteriak. Dean tersenyum tipis.
"Sini," ucap Dean setelah mereka sampai. Lelaki itu mengulurkan tanganpada Naya. Kening Dean berkerut saat tangan Naya yang dingin menempel ke tangannya. "Helmnya, Naya."
"Eh, maaf." Naya mengulurkan helm, lalu merutuki dirinya sendiri. b**o!
"Maaf ya tadi di motor saya nggak jawab, soalnya nggak kedengeran."
"Nay."
"Ya?"
"Saya emang nggak ngomong apa-apa waktu di motor. Kamu aja tiba-tiba teriak."
Naya menggertakkan bibir. Dia merasa malu level dewa, pipinya memanas. Dua kali dia mempermalukan diri di depan Dean.
***