Kepergian Maura tadi sore membuat hawa kost jadi tidak menyenangkan. Dean yang biasanya duduk di meja makan untuk mengerjakan skripsi atau sekadar mengobrol dengan Bagus kini hanya berdiam di kamar. Sania juga jadi lebih diam. Bagaimana pun juga, Maura pernah menjadi penghuni kost-kostan ini. Jadi ketika Maura pergi begitu saja, rasanya tetap ada yang mengganjal.
Naya juga setelah pulang tadi hanya di kamar. Mau keluar dan mengobrol dengan Sania, dia merasa sungkan jika Dean mendengar. Jadilah dia di kamar berkutat dengan jurnal tebal.
Beberapa kali Naya mengecap lidah. Jika dia sudah seperti ini, tandanya dia ingin makanan manis. Melihat jam dinding, Naya mengurungkan niat memakan beng-beng yang selalu ia stok di lemari. Ah, mungkin secangkir kopi bisa membantu.
Sebelum beranjak ke dapur, Naya merentangkan tangan ke atas. Dia lalu meliukkan tubuh ke kanan dan ke kiri. Tak lupa lehernya dia gerak-gerakkan agar rasa pegal karena posisi duduknya segera menghilang.
Torabika cappucino, minuman sachet kesukaan Naya. Dari dulu, Naya selalu meminum kopi jenis ini. Pernah Naya mencoba kopi dengan merek dan varian lain, tapi rasanya tidak cocok dengan lidah Naya. Saking sukanya dengan kopi ini, Naya sampai memiliki stok dua renteng.
"Mas," panggil Naya ketika melihat punggung Dean di depan kompor. Dean hanya melirik, tampak tak tertarik dengan kehadiran Naya.
Kost-kostan ini memang tidak memakai dispenser, tapi merebus air kran. Siapa pun yang melihat isi kan kosong, harus segera mendidihkan air dengan ceret besar. Namun jika ingin air panas untuk dirinya sendiri, cukup dengan ceret kecil berwarna ungu.
Naya menelan ludah. Ceret kecil itu telah bertengger manis di atas api. Dean berdiri di depan kompor pasti menunggu airnya mendidih.
"Mas Dean, ngerebus airnya banyak, nggak?" Dean menoleh. Wajahnya yang datar dengan tangan terlipat di d**a membuatnya terlihat menyeramkan. Coba sekarang Dean mendelik pada Naya, mungkin gadis itu akan pingsan.
"Banyak."
"Boleh minta? Aku mau bikin kopi," tanya Naya yang hanya dijawab dengan anggukan.
Daripada berdiri canggung di sebelah Dean, Naya memilih menyandarkan diri di kitchen island. Tak butuh berapa lama sampai bunyi seperti peluit keluar dari ceret. Mungkin Dean telah merebusnya agak lama sebelum Naya datang.
Dean terlebih dulu menuang air panas ke gelas yang berisi teh celup dan gula. Setelahnya, ia juga menuangkan air panas ke cangkir berisi kopi untuk Naya.
Naya segera kembali ke kamar setelah mengucapkan terima kasih. Sampai di kamar, ia menuang granola coklat ke kopinya. Pikirannya melayang ke saat di dapur tadi.
Dean hanya berdiri menatap api bermenit-menit. Biasanya, lelaki itu akan tersenyum tipis atau mengangguk, tapi tadi benar-benar seperti tidak peduli. Apa ini cara dia mengatasi patah hati?
***
Kantin yang tak jauh dari kelas gedung fakultas Naya ini sepertinya akan jadi markas baru mereka berempat, Naya, Juna, Lisya, dan Farah. Mereka senang menghabiskan waktu di sini saat menunggu kelas atau setelah pulang.
Dulu waktu masih awal jadi mahasiswa, mereka tidak bisa diam di satu tempat. Setiap hari mereka akan berpindah kantin, atau kadang mencoba warung makan di luar kampus. Tapi berhubung tugas semakin banyak seiring bertambahnya semester, mereka jadi rajin makan di kantin ini saja.
"Kemarin jadi nonton sama Rio?" tanya Lisya. Farah yang sedang mengunyah kerupuk kulit mengangguk.
"Masa kemarin di sebelahku ada yang pacaran gitu sampai si cewek nunduk-nunduk. Ih geli banget." Farah bergidik membayangkan apa yang ia lihat kemarin.
"Halah, kayak kamu belum pernah aja sama Rio."
"Enak aja kalau ngomong! Gue emang agak m***m, tapi masih perawan ting-ting!" seru Farah.
"Masa iya? Orang Rio jamet gitu. Penampilan acak-acakan, tongkrongannya juga pasti nggak bener," ujar Naya membela Juna.
"Jamet-jamet gitu dia pacarku, ya! Lagian malah penampilannya itu yang bikin aku suka. Dia tuh aslinya baik, kalian aja yang belum kenal."
Naya hanya mengangguk setuju.
"Lagian Nay, Rio kan satu tongkrongan sama Dean. Berarti kamu ngatain Dean nggak bener, dong."
"Ngapain Rio nongkrong sama Mas Dean? Nggak nyambung banget nggak, sih? Seorang Rio dan Dean? Are you serious?"
"Serius, dong. Aku emang belum pernah cerita? Eh tapi aku juga baru tahu beberapa minggu yang lalu, sih."
Juna baru ingin mengatakan sesuatu saat ada orang yang mendekati meja mereka. Juna segera mengedipkan mata pada Naya agar berbalik.
"Hai," sapa Dimas.
"Eh, hai, Dok," balas Naya. Dia langsung berdiri, takut tidak sopan.
"Saya boleh gabung bareng kalian? Meja yang lain penuh, nih."
Naya mengedarkan pandangan ke isi kantin. Meja-meja lain memang telah terisi. Sebenarnya ada satu dua meja yang masih cukup digunakan satu orang lagi, mungkin Dokter Dimas tidak nyaman karena tidak mengenal mereka. Setelah mendapat isyarat persetujuan dari teman-temannya, Naya segera mempersilahkan Dokter Dimas duduk.
"Naya nggak bohong, Rah, mirip Sehun EXO," bisik Lisya pada Farah yang langsung disetujui.
"Oh iya, Dok, kenalin ini teman-temanku. Ini Juna, Lisya, sama Farah."
Dimas tersenyum lebar, lalu menyalami mereka satu-persatu.
"Dimas."
"Juna."
"Dimas."
"Farah."
"Dimas.
"Lisya, Dok."
Naya hampir terbahak melihat senyum malu-malu yang Lisya tunjukkan. Duh, kemarin siapa yang menolak mentah-mentah pria yang sekarang duduk di sebelah Naya ini?
"Dokter Dimas praktik dimana?"
"Di rumah sakit depan kampus kalian," jawab Dimas membuat keempat orang itu memberi tatapan kagum. Di provinsi ini, ada dua rumah sakit yang terkenal. Satu, rumah sakit universitas mereka. Dua, rumah sakit di depan universitas mereka. RSUP itu masuk dalam sepuluh besar rumah sakit terbaik di Indonesia. Jadi bisa menjadi dokter dan bekerja di sana, itu merupakan prestasi membanggakan.
"Dokter Dimas spesialis?"
"Iya, saya bedah torakoplastik."
"Wah, hebat, dong! Kayaknya dokter bedah torakoplastik agak jarang di Indonesia," puji Naya dengan mata berbinar. Dimas hanya tersenyum mendengar pujian itu.
"Dokter nggak ada operasi? Biasanya kan dokter spesialis sibuk, Dok."
Dimas tak langsung menjawab pertanyaan Juna, karena makanan yang dia pesan tadi telah diantar.
"Sebenarnya ada, sih, tapi harus cancel."
"Lho, kenapa, Dok?"
"Bentar saya liatin." Dimas mengambil ponsel di saku kemeja. Tangannya lalu bergerak mengusap benda persegi itu. Setelah mendapat apa yang ia cari, ia menunjukkan ponsel pada empat mahasiswa di depannya.
Naya memperhatikan foto yang ditunjukkan Dimas. Tampak seorang bayi yang terbelit selang. Berbagai alat penunjang hidup mengelilingi tubuh bayi itu. Hati Naya rasanya perih. Membayangkan bayi sekecil itu harus hidup dengan banyak alat bantu membuatnya sedih.
"Dia kenapa, Dok?" tanya Farah dengan wajah serius. Si gadis pintarㅡyang dari luar tidak tampak pintarㅡitu langsung tertarik dengan kondisi si bayi.
"Namanya Mentari, dia punya penyakit jantung bawaan, Tetralogi Fallot. Dia menderita cacat septum ventrikel, stenosis katup pulmonalis, hipertrofi ventrikel kanan, dan overriding aorta sekaligus."
Juna bahkan meringis membayangkan sakit yang dialami Mentari.
"Mentari harusnya operasi tadi pagi, tapi dia demam, saturasi oksigennya rendah, dan suara paru-parunya buruk. Tau gejala apa?" Dimas melirik mereka satu-persatu.
"Gejala flu atau pneumonia, ya?" jawab Farah memastikan. Dimas mengangguk.
"Pintar. Semoga sih ini cuma flu biasa, jadi Mentari bisa dioperasi secepatnya."
Dimas memasukkan ponselnya ke tempat semula. Dia kemudian menyadari perubahan wajah orang-orang yang duduk semeja dengannya. Raut mereka yang tadinya cenderung ceria sekarang jadi seidkit muram. Mungkin, mereka turut bersedih dengan keadaan Mentari. Dimas sudah paham dengan perasaan seperti ini. Ketika dia mendapat pasien apalagi anak-anak, akan terbesit rasa bersalah di hatinya.
"Kalian rencananya mau lanjut spesialis apa?" tanya Dimas mengalihkan topik.
"Saya rencananya mau lanjut jadi dokter kandungan," jawab Lisya antusias.
"Kalau saya mungkin radiologi atau THT." Kini giliran Farah yang menjawab.
"Kalau kamu? Cowok biasanya pengin dokter kandungan, nih," goda Dimas.
"Hehe, nggak, Dok. Saya anak FKG, jadi kalau bisa saya mau lanjut prothodontik," jelas Juna. Dimas mengangguk, lalu pandangannya beralih pada Naya.
"Kalau kamu, Nay? Mau lanjut apa?"
Naya menggigit bibir.
"Belum tau, Dok. Saya belum kepikiran, nih. Lagian selesai pendidikan dokternya juga masih lama."
Dimas tertawa kecil mendengar jawaban Naya. Apalagi wajah gadis itu ditekuk, membuat Dimas ingin menggerakkan tangan mengusap rambut Naya.
"Dokter Dimas," panggil Lisya ketika Dimas telah menghabiskan sepiring gado-gado. Pria itu kini sedang mengusap bibirnya dengan tisu.
"Dokter Dimas tuh blasteran, ya?" Dari tadi Lisya tak berhenti mengucap kekaguman dalam hati. Hidung tinggi Dimas yang bagai ukiran, rahangnya yang tajam, serta kulitnya yang bersih membuat Dimas terlihat sempurna. Sudah ganteng, tinggi, dokter lagi.
"Blasteran apa?" tanya Dimas sambil menaikkan satu alis, seperti memberi tebak-tebakan.
"Indonesia sama surga?"
Sejurus kemudian, Dimas terbahak. Tiga teman Lisya telah menggelengkan kepala. Sejak kapan Lisya yang paling alim di antara mereka itu jadi pintar menggoda lawan jenis seperti ini?
"Saya emang blasteran, tapi bukan sama surga."
"Terus?"
"Ibu saya orang Indonesia dan ayah saya orang Korea."
"Tuh, kan!" Naya berseru senang.
"Tuh kan kenapa, Nay?"
"Hehe, nggak, Dok. Kemarin saya bilang sama mereka dokter mirip member boyband Korea." Naya cengengesan hingga gigi kelincinya terlihat.
"Banyak banget yang bilang saya kayak gitu. Emang sih, saya akui saya itu ganteng," ujar Dimas memuji dirinya sendiri.
"Terus Dokter Dimas punya nama Korea nggak? Saudara jauh saya yang keturunan China punya dua nama semua gitu, Dok."
"Punya."
"Oh ya? Siapa?"
"Oh Sehun."
***