3. Kepergian

1512 Kata
 Sejak kecil, Naya paling anti masuk dapur karena di sana Naya hanya akan menjadi babu. Diminta mengupas bawang, mencuci piring, memotong sayur, pokoknya semua pekerjaan yang tidak dia suka. Ibunya sering meminta Naya agar mau belajar masak. Menurutnya itu hanya akal-akalan sang ibu agar dia bisa duduk sambil memerintah sementara Naya yang bekerja keras membuatkan makanan. Naya benci memasak. Dia benci membersihkan bahan, menyiapkan peralatan, juga saat dia terbatuk karena bumbu yang menyengat. Namun ketika dia diam-diam mengintip Dean yang memasak, Naya seketika malu. Dean dengan celemek coklatnya itu begitu cekatan mengolah ayam pemberian Sania. Kalau begini tanpa disuruh Sania pun, Naya tidak akan menawarkan diri membantu Dean memasak. Ya daripada dia merasa malu karena ketidakbecusannya di dapur. Rasa minder yang bercokol di hati Naya semakin membesar saat mencoba rica-rica yang telah tersaji di meja makan. Ayamnya empuk, bumbunya meresap dan pedasnya pas. Rica-rica ini enak sekali dimakan dengan nasi panas. "Enak, kan?" tanya Sania. Naya dengan mulut penuh mengangguk cepat. "Orang lagi makan jangan diajak ngobrol, San," tegur Bagus. Sania tampak acuh. "Mas Dean nggak ikut makan, Mbak?" tanya Naya setelah menelan nasi di mulutnya. "Dean mah emang gitu, Nay. Dia kalau masak nggak begitu suka makan makanannya, cuma suka masaknya aja. Padahal masakannya enak gini." "Mbak Sania sering minta Mas Dean masak." "Sering. Biasanya beli bahan mentah kayak ayam tadi, terus bisa buat makan bareng-bareng. Aku senang bisa makan enak, Dean senang bisa masak." Naya baru ingin mengatakan sesuatu saat pintu kost mereka dibuka. Seorang perempuan cantik dengan ransel di punggungnya terlihat memberikan senyum lelah. "Lagi pada makan apa, nih?" Perempuan itu mendekat ke meja makan. "Udah pulang?" tanya Dean yang tampaknya buru-buru keluar dari kamar begitu mendengar suara Maura. "Ini udah di sini, berarti udah pulang." "Kok nggak bilang? Kenapa nggak minta jemput?" "Aku bareng teman. Kan nggak semua hal aku harus minta tolong kamu. Aku nggak mau ngerepotin." "Jadi ngerepotin temen nggak apa-apa?" Naya mengehentikan gerakan tangannya. Dia menatap canggung pasangan yang sedang bertengkar itu. Rasanya menakutkan sekali melihat Dean yang biasa diam itu marah-marah seperti ini. "Kamu apaan, sih? Aku pulang diantar temen aja jadi masalah. Nggak malu diliatin yang lain?" Maura meninggikan suaranya. Dean mengerutkan dahi, membuat alisnya bertaut. Selama ini dia jarang atau mungkin tidak pernah mendengar Maura membentaknya seperti itu. "Ra." Dean memegang pergelangan tangan Maura, namun langsung ditepis. Naya di mejanya benar-benar bimbang. Di satu sisi potongan ayam dengan nasi seperti melambai untuk dimakan lagi. Di sisi lain, dia merasa tidak enak jika meneruskan makan sementara Dean dan Maura sedang ribut. "Aku capek mau istirahat." Maura membuka pintu di sebelah kamar Sania. Dia langsung masuk dengan cepat. Naya tersentak ketika pintu itu sedikit dibanting. "Ra kemarin kita masih baik-baik aja, ya." Dean berjalan ke pintu kamar Maura, berniat ingin mengetuknya. Namun Sania telah menahan lengannya terlebih dahulu. "Biarin Maura istirahat, De. Jangan diajak ribut." Dean memberikan glare pada Sania. Sania yang melihat itu langsung salah tingkah. "Aku cuma ngasih saran, nggak usah sinis gitu, dong!" "Tanganmu bekas rica-rica." Dean memberi tatapan jijik pada tangan Sania yang menggenggam lengannya. Menyadari hal itu, Sania hanya cengengesan. *** "Serius Kak, eh, Mas Dean marah?" Naya mengangguk kencang. "Kalian tahu kan kalau nggak marah aja matanya tuh kayak melotot? Nah kemarin matanya bisa gini, nih." Naya memelototkan mata secara dramatis. "Tapi menurut kamu kenapa bisa sampai marah-marah gitu?" "Nggak tau juga. Pokoknya mereka marahan aja gitu. Aku kan lagi makan, Sya, jadi ya nggak fokus dengerin. Tapi kayaknya udah ada masalah sebelum hari ini." "Kok gitu?" tanya Farah. "Soalnya begitu pacarnya masuk dia nggak langsung nyari Mas Dean. Aneh nggak, sih?" Farah hanya mengedikkan bahu. "Eh itu profesor udah dateng," ujar Lisya menghentikan sesi pergosipan mereka. Naya dan dua temannya ini sengaja duduk depan. Profesor Adam yang sedang mengajar di depan itu kesayangan semua mahasiswa kedokteran. Bukan, bukan karena masih muda dan rupawan. Kalian tahu kan jika dosen Naya rata-rata telah berumur? Naya menyukai Profesor Adam karena cara mengajarnya menyenangkan. Profesor Adam itu meski cucunya sudah ada yang kuliah, dia tetap enerjik. Profesor juga ramah dan sering mengajak ngobrol anak didiknya. Jika kalian memiliki kesempatan mengobrol dengan Profesor Adam, siap-siap saja terbengong. Profesor Adam pengetahuannya luas. Dia seperti tahu segala hal, mulai dari ectopic pregnancy sampai member EXO berpacaran, Profesor Adam tahu semuanya. "Naya, nanti tolong bawakan hasil kerja teman kamu ke meja saya, ya," pinta Profesor Adam setelah kelas selesai. Tadi beliau memang sempat memberi beberapa soal yang harus dikerjakan mahasiswanya dalam waktu singkat. "Baik, Prof, nanti saya bawakan." Naya menyengir lebar menyanggupi permintaan Profesor Adam. Hatinya sedikit tersanjung karena Profesor Adam mengingat namanya. "Seneng amat disuruh sama Profesor Adam," goda Lisya ketika dosennya itu telah pergi dari kelas. "Biarin," jawab Naya sambil menjulurkan lidah. Dia kemudian mengumpulkan tugas milik teman-teman sekelas. Tugas tiap orang hanya selembar, jadi Naya tidak terlalu keberatan membawanya. Terpaksa Naya berjalan sendiri ke ruang dosen karena Lisya dan Farah menolak menemani. Naya sih fine-fine saja. Sampai di depan ruang dosen yang pintunya terbuka, Naya dapat melihat Profesor Adam sedang mengobrol dengan beberapa orang, sepertinya kakak tingkat. Daripada mengganggu, Naya memilih menyandarkan punggung di dinding luar ruang dosen, menunggu sampai orang-orang tadi menyelesaikan urusannya dengan Profesor Adam. "Nunggu siapa?" Seorang pria memakai jas dokter mengagetkan Naya. "Eh, nunggu Profesor Adam." "Mahasiswa kedokteran? Semester berapa?" "Iya, saya semester tiga, Om, eh, Pak." Naya menggigit bibir. Jujur dia bingung harus memanggil apa. Pria dihadapannya ini mungkin berada di usia dua puluhan akhir atau tiga puluhan awal. Melihat gelagat Naya yang salah tingkah, dia sedikit terkekeh. "Panggil Dokter Dimas aja." "Eh iya, Dok." "Kamu kenapa nggak masuk? Profesor Adam nggak ada?" "Ada kok, Dok. Tapi kayaknya ada kating yang lagi bimbingan," jawab Naya jujur. Dimas mengangguk. Lalu tanpa Naya sangka, Dimas ikut menyenderkan diri di dinding, tepat di sebelah Naya. Naya perlu mendongak agar bisa melihat wajah Dimas. Dokter Dimas tinggi, Naya saja tak sampai pundaknya. Kulit dokter Dimas putih. Sepertinya bukan putih karena perawatan, tapi putih dari sananya. "Eh, itu yang bimbingan sama Profesor Adam bukan?" Dimas menunjuk beberapa orang yang baru keluar dari ruang dosen. Naya mengangguk, mereka lalu berjalan bersama memasuki ruang dosen. "Selamat siang, Prof," sapa Dimas. Profesor Adam tersenyum lebar menyambut uluran tangan Dimas. "Siang, Prof. Ini saya mau ngasih tugas kelas saya." "Eh Naya. Iya kamu taruh di situ, ya." Profesor Adam menunjuk mejanya. Sesuai perintah, Naya meletakkan tumpukan kertas itu ke meja Profesor Adam, lalu dia pamit keluar. Begitu Naya sampai di meja kantin yang telah ditempati Farah dan lisya, gadis bergigi kelinci itu langsung heboh. "Eh tadi aku ketemu dokter ganteng," ceritanya dengan penuh semangat. "Profesor Adam?" "Ih bukaaan. Namanya Dokter Dimas. Tadi dia mau ketemu sama Profesor Adam. Pokoknya kalau kalian lihat pasti langsung kesengsem. Emang sih kelihatan agak dewasa, tapi dia mendekati sempurna. Udah tinggi, bahunya lebar, mancung, kulitnya bersih, rahangnya tajem. Sebelas dua belas sama Sehun EXO." "Idih mohon maaf ya Nay, aku sih udah punya Rio. Kamu aja sana Lis!" "Kok aku? Lagian ingat, Nay, di kost-kostan masih ada Dean." Naya mengerucutkan bibir. "Apa hubungannya sama Dean? Lagian Mas Dean udah punya pacar." "Siapa nih yang punya pacar?" tanya Juna yang tiba-tiba telah bergabung dengan mereka. "Ada, deh! Gosip perempuan bukan untuk konsumsi laki-laki," gerutu Naya. Lisya menatap arloji, lalu melirik Juna curiga. "Bukannya bilang jam satu ada praktikum?" "Inhal. Tadi aku ketiduran di perpustakaan, terus nggak kekejar." "Gayamu tidur di perpustakaan. Jangan dibiasain, dong! Masa calon dokter gigi praktikum aja bolos." Juna hanya memutar matanya malas. "Eh tadi aku ketemu si Dean di perpustakaan. Mukanya kusut banget kayak jemuran belum disetrika." "Gara-gara berantem sama pacarnya itu," ujar Farah. "Lah bisa berantem juga tuh orang." "Namanya juga orang, Jun. Minion aja sering pada berantem, ini masa orang pacaran nggak boleh berantem." "Eh aku duluan, ya! Rio mau ngajak pergi." Farah pamit begitu menilik pesan di ponselnya. "Kok mendadak?" "Iya Rio ngajaknya barusan. Aku tinggal dulu. Jun, nasi gorengku buat kamu aja." Farah menunjuk mas-mas kantin yang mengantar pesanan, setelahnya dia langsung lari. Juna tersenyum senang menerima piring nasi goreng yang harusnya milik Farah. "Rezeki anak soleh, nih. Biasanya aku yang sering beliin orang nasi goreng, eh sekarang aku dapet nasi goreng," ujar Juna. "Jun," panggil Lisya. "Kenapa?" "Farah belum bayar nasi gorengnya." GUBRAK! *** Saat Naya masuk ke kostan, dia mendapati Sania dan Maura tengah berpelukan. Dia hanya terdiam canggung menunggu dua orang itu selesai. "Eh kamu udah pulang." "Iya Mbak, baru aja sampai." "Kamu anak baru, ya? Siapa namanya?" "Naya." "Kamu lucu banget, sih," puji Maura. Netra Naya tak sengaja menangkap dua buah koper dan tiga kardus di sebelah tubuh Maura. "Mau pergi ya, Mbak?" "Iya Nay, aku mau pindah kost. Padahal kita belum sempat ngobrol-ngobrol, eh aku udah mau pergi aja." Naya terkesiap. Pindah? Serius? Apa karena pertengkaran Maura dengan Dean kemarin? Naya sebenarnya ingin bertanya lagi, namun suara klakson mobil menginterupsinya. "Kayaknya yang jemput aku udah dateng. Aku duluan, ya," pamit Maura. Naya hanya bisa berdiri di tempatnya sementara Sania membantu Maura membawa barang-barangnya keluar. Ada satu hal yang Naya sadari, motor milik Dean ada di garasi. Artinya lelaki itu ada di kost. Maura tidak pamit dengan Dean? ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN