POV Mayra
"Bangun, May. May ...." Suara Om Fandi terdengar samar. Aku menggeliat saja. Mataku masih berat sekali.
"May," panggil Om Fandi lagi. Terdengar lembut tapi sangat menganggu.
"Hem." Kelopak mata masih berat untuk membukanya, ditambah lagi udara dingin membuatku menaikkan selimut lagi.
"Mayra!" Om Fandi mulai berteriak.
"Apa, om." Baru aku mengucek-ucek mata. Tampak jelas om Fandi berdiri di sebelahku sambil berkacak pinggang.
"Bangun. Sholat Subuh." Ia pergi begitu saja, "Om tunggu di mushola. Lima menit nggak turun, Om siram air seember," sambungnya sambil keluar kamar.
Om Fandi persis seperti bapak. Senang sekali membuat orang emosi saat pagi begini. Tak memandang dingin atau kantuk, akhirnya aku bangun. Membersihkan diri dan mengambil air wudhu. Lalu ke bawah, menyusul om Fandi ke mushola.
Sesekali masih menguap, walaupun sudah mengguyur wajah dengan air, tetapi rasa kantuk tak juga enyah.
"Buruan, May. Mataharinya keburu nongol, noh!"
"Iya-iya." Aku mengenakan mukena yang yang sudah tergeletak di belakang Om Fandi berdiri.
Ini pertama kali aku menjadi makmum Om Fandi. Tak menyangka jika lelaki sekeren dirinya rajin beribadah. Sudahlah tajir, tampan, pinter, beruntungnya aku.
Eh, apa-apaan, May. Ingat, lagi sholat.
Pikiranku tidak fokus. Suara merdu Om Fandi malah mengingatkan pada guru mengaji di rumah. Dulu waktu kecil, aku sering di hukum bapak kalau malas mengaji. Atau berbohong karena berbelok ke arah sungai. Bukan mengaji malah pergi mancing bersama anak laki-laki di kampung. Alhasil ketika pulang sampai di rumah, ibu menjadi sasaran amukan bapak. Mengomel berjam-jam, aku dan ibu hanya diam, tidak berani membantah.
"Mau jadi apa anak gadismu nanti kalau sudah besar. Disuruh ngaji malah kabur, mainannya sama anal laki-laki. Mayra ini anak kita satu-satunya, Buk. Harus diajarkan tata krama, didiklah jangan sampai keluyuran sama laki-laki."
Padahal, aku masih kecil waktu itu. Karena memang, aku tidak terlalu suka berteman dengan anak perempuan. Sedikit-sedikit nangis dan mudah tersinggung.
"May, kamu ngelamun?" tanya om Fandi sambil melipat sajadah.
"Eh, nggak, Om."
"Dari tadi Om panggil-panggil nggak nyahut."
"Em ... anu."
"Kenapa? Kalau ada masalah, ngomong sama Om. Kamu tanggung jawab Om sekarang."
"Nggak ada masalah, kok."
"Yakin?"
Aku mengangguk, tapi ragu.
"Kamu kelihatan ragu," tebak om Fandi, "ayo!" Ia menyuruhku untuk mengikuti. Mau diajak ke mana kira-kira, ya? Om Fandi naik ke atas lagi, ke kamar lagi.
"Ya elah," gerutuku dari belakang.
Sesampainya di dalam, Om Fandi segera mengeluarkan sebuah amplop dari dalam laci.
"Ini untukmu." Ia menyerahkan amplop itu. Kubuka sambil mengenakkan badan pada sofa.
ATM dan kartu kredit.
"Makasih, Om," ucapku. Ingin tersenyum senang tapi takut dikira materialistis. Aku memang membutuhkan uang, setidaknya untuk membeli buku-buku mata kuliah yang sempat tertinggal
"Itu masih kosong."
Hah? What the ... dasar!
Jadi ... untuk apa memberikannya padaku kalau tidak diisi. Sepertnya, ia orang sengaja mematahkan harapanku secara tiba-tiba. Mana sudah mengucapkan terima kasih lagi.
"Jangan cemberut gitu. Nanti Om isi kalau kamu sudah aktif kuliah." Om Fandi menjelaskan. Aku sudah terlanjur memberikan ekspresi kesal dan itu sudah ditangkap oleh Om Fandi. Jadi, percuma menambalnya dengan senyuman. Cuma tampak palsu.
"Simpanlah. Sekarang, temani Om main futsal." Lagi-lagi, main perintah seenaknya.
"Futsal? Di mana?"
"Lapangan depan komplek. Ganti bajumu." Om Fandi sedang mengganti sandal rumahannya dengan sepatu kets putih, celana kolor pendek dan kaos putih polos.
Kalau penampilannya seperti ini, Om Fandi tak tampak duda berumur tiga puluh tujuh tahun. Malah terlihat lebih muda sepuluh tahun.
"May!"
"Ah, iya."
"Lama-lama Kesambet kamu, May. Melamun melulu." Om Fandi mengomel sambil memperhatikan aku yang salah-salah memasang tali sepatu. Aku mencebik, sesekali bergumam karena kesal. suka main suruh, suka menerima Entah, om Fandi mendengar atau tidak.
"Ayo!" Aku mengikuti Om Fandi seperti anak kecil, "kita pakai motor saja." Om Fandi menstarter motor matic dan menyuruhku naik di belakang.
Berboncengan dengan Om Fandi, dari jarak yang sangat dekat, rasanya asing. Aroma parfumnya menyeruak ... wangi. Tidak sampai lima menit, kami sampai di sebuah lapangan. Ada dua buah lapangan futsal. Di sisi kiri tertata rapi sebuah taman kecil. Tempat duduk mengelilingi taman yang dipenuhi pohon rindang. Membuat suasananya bertambah sejuk.
"Om main dulu, ya? Kamu bisa nunggu di sini. Atau ke taman itu." Om Fandi menunjuk taman itu.
"Iya, om." Aku memutuskan duduk di sini saja, di pinggir lapangan. Sebab, ingin menyaksikan om Fandi memainkan bola.
Teman-teman Om Fandi baru berdatangan. Mereka langsung menyapa om Fandi, berbincang sebentar kemudian bersiap-siap mengambil posisi masing-masing.
Ternyata, Om Fandi pintar juga bermain futsal. Walaupun amatiran, tetapi terlihat luesnya ketika mengoper dan mengulik bola. Keringat bercucuran di sana-sini. Sesekali tangannya menyeka, terlihat keren.
'Eh, apa-apaan, sih!'
"Hai," sapa seseorang. Aku mendongak, seseorang pria dengan pakaian olahraga.
"Boleh duduk di sini," pintanya sambil menunjuk bangku kosong di sampingku.
"Oh, silahkan," jawabku.
"Aku tadi liat kamu sama om Fandi. Oh iya, kenalkan ... namaku Adib." Pria itu mengulurkan tangan.
"Em ... Mayra." Aku menyambut uluran tangannya.
"Cantik."
"Hah!"
"Namanya," ucapnya cepat, "btw, keponakan om Fandi, ya?"
"Em, bukan."
"Saudara jauh, pasti." Ia tersenyum manis, tapi terlihat berlebihan.
"Kelas berapa?" tanyanya lagi. Hah, kelas? Dia pikir aku anak SMA apa?
"Semester empat," jawabku. Seharusnya semester enam. Gara-gara cuti yang diperpanjang hingga dua semester karena keadaan ekonomi bapak yang sulit tahun ini.
"Oh, kuliah. Kirain masih SMA. Kampus mana?"
"Tunas Bangsa."
"Wah, bukan lagi kebetulan ini. Jangan-jangan kita jodoh. Aku di sana juga, semester delapan, jurusan Agribisnis. Kamu?"
"Akuntansi."
"Kok, bisa kebetulan begini, ya?"
Adib terus saja bertanya tentang ini itu sampai bosan menjawabnya, aku seperti narasumber saja.
"Ada nomor hape. Boleh DM, ya?"
"Em ...."
"Keberatan, ya?"
"Bukan gitu."
"Ya sudah, nanti malam aku main ke rumah."
"Rumah siapa?"
"Rumahmu lah! Tinggal sama om Fandi, kan?"
"May! Tolong ambilkan air minum!" Om Fandi berteriak. nafasnya ngos-ngosan sambil berjalan kearahku.
Aku berdiri ke arah motor. Mengambil botol air minum dari dalam jok motor. Kemudian membawanya mendekati om Fandi yang tengah mengobrol dengan Adib.
"Kita pulang saja," ucap Om Fandi begitu aku sampai membawakan botol air minum untuknya.
"Loh, kok cepet, Om. Biasanya sanggup dua babak." Adib menimpali dengan serius.
"Capek, Dib. Lain kali saja Om tantang kamu duel."
"Oke, deh! Jangan lupa izinnya ya, Om."
"Hem, cabut dulu, ya."
Izin? Memang membicarakan apa mereka tadi?
Setelah berpamitan dengan Adib dan beberapa teman-temannya, Om Fandi segera mengajakku pulang.
Selama perjalanan hingga sampai di rumah, ia hanya diam saja. Ada yang aneh. Tapi ... mungkin saja hanya kelelahan usai main futsal.
"Kamu ngasih nomor ponsel sama Adib, May?" tanya Om Fandi begitu keluar dari kamar mandi.
"Nggak."
"Kok, dia mau datang ke sini segala? Kamu mengundangnya?"
"Ya nggaklah, Om. Baru juga kenal."
"Kenapa dia mau datang ke sini?"
"Gak tau! Dia minta nomor tadi tapi nggak Mayra kasih kok."
"Oh."
"Kenapa Memangnya, Om?"
"Ingat statusmu."
"Status?"
"Kamu 'kan istrinya Om, May. Ingat perjanjian kita."
"Termasuk jika aku dekat dengan orang lain, apakah-"
"Nggak boleh. Kamu lupa perjanjian malam pertama dulu."
"Ingat, sih. Cuma tiga bulan 'kan, Om? Yang Om ucapkanlah siang kemarin, apa tetap berlaku?"
"Tergantung."
"Tergantung? Tergantung ... apa maksudnya?"
"Coba kamu pikir, kalau kita bercerai, status kamu sudah jadi janda, loh. Umur sembilan belas tahun, janda? Kamu pasti tau pandangan masyarakat kita tentang janda. Kalau Om sih, gak masalah. Om duda, kita cerai pun, Om tetap jadi duda. "
Penggambaran om Fandi malah membuatku bingung, juga ragu.
"Om gimana, sih? katanya mau pisahan setelah tiga bulan, kemarin bilang sanggup memenuhi permintaan bapak, dan sekarang tergantung. Jangan bikin mayra bingung, dong!"
"Om cuma memberi pilihan. Terserah kamu mau pilih yang mana?"
"Om Fandi mah bikin bingung."
Om Fandi mendekat, mengacak rambutku.
"Nggak usah bingung. Yang jelas, Om nggak akan membiarkan kamu jadi janda."
"Nah, tuh ... kan berubah lagi. Ah, si Om plin-plan!"
Om Fandi tertawa, entah apa maksudnya.
Next