Chap 1. Kenangan
Aroma kopi yang hangat dan manis memenuhi udara, mengingatkan gadis itu pada kenangan manis dengan seseorang yang pernah membuatnya sangat bahagia. Di sini, di taman seluas ini, cinta mereka pernah bersemi. Namun, itu terjadi beberapa tahun yang lalu.
Seorang pria datang membawa bunga di tangannya dan memberikannya kepada gadis itu. Gadis itu bernama Nataya Jema, sering dipanggil Nata. Sementara pria yang memegang bunga tersebut adalah Aeron Bara, pria dengan ketampanan diatas rata-rata.
Aeron memeluk Nata, namun Nata melepaskannya dengan paksa.
Alis Aeron tertaut karena bingung dengan sikap gadisnya itu.
“Ayo kita pergi, aku lapar,” seru Aeron menggenggam jari jemari Nata.
“Aku mau bicara,” jawab Nata melepaskan genggaman tangan Aeron.
“Ada apa, Sayang? Apa ada hal penting sampai kamu menolak pelukan dan genggamanku?” Aeron menatap wajah Nata yang saat ini di tekuk.
“Aku sudah bosan bersama denganmu. Mari kita akhiri semuanya.” Nata mendongak menatap Aeron yang terkejut dengan apa yang barusan ia katakan. “Kita tidak akan pernah bisa bersama. Jadi, aku minta putus.”
“Jangan bercanda, aku sedang lapar.”
“Aku nggak bercanda, Ron. Aku serius. Aku mau mengakhiri semuanya.” Nata keukeuh.
Aeron menatap Nata penuh pertanyaan, namun ia anggap apa yang Nata katakan pasti hanya bercanda. Tidak mungkin hubungan yang mereka bangun selama 6 tahun kandas begitu saja.
“Aku nggak bercanda. Tolong, ngertiin aku, Ron. Tolong banget.”
“Jadi ini nggak bercanda?”
“Aku nggak pernah bercanda dengan masalah ini. Aku serius.”
“Tatap aku, Nat. Kenapa kamu melakukan ini? 6 tahun loh kita bareng. Semudah itu bagi kamu? Kamu mau putus begitu saja? Apa alasannya? Apa karena masalah lamaran yang diminta orang tuamu? Aku pasti akan melamarmu. Aku masih mengumpulkan uang, aku butuh pengertianmu.”
“Maaf, Aeron, ini bukan hanya sekedar lamaran yang kamu janjikan padaku. Aku butuh sandaran hidup yang lebih baik.”
“Jadi, menurut kamu aku kurang baik?”
“Aku akan menikah. Aku memilih Hans. Dia lebih baik dari kamu, dia kaya dan dia memiliki segalanya yang tidak kamu punya. Jadi, jangan pernah tanya kenapa aku memilih Hans. Dia jodoh pilihan orang tuaku.” Nata memandang wajah Aeron dengan tatapan meremehkan.
“Kita bicara nanti, aku nggak percaya kamu bisa mengatakan ini. Aku yakin seseorang pasti menghasutmu. Aku tidak bisa mengantarmu pulang. Jadi pulang lah sendiri. Kita bisa ketemu lagi dan kita akan bicarakan ini baik-baik.” Aeron berbalik dan melangkah meninggalkan Nata sendirian.
“AKU UDAH NGGAK CINTA SAMA KAMU! AKU MAU PUTUS!” teriak Nata sekuat tenaga. Namun, perkataannya barusan tidak membuat Aeron berbalik dan kembali padanya.
Aeron menitihkan air mata, sebagai pria ia merasa malu karena menangis. Namun kesedihannya sangat besar.
Tak sampai di situ, beberapa hari Nata dan Aeron tak bertemu, jadi Aeron memilih menemui Nata di apartemen kecilnya.
Aeron sangat rindu pada kekasihnya itu, namun tak ada kabar dari Nata, jangankan telepon, satu pesan saja tak ada sampai terakhir mereka bertemu di taman.
Aeron akan melamar Nata, ia tidak bisa membiarkan Nata menikah dengan Hans. Namun, ketika sampai di apartemen Nata, runtuh sudah kepercayaan diri Aeron. Bak disambar petir pikirannya hancur berpeping-keping.
Nata sedang duduk di pangkuan Hans dengan pakaian terbuka. Lalu Hans merangkul pinggang Nata dengan genit, Nata begitu terbuka dan tak perduli dengan tatapan Aeron saat ini.
Aeron tak bisa menahan amarah, ia pun segera mendekati keduanya dan mengangkat kemeja Hans lalu memukulnya berkali-kali.
Nata menghentikan hal itu dengan menampar Aeron. Dan, perkelahian itu berhenti.
“Ada apa denganmu? Aku sudah bilang kita putus dan kamu masih kemari membuat masalah?” Nata menatap Aeron kesal.
“Pria miskin sepertimu tidak pantas mendapatkan Nata. Jadi, sadar diri dan mundur lah pelan-pelan. Kamu tidak pantas bersaing denganku. Nata memilihku karena dia ingin hidup dengan nyaman dengan banyak uang. Hidup denganmu tidak akan memberikannya hal itu.”
“Nata, yang kamu lakukan ini adalah hal yang sudah melebihi batasan. Dia bukan suamimu, tapi kamu bermesraan dengannya?” Aeron menatap senduh Nata.
Nata menarik lengannya dan mendorongnya keluar dari apartemen Nata.
“Nat, aku mohon. Aku akan melupakan apa yang aku lihat tadi, jangan tinggalkan aku. Aku tidak bisa hidup tanpa kamu,” rengek Aeron.
***
“Mama!” panggilan itu membuyarkan lamunan Nata. Bayangan kenangan indah dan pahit yang ia berikan pada Aeron dan dirinya sendiri.
Pria kecil berusia 6 tahun itu ia beri nama Kenny Jev itu menghampirinya dengan setengah berlari.
Ken datang bersama seorang pria dewasa. Dia adalah Petir, teman sekaligus Papa pengganti untuk Ken.
“Petir? Kamu di sini?” tanya Nata mendongak melihat Petir.
“Iya. Aku mampir kemari karena sudah janjian dengan Ken,” jawab Petir.
Nata menatap Ken dengan tatapan heran, sejak kapan Ken menghubungi Petir dan janjian di sini. Padahal Nata selalu melarang Ken untuk mengganggu Petir bekerja.
Karena walau sibuk, Petir selalu saja menyempatkan waktu bertemu dengan Ken, walau Ken bukan putranya. Namun kasih sayang Petir pada Ken melebihi seorang paman atau teman ibunya. Hal itu lah yang membuat Ken bergantung pada Petir.
“Ken sudah lapar?” tanya Nata.
“Iya, Ma. Ayo kita makan bertiga, paman tidak sibuk hari ini,” jawab Ken lalu memegang salah satu jari Petir.
“Ken, Paman sibuk loh, kan Mama udah bilang jangan selalu mengganggu Paman. Paman punya pekerjaan dan kehidupan pribadi, jadi kita tidak boleh terus mengganggunya.” Nata kembali mengingatkan Ken.
“Nggak apa-apa, Nat. Aku juga gak sibuk kok, aku jadi bisa menemani kalian makan siang.” Petir lalu menggendong Ken.
Mereka bertiga lalu berjalan meninggalkan taman.
Nata yang berjalan dibelakang Ken dan Petir hanya bisa tersenyum, ia mengedarkan pandangannya melihat taman yang begitu luas. Banyak sekali anak-anak yang sedang bermain bersama orangtua mereka.