Chap 3. Wajahnya Mirip

1088 Kata
Malam yang indah penuh dengan kerlap kerlip lampu, terlihat meriah dan sangat indah. Ya malam ini adalah malam tahun baru, semua orang terlihat bahagia merayakannya. Begitupun dengan Nata dan Aeron, mereka duduk berhadapan di salah satu cafe, sembari melihat pertunjukkan dari salah satu penari yang saat ini bergeol di atas panggung kecil. Nata tersenyum melihat pertunjukkan itu, sementara itu Aeron tidak fokus pada pertunjukkan saat ini, ia malah menatap wajah Nata dan tersenyum sesekali, saking cintanya ia pada Nata. “Kenapa kamu menatapku seperti itu?” tanya Nata dengan alis yang nyaris bertaut. “Heem? Oh. Kamu semakin cantik saja,” puji Aeron. “Benarkah? Terima kasih, ya,” ucap Nata. “Kalau aku cantik, kenapa nggak kamu nikahin?” “Aku pasti akan menikahimu, aku sedang mengumpulkan uang sekarang. Doakan agar cepat cukup dan aku akan menemui orangtuamu.” “Aminn ya Allah. Semoga saja pacarku yang ganteng ini cepat dapat duit dan kita bisa menikah.” “Aku mau 4 anak,” kata Aeron lalu menyesap kopinya. “Haa? 4 anak? Kenapa nggak sekalian kita buat pabrik anak aja?” Aeron tertawa mendengar perkataan Nata barusan. Seolah dunia bisa mereka genggam hanya dengan cinta yang mereka miliki. Cinta yang melebur menjadi satu, disaat dua perbedaan dan dua kepala yang memiliki pola pikir yang berbeda. Cinta yang mereka miliki bisa menghadapi setiap masalah dalam hidup, termaksud restu orangtua. Tak ada yang tahu rasa cinta bisa tumbuh kapan saja dan dari mana saja. Tak ada yang bisa menduga kapan cinta akan datang. Cinta memberi banyak cerita pada setiap insan yang merasakannya. Ada yang memiliki kisah cinta bahagia dan penuh kasih sayang, namun tak sedikit pula yang harus merasakan pahitnya kisah cinta. Saat itu lah dunia yang bisa mereka genggam, berubah begitu saja. *** “NAT!” panggil Ola. Nata menoleh dan melihat Ola juga Ken. “Eh kalian sudah kembali?” “Kamu kenapa sih? Daritadi aku panggil loh ya.” “Maaf.” Nata menunduk sesaat. “Sayang, sekarang Ken main yak, Mama sama Tante Ola mau obrolin sesuatu.” Nata mengelus rambut putranya. “Iya, Ma.” Ken menganggukkan kepala. “Asal kamu tahu saja Aeron tidak mengenaliku,” kata Ola menatap Nata yang saat ini menyesap teh hangatnya. “Tapi kok Aeron ada di sini? Jakarta luas, tapi kenapa dia di sini?” “Aku mana tahu, La. Aku juga heran,” geleng Nata. “Makanya tadi aku tidak mau berbalik, takutnya dia mengenaliku.” “Nat, apa kamu ditakdirkan bertemu dengan Aeron kembali?” “Sudahlah. Jangan bicara sembarangan, itu tidak membantuku,” geleng Nata. “Tapi, aku heran loh, Aeron tidak mengenaliku. Apa dia lupa padaku?” “Syukur lah kalau dia tidak mengenalimu, karena hubungan aku dengan dia juga sudah lama berakhir, sudah 6 tahun semenjak kami berpisah, jadi tidak perlu berpikir yang aneh. Semua orang bisa lupa.” Nata melanjutkan. “Sudahlah kita tidak usah bahas dia, mungkin saja dia hanya mampir beli minum.” Ola mengangguk. “Sekarang waktunya aku mikirin pekerjaan. Aku harus bekerja demi Ken. Karena hanya Ken yang menjadi prioritas utamaku saat ini dan sampai nanti.” *** “Papa.” Ken memanggil dengan sebutan Papa. Aeron berbalik ketika mendengar seseorang menyebutnya dengan sebutan Papa. Aeron menautkan alis ketika melihat pria kecil itu hampir pingsan, memegang dadanya dan akhirnya pingsan. Aeron bingung, karena tak ada siapa pun di depan gang sempit itu, hanya ada dirinya. Aeron pun segera menghampiri pria kecil itu. “Bos, anak ini—” Aeron menoleh melihat asistennya. “Cari siapa ibu atau Ayah dari anak ini,” titah Aeron. “Tuan, ada baiknya kita bawa anak ini ke rumah sakit, nanti kita hubungi ibu atau ayahnya. Dia pasti memiliki catatan atau mungkin nomor telepon ibu atau ayahnya,” kata Jeri—sang asisten. Aeron bingung dengan perasaannya saat ini, entah mengapa ada rasa sakit yang sama yang dirasakan pria kecil itu, ia merasa harus menolongnya, ia merasa harus membawanya ke rumah sakit, ia harus menyelamatkan pria kecil ini. Dibalik sikapnya yang perhatian saat ini, sebenarnya Aeron tak perduli pada hal seperti ini. “Tuan, anak kecil ini sangat mirip dengan Anda,” ucap Jeri. “Jangan sembarangan bicara, saya tidak pernah meniduri wanita manapun.” Jeri mengangguk dan memilih diam, walau dalam hatinya berkecamuk, karena pria kecil yang pingsan itu mirip sekali dengan bosnya. Aeron terus menatap pria kecil yang saat ini berbaring di pahanya, Aeron merasakan kedekatan yang tak biasanya, Aeron tak percaya dengan apa yang terlihat saat ini. “Papa, Papa kemana? Papa udah nggak sayang sama Ken?” Ken mengigau. “Cepat, Jer. Hangat tubuhnya menembus bajuku, dia demam,” kata Aeron panik. “Baik, Bos,” jawab Jeri lalu melajukan mobil dengan balap. *** Saat ini, Nata terus menangis, Ola belum pulang bekerja, sementara Petir tidak di Jakarta, ia hanya bisa menangis dan bertanya pada semua tetangga rumahnya, jika ada yang melihat Ken, namun tak satu pun yang melihat Ken. Ada anak kecil yang mengatakan Ken pergi ke swalayan depan dan Nata ke sana menanyai kasir swalayan tersebut, namun tak ada yang melihat Ken. Nata tak putus asa, ia terus menerus mencari keberadaan Ken, dimanapun itu. Walau tak mungkin Ken pergi sejauh itu. “Ya Allah, dimana kamu, Ken? Jangan tinggalin Mama, jangan buat Mama takut,” lirih Nata duduk berjongkok di bahu jalan seraya menangis. Tak lama kemudian terdengar suara ponselnya, ia langsung mengangkatnya dengan suara serak. Nata membulatkan mata, ketika mendapatkan kabar bahwa Ken di rumah sakit. Nata langsung naik ojek, ia terus menyuruh tukang ojek itu untuk melaju lebih cepat, ia harus cepat menemui Ken. *** “Bos, ibu anak kecil itu sudah menuju kemari. Bagaimana? Apa kita tunggu ibunya atau kita pergi saja?” tanya Jeri menghampiri bosnya yang saat ini duduk di depan ruang pemeriksaan. “Kamu sudah urus administrasinya?” “Sudah, Bos.” “Baiklah. Kita tunggu ibunya.” “Bos, saya benar-benar yakin, sepertinya anak kecil itu ada hubungan darah dengan Anda. Soalnya dia sangat mirip dengan Anda, Bos.” Jeri mengulang perkataannya. Tak lama kemudian, terdengar suara tangis dari jauh mendekat ke ruangan pemeriksaan, secara bersamaan suara ponsel Aeron terdengar. “Sepertinya yang menangis itu ibu dari anak kecil di dalam,” kata Aeron. “Saya akan menemuinya, Bos. Jadi, Bos angkat telepon dulu.” “Baiklah,” angguk Aeron lalu melangkah menjauh dari ruang pemeriksaan. Pertemuan yang harusnya terjadi, Aeron malah berbalik dan menjauh dari tempatnya tadi. Nata menangis dan menemui Jeri, Jeri menunjukkan ruang pemeriksaan lalu Nata masuk ke dalam ruangan tersebut. Beberapa saat kemudian, Aeron kembali.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN