Langit Senja mulai menyapa

1110 Kata
Seperti biasa, setiap sore Sisil mengembalakan sapi ternaknya. Bersandar pada sebuah pohon besar dengan tali polyester di tangan. Tali itu yang melingkar pada sapi ternaknya. Hal ini, sudah menjadi rutinitasnya sehari-hari. Jika dia masih sekolah dulu, ia akan membagi waktu antara jadwal sekolah dan membantu sang ibu dalam mengurus hewan ternaknya. Tetapi semenjak dia lulus dari sekolah menengah atas, sampai hari ini masih bergelut dengan hewan ternak. Adik perempuannya-Diana sagira, yang duduk di kelas sepuluh sekolah menengah atas mengambani tugas mengembala dua ekor kambing. Sekali-sekali Sisil menolehkan kepala dari buku novel yang ia pegang. Untuk melihat sapi itu makan rumput dengan begitu lahap. Seolah memilah-milah rumput mana yang ia sukai. Membaca novel adalah hobinya . Terlebih bergenre romantis. Seolah Sisil menempatkan dirinya pada peran utama di dalam novel tersebut. Terkadang ia hanyut dalam chapter yang menuai perasaan sedih. Sampai-sampai ia juga menitikkan air mata. Tapi ia juga ikut larut ketika ada bagian yang bahagia. Apa lagi dapat menikahi salah satu anak dari pengusaha. Sisil rasa semua itu tidak mungkin. Bukankah semua itu hanya sebuah cerita? sebagai hayalan seseorang saja. Mana mungkin ia dapat menikahi seorang pengusaha. Sedangkan sekarang saja ia tinggal di sebuah desa. Tidak terasa hari semakin menampakan rona jingga. Sisil menarik sapi ternak menuju kandang. Kandang yang di buat oleh Paman Seno. Saat Sisil telah sampai di kandang, ia melihat Diana-adik Sisil juga berada di sana. Memasukan dua ekor kambing ke dalam kandang. "Hai, kenapa kau nakal sekali?! ayo, masuk cepat! apa kau mau kehujanan, ha ...?" kelakar Diana. Ia tampak kesal dengan kambing itu. Satu kambing yang ia tarik talinya, tampak menahan kuat kaki pada pijakan di tanah. Tali yang melingkar di leher, ikut menahan tali yang di tarik oleh Diana. "Mbek... Embek...." Pekikan kambing itu seolah menyeru meminta tolong. Geleduk-geleduk di langit sudah mulai terdengar. Awan kelabu tua mulai terlihat menahan air yang telah siap ia tumpahkan. "Kau ini, sama kambing saja di ajak berantem!" ejek Sisil. Ia menggeleng pelan kepalanya. Bibirnya ikut melebar, menampakan senyuman di raut wajah polos Sisil. Tingkah sang adik begitu lucu di rasa oleh gadis yang merupakan kakak kandung Diana. Sebab, ia telah memasukan sapi itu ke dalam kandang. Tanpa perlawanan dari hewan tersebut. "Kakak hanya bisa mengejekku saja! apa kau tidak lihat, dia membuat aku kesulitan!" Diana menoleh pada Sisil." Apa salahnya, kakak membantuku?" "Hmmm...." Sisil menghembuskan napasnya."Tunggu sebentar!" Setelah tali sapi itu diikat, ia pun mendekati Diana yang tengah kesulitan. Sisil mengambil kaki depan kambing, lalu Diana mengambil bagian kaki belakangnya. Memasukan hewan itu pada kandang. Begitu juga kambing yang satunya lagi, mereka juga melakukan hal serupa. "Huuufff..." Mereka sama-sama menghembuskan rasa capek itu. "Gimana, kakak merasakan keras kepala kambing itu, kan?" Diana berkacak pinggang. Keringat yang mulai keluar dari pori-pori kulit gadis itu. Menit kemudian, Diana menggerakkan tangannya untuk menghapus keringat tersebut. "Hum..."Sisil mengangguk pelan."Keras kepalanya sama sepertimu." "Apa kakak bilang?!" Diana yang mendengar jelas ucapan sisil, merasa geram kearah gadis itu. Sorotan mata Diana menejam. Bibir yang tidak kalah seksinya dari sang kakak, mengerucut. Tangan Diana di bawah sana, mengepal kuat. Hingga sekali hentakan kaki, membuat dia berlari ke arah Sisil. Sisil yang tengah fokus dengan rasa gerah menggelayuti tubuhnya, tangan yang masih mengipas-ngipas ke wajah, seketika terjingkrak saat ekor matanya menangkap bayang Diana tengah berlari kerahnya. Tidak kalah cepat Sisil langsung berlari menjauh dari kejaran sang adik. "Jangan lari, kakak!" Diana berseru." Akan aku tangkap, kau!" kakinya terus mengejar sang kakak yang tengah menghindar dari kejarannya. *** Jika saja Sisil tinggal di sebuah desa dan masih tinggal dirumah sang nenek. Karena orang tua Sisil belum mempunyai rumah, lain halnya dengan Alvarendra Sujiono, akrab di panggil dengan "Rendra" Lelaki berusia 25 tahun mempunyai tinggi badan 170 cm, kulit putih bersih, berlesung di kedua pipinya. Hidung berbatang tinggi, wajah oval. Badan tegap sispek itu, tengah terlunta-lunta di jalan. Ia mengedarkan pandangan ke seluruh arah kota tempat ia berdiri saat ini. Tangannya bergerak menggaruk-garuk tengkuk kepala yang tidak gatal. Dahi yang mengkerut menghiasi rasa frustasi dari lelaki itu. Ia tidak tahu arah tujuannya. Di kota itu dia tidak mempunyai tempat tinggal. Tapi, Rendra masih beruntung. Seorang teman yang sempat ia hubungi, menyuruh dia untuk menunggu di sebuah taman kota. Namun, mata Rendra belum juga menangkap sosok tersebut. "Sudah di mana sih, dia?" gerutu Rendra. Berkacak pinggang. Sekali-kali ia melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Ponsel yang sedari tadi ia pegang, telah mati total kehabisan batere. Saat Rendra hendak duduk di kursi panjang yang terletak di taman tersebut, manik matanya menangkap sosok teman yang ia tunggu-tunggu semenjak tadi. Begitu saja rasa kesalnya meredam. "Kau kemana saja?! aku kira kau membohongiku tadi!!" seloroh Rendro terhadap Davin. Davin Algazali, teman satu kelas saat berada di bangku sekolah menengah atas. Namun, saat ia kuliah mereka tidak bertemu lagi. Wajahnya standar, memiliki kulit sawo matang, tingginya pun berkisar 165 centimeter, di bawah Rendra. Antara Rendra dan Davin, Rendra mengungguli segalanya di atas Davin. "Sorry ... sorry. Aku datang telat!" sahut Davin. "Ayo, ikut aku!" Rendra dan Davin pergi dari sana. Lelaki itu mengajak Rendra tinggal di sebuah kontrakan kecil. Di batas tiga sekat ruang. Sangat jauh dari kata sempurna. kalau di rumah ia mendapatkan kamar yang luas, ada pendingin ruangan, kamar mandi juga sangat luas. Tempat tidur ukuran Big size, di sana yang kasur kecil. Muat buat dia seorang. Di sana sungguh sederhana. Semua berbanding terbalik dengan yang ia rasakan sebelumnya. Tapi, semua harus bisa yang terima. Ia harus terbiasa oleh keadaan seperti ini. Entah sampai kapan, yang pasti tidak untuk waktu yang singkat. Setelah menempuh jarak yang cukup jauh, Rendra dan Davin telah sampai dirumah kontrakan. Tempat tinggal Reynard bersebelahan dengan Davin. Hanya di batasin satu dinding saja. Rendra menghubungi Davin sebelum ponselnya itu benar-benar mati total. Matanya yang terpana, dengan saliva yang tertegun di paksakan, membuat Rendra menghembuskan napasnya dengan berat. Ke dua bahunya juga ikut melorot. Lamunan Rendra seketika buyar. Davin melempar pertanyaan terhadap kontrakan sekat tiga yang ia carikan untuk temannya tersebut. Bagi Davin, tempat tinggal tidak terlalu besar itu, tidak masalah baginya. Ia juga telah terbiasa akan hidup sederhana yang dia jalani. "Hai, bro! lah, malah melamun dia. Bagaimana menurutmu, kau suka tidak, ha...?" tanya Davin. Dengan tangan menggelayuti bahu Rendra. Bola mata Rendra berputar. Rasa berat di dalam hatinya, menyeruak kekesalan yang tertahan di dalam sana atas apa yang dia alami. Dengan terpaksa Rendra mengangguk ke Davin. Kemudian ia menyematkan seutas senyum. "Hemm..."Rendra mengangguk." Ok ... Aku ambil ini!" Mau tidak mau, Rendra harus mengambil tempat itu. Berhubungan sebentar lagi langit malam tiba, ia butuh tempat istirahat. Rasa lelahnya telah mencapai puncak dan mata yang terasa berat, sudah mulai menggelayuti. Bersambung...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN