bc

He's The Man Of My Choice

book_age18+
594
IKUTI
3.4K
BACA
billionaire
others
CEO
drama
like
intro-logo
Uraian

Sisilia Mahesa yang berasal keluarga kalangan bawah, harus menerima pahitnya sebuah keinginan yang tidak tercapai. Mengubur dalam cita-citanya. Terlebih perkataan sang paman yang selalu melukai hati. Tidak hanya itu saja, ia hampir menjadi korban pelecehan dan korban perdagangan sang paman.

Beruntung Alvarendra Sujiono datang menolongnya dari sang Paman. Hingga ia bisa terselamatkan dari perlakuan buruk sang paman.

Namun siapa sangka, peristiwa itu membuat Alvarendra mendekam di jeruji besi. Atas laporan penculikan

Dengan mudah Alvarendra bisa keluar dari penjara. Karena dia terbukti tidak bersalah.

Dari balik kejadian pelit yang di jalani Sisil, sang semesta ikut andil dalam menebar cinta di hati Sisil dan Rendra. Hingga mereka di persatukan dan menjadi sepasang suami istri.

Tetapi, semua tidak berjalan mulus seperti yang di harapkan. Dalam hidup bergelimang harta, Tuhan menguji Sisil dan Rendra masalah keturunan. Bukan hanya itu, dalam perjuangannya mendapatkan anak, dunia kembali mempermainkan hidup Sisil. Diagnosa memiliki penyakit mematikan, dan suami diam-diam memiliki istri lagi, membuat Sisil harus memilih antara hidup atau mati, mempertahankan atau melepaskan.

Akankah Sisil mempertahankan rumah tangganya? atau melepaskan dengan air mata?

Pada dasarnya, dalam suatu hubungan harus memiliki sifat keterbukaan. Agar apa yang di rahasiakan tidak menjadi bumerang bagi diri sendiri.

chap-preview
Pratinjau gratis
Ucapan yang menyayat
Tatapan tajam pada biasan jingga yang perlahan menepi lalu pamit undur diri. Di balik jendela dengan pintu terbuka. Tak sealun dengan indahnya pesona nan tampak. Saat hati dan pikiran tidak lagi berjalan searah pada prasangka baik. Bagai benang kusut yang tak tau ujung dan pangkal. Sang jiwa pun merasa paling benar atas sanggahan egois hati dari gadis dengan tatapan tertunduk lesu. Sisilia Mahesa, gadis berusia 18 tahun. Mempunyai tinggi badan 159 centimeter, kulit putih bak bengkuang, hidung mancung, bibir tipis merah muda, bermata bulat seperti boneka, bulu mata lentik menghiasi kedua matanya. Memiliki wajah oval. Cantik, kata yang pas dari definisi gadis itu. Ia baru saja tamat dari bangku sekolah menengah atas. Dia bukan siswi yang di kenal dengan kepintarannya, tetapi nilainya cukup baik dalam kelulusan tahun ini. Menyambung pendidikan kejenjang yang selanjutnya, menjadi impian dia selama ini. Cita-cita yang terukir dalam harapannya harus pupus di tengah jalan. Sanggahan terus menerus terngiang di pendengaran gadis itu. Jika kemaren-kemaren ia masih bisa menguatkan dirinya sendiri, tetapi tidak untuk kali ini, dia membisu. Tiada seruan yang keluar dari kerongkongannya. Ia hanya bisa menyerap kata demi kata yang bertolak dengan hati kecilnya. Uang...Iya, selembar kertas atau logam yang di sebut sebagai uang itu menjadi penghalang untuk ia melanjutkan pendidikan. Ayah yang sudah lama meninggal semenjak empat puluh hari sang adik bungsu di lahirkan dan Ibunya yang hanya buruh petani, Lalu memiliki dua orang adik yang masih bersekolah, membuat dia harus mengalah dan mengubur dalam cita-cita itu. Sebenarnya, Ibu Sisil mendukung. Walau ada rasa iba yang menyelimuti raut wajah wanita paruh baya itu. Tetapi, mulut yang tajam bak sembilu menyayat ke relung hati Sisilia. "Kau mau nyambung kuliah pakai apa? lulus saja dari sekolah menengah atas, seharusnya kau sudah bersyukur!" seloroh Tante berambut pendek bernama Siti. Dengan sorotan mata menghunus kepada Sisil. "Lihatlah, apa pekerjaan ibumu? Dia hanya petani. Untuk makan kau saja masih kami tanggung. Dan sekarang... kau bermimpi untuk kuliah?!" timpal Paman Jono. Menyunggingkan senyumannya. Paman Seno, melirik ke dua adik di hadapannya itu. Yang merupakan kakak tertua dari Paman Seno, Tante Siti dan ibunya Sisil. "Seharusnya kalian tidak boleh bicara seperti itu. Jika kalian tidak mau membantu biaya kuliahnya, ya sudah. Jangan mengungkit apa yang telah kalian telah berikan." Tegasnya. Sisil mengangkat pandangannya. Tertuju pada sosok paman yang senasib keadaan dengan sang ibu. Sama-sama buruh tani. Paman Seno cukup tau bagaimana keadaan kehidupannya. Tetapi dia tidak pernah, menyanggah keinginan Sisil untuk melanjutkan pendidikannya. Masih terlintas jelas di otaknya ucapan Paman Seno terhadapnya tempo lalu. "Maafkan Paman, Sisil. Paman tidak bisa membantu banyak. Jika memang kau mau melanjutkan pendidikanmu, Paman hanya bisa membantu sekedarnya saja. Tetapi ... ketahuilah Sil, Orang berduit bisa menyekolahkan anak mereka, itu hal biasa. Tetapi, jika orang seperti ibumu mampu membiayai kuliah mu, itu luar biasa. Semua itu Paman serahkan keputusannya pada mu. Bagaimana baiknya ?!" Ibunya-Sisil, Melisa. Sorotan matanya tertunduk lesu. Guratan halus yang hadir di sela alis mengatup tampak jelas pada wajah yang tidak lagi muda. Dia hanya bisa terdiam, tercekat membisukan suara hati yang tertahan di dalam sana. Tanpa tahu harus menyela bagaimana. Sebuah kenyataan membenarkan, ibu Melisa masih di bantu dalam kebutuhan hidupnya. Tidak terukir dalam bentuk benda yang tajam. Tapi mengapa mampu membuat Sisil terluka penuh atas ucapan yang tengah di lontarkan padanya. Hati yang ia kontrol sedari tadi agar tidak terlalu berdampak memberi respon setiap perkataan yang ia dengar. Namun, ia tidak bisa menahan sebuah luka yang mencengkeram tepat pada hati kecilnya. Kata demi kata itu terus terngiang di indera pendengarannya. Tersaring jelas di otak yang di ciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Sisil bangkit dari kursi yang mulai rapuh, tanpa menatap ke dua adik kandung dari ibu-nya tersebut, ia berlari menuju kamar. Rambut yang di kunci bagaikan ekor kuda itu, berayun-ayun mengikuti gerak tubuhnya. Bak awan kelabu tua. Ditambah sambaran petir yang menggelegar. Tidak tertahan untuk menurunkan derasnya air hujan. Begitu pula dengan Sisil. Air bening yang tampak berlinang di sudut mata, tidak dapat di bendung oleh kelopak mata pada irish kehitaman itu. Mengalir cepat pada permukaan pipi nan mulus. Tepat saat ia masuk kamar dan membenamkan wajahnya di atas bantal. Sisil terisak dalam rangkuhannya. Suara tangisan itu berderai. Mengiris-ngiris hatinya. Terbawa arus yang mengalir deras, hayut dan tenggelam. Tak berdaya ... Sangat tidak berdaya! hingga suara pintu terbuka terdengar. Ceklek.... Ibu Melisa berada di balik pintu. Ia menghentikan langkahnya. Melihat Sisil membelakanginya. Terisak dalam tangisan yang menyayat hati sang Ibu. Tangan ibu melisa menutup kembali pintu tersebut. Dengan suara khas pintu reyot menggusar pendengarannya. Ia mendekati Sisil. Menduduki Sisi ranjang gadis itu. Tangannya menyentuh lembut pucuk kepala gadis tersebut. Menatapnya dengan penuh kasih sayang. "Sisil." Suara pelan ibu Melisa tentu terdengar oleh Sisil. Namun, tak bergeming. Ibu Melisa menimang-nimang kata yang bisa di serap oleh gadis itu dan ia dapat mengerti. "Maafkan ibu, nak! i-ibu... Maksud ibu, bibi Siti dan Paman Jono ada benarnya sayang. Jika kuliahmu berhenti di tengah jalan, karena tidak ada uang nantinya, itu malah sangat di sayangkan," tutur Ibu Melisa. Sisil duduk dari tidurnya, menatap sang ibu yang di hadapannya saat ini. Dengan mata yang memerah. Kelopak mata yang mulai sembab membuat kedua matanya menyipit. "Aku tahu bu, mereka membantu hidup kita. Tapi, haruskah mereka mengungkit terus apa yang mereka berikan kepada kita? sehingga membuat telinga ini terus merasa panas," keluh Sisil. Tubuhnya terguncang dalam isak tangis yang belum juga reda. Ibu Melisa menarik Sisil dalam dekapannya. Memeluk erat Sisil dalam pelukan hangat." Nak, mungkin maksud mereka bukan begitu." Sudahlah, bu. Dia orang yang memiliki uang banyak. Tanpa mereka tau, ucapannya melukai hati seseorang," sanggah Sisil. Melepaskan pelukan ibu Melisa."Tinggalkan Sisil sendirian. Ibu keluar!!" Ibu Melisa berpikir, mungkin Sisil butuh waktu untuk dirinya saat ini. Ia tahu gadis itu tidak dapat berpikir jernih saat ini. Anak seusia dia, memang labil dengan keinginan yang harus fi turuti. Ia menuruni kakinya kembali, lalu melangkah keluar kamar gadis itu. 'Maafkan ibu, nak.' Batin ibu Melisa. Sebelum pintu itu di tutup kembali olehnya. "Aku benci mereka! begitukah cara bicara orang kaya, mengungkit apa yang telah ia tolong?! suka meremehkan kekurangan orang lain. Apa hanya orang kaya saja, yang boleh menempuh kuliah?" Sisil membenamkan kepalanya dalam lutut yang di tekuk. Lelah dalam menangih, membuat matanya di hinggapi rasa kantuk yang mulai menjalar. Sisil kembali merebahkan tubuhnya. Sesekali isakan tangis masih tersisa di sela-sela air mata yang membekas pada kedua pipi tirus itu. Perlahan namun pasti, mata Sisil mengatup sempurna. Membiarkaan mimpi membawanya ke alam bawah sadar. bersambung ...

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

TERNODA

read
198.5K
bc

B̶u̶k̶a̶n̶ Pacar Pura-Pura

read
155.7K
bc

Dinikahi Karena Dendam

read
233.5K
bc

Hasrat Meresahkan Pria Dewasa

read
30.0K
bc

Sentuhan Semalam Sang Mafia

read
188.2K
bc

Setelah 10 Tahun Berpisah

read
50.0K
bc

My Secret Little Wife

read
132.0K

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook