Bagian 8

1262 Kata
Ovi masih terus berusaha membujuk Reon agar pemuda itu tidak semakin marah kepadanya. Baru kali ini Reon mendiaminya hanya masalah soal buku yang dia beli. “Re, nanti pulang kuliah bareng?” tanya Ovi mencoba seceria mungkin dan tetap menampilkan senyum manisnya di hadapan pemuda itu. “Nggak.” Satu jawaban namun mewakili segalanya. Selalu saja seperti ini. “Bareng aja, ya? Ya? Ya?” pinta gadis itu menampilkan puppy eyes-nya. “Nggak.” Ovi menarik napasnya dalam. Dengan berat hati dia segera meninggalkan Reon yang sepertinya masih sibuk dengan tugas kuliahnya. Tidak lupa juga gadis itu berpamitan kepada kekasih itu. Ovi saat ini sedang memikirkan sikap Reon yang tidak pernah berubah sejak dulu. Dingin dan ketus paling mendominasi, terlebih lagi ketika saat bersama dengannya. Bukankah Ovi adalah kekasihnya? Lantas kenapa Reon bersikap kasar? Tidak, Reon tidak kasar. Pemuda itu terlalu menyayanginya hingga bertindak berlebihan. Itulah yang selalu gadis ini tanamkan di dalam kepalanya. Ovi tidak akan pernah lupa seberapa terpuruknya Reon ketika Cia pergi meninggalkannya sendirian. Saat itu, setelah dua hari kepergian Cia meninggalkan negara ini, Ovi sengaja mampir ke rumah sahabatnya itu. Dia sengaja datang ke sana untuk menengok Reon dan juga ini adalah salah satu permintaan terakhir Cia yang memintanya untuk berada di samping kakaknya itu. Namun, Ovi tidak menyangka jika permintaan Cia itu menjadi kenyataan hingga sekarang. “Bang Re? Astaga!” pekiknya terkejut mendapati Reon yang melamun dan dalam keadaan yang tidak baik. Tatapannya seperti kosong. “Bang?” Gadis itu menyentuh lengan Reon agar pemuda itu segera sadar. Reon hanya menoleh sekilas, kemudian tatapannya kembali ke depan melanjutkan acara melamunnya. “Astaga, Bang! Bang Re nggak mandi dua hari? Bajunya, kok, masih sama?” tanya Ovi. Iya, dia masih ingat baju terakhir yang Reon pakai saat mengantarkan Cia ke bandara. “Bang! Sadar, Bang!” kesal gadis itu yang terus diacuhkan oleh Reon. Seketika Ovi mempunyai ide, dengan sigap dia membuka ponselnya, berlagak mencari sebuah nomor dan segera menempelkan benda pipih itu di telinga kanannya. Halo, Ci. Iya ini Bang Reon diem mulu. Mana belom mandi. Bau tau, Ci. Bilangin noh ke Abang lo suruh mandi. Lag—” “Halo, Ci?” Ucapan gadis itu terpotong karena Reon yang tiba-tiba merebut ponselnya dengan paksa. Mampus gue kerjain, batin Ovi. Reon yang tidak kunjung mendapat jawaban dari seberan telepon pun mengernyit bingung. Dia memperhatikan layar ponsel yang menampilkan sebuah foto, bukan panggilan telepon. Seketika itu dia menyadari jika gadis yang berada di depannya sedang mengerjai dirinya. “Lo ngerjain gue?” tanya Reon dengan raut muka datarnya. Ovi menelan ludahnya dengan paksa. Sial, dia sedang membangunkan singa yang tertidur. “I-itu, a-anu, Bang.” Gadis itu menggaruk rambutnya yang tidak gatal. Lebih tepatnya dia sedang mencoba mencari alasan yang tepat dan masuk akal tentunya. “Nah!” serunya. “Aku tadi memang mau telepon Cia, tapi pulsaku habis hehe,” jawabnya. Pemuda itu hanya memandang Ovi datar. “Pergi!” usirnya. Ovi melotot, dia diusir oleh pemuda itu. Dasar cowok nggak berperasaan, batin Ovi. “Nggak mau!” Reon memandang gadis itu malas dan tidak berminat. Pemuda itu berdiri, beranjak ke dalam kamarnya. Namun, Ovi yang memang kelewat polos pun malah tanpa sengaja mengikuti Reon. Hingga pemuda itu menyadari jika ada yang mengikutinya. Dia pun berbalik dan masih memandang gadis itu dengan wajah dingin dan datarnya. “Ngapain lo ngikutin gue?” tanya Reon dingin dan menusuk. Seketika gadis itu pun menyadari jika dia mengikuti Reon hingga ke kamar. “Eh? Maaf, Bang hehehe. Aku tunggu di luar ya, Bang. Kalau Bang Reon sudah mandi, temui aku di ruang makan. Aku bawa makanan buat Bang Re,” jelasnya. Reon memutar bola matanya malas, “Mending lo pulang. Gue nggak butuh bantuan lo.” Ovi mengigit pipi dalam mulutnya, mencoba mencari alasan agar Reon bisa menuruti perintahnya. “A-aku bakal telepon Cia kalau Bang Reon nggak turun,” ancam Ovi sedikit tidak yakin dengan hal yang baru ia keluarkan dari mulutnya. Menghubungi Cia? Yang ada di luar negeri? Belum juga Ovi napas, panggilan itu akan segera mati. Ovi adalah termasuk ke dalam jajaran gadis terhemat, apalagi soal pulsa, syukur-syukur sebulan ada pulsa sepuluh ribu. Reon memilih berjalan dan menghilang dari pandangan Ovi. Kemudian terdengar suara gemericik air dari dalam kamar mandi. Pasti Reon sedang mandi. Ovi tampak senang, gadis itu buru-buru ke dapur untuk menyiapkan makanan Reon. “AKU TUNGGU DI BAWAH, BANG!” teriak Ovi nyaringnya seakan itu adalah rumahnya sendiri. *** “Ini semur daging buatan Bunda. Awalnya tadi aku mau beli makanan di luar, tapi kata Bunda biar hemat jadinya aku disuruh bawa ini, deh. Nggak apa-apa, kan, Bang kalau makan semur?” tanya Ovi. Sebagai respon, Reon segera memakan makanan yang dibawa oleh gadis itu. Tentunya selain karena ingin gadis itu pergi dari rumahnya, dia juga sangat lapar. Ternyata memikirkan kepergian adiknya malah membuatnya terlihat seperti mayat hidup. Di kamar mandi, Reon sempat melihat pantulan wajahnya di cermin, dan seperti itulah penampilannya yang acak-acakan. “Bang, habis ini kita belanja persediaan makanan, yuk? Tadi aku lihat di kulkas persediaan pada habis.” “Nggak usah,” jawab Reon yang masih fokus dengan makanannya. “Jangan gitu. Kalau nggak ada makanan, nanti Bang Reon makan apa tiap hari?” protes Ovi “Go food.” “Jangan! Ngabisin duit namanya. Bang Reon harus berhemat. Meskipun Bang Re kaya, tapi kita harus tetap hemat dan jangan menghamburkan uang,” tolak Ovi. Sepertinya sejak kecil gadis itu memang diajarkan untuk berhemat dan lebih bersyukur menjalani hidup. Dan pemuda itu memutar bola matanya malas. Dari kejadian hari itu, kedekatan mereka semakin terjalin. Gadis itu selalu berusaha menghibur Reon, selalu berada di sekitar pemuda itu. Awalnya Reon risih dan tak suka, namun seiring berjalannya waktu dia dapat menerima kehadiran Ovi di kehidupannya. Ya, meskipun gadis itu selalu cerewet setiap saat. Hingga pada suatu hari, Ovi tanpa sengaja membuat Reon kesal. Salahkan saja teman sekampusnya yang tiba-tiba memeluknya sembarangan, apalagi itu di kantin dan di hadapan Reon sendiri. Dengan sigap Reon melempar pemuda itu dan menghajarnya habis-habisan. Ovi kelimpungan, semua mahawasiswa enggan untuk melerai, karena tontonan perkelahian keduanya cukup menarik, sampai Ovi lah yang harus turun tangan, meskipun tangannya sedikit perih karena cengekeraman dari Reon. Tetapi, penderitaannya bukan sampai di situ. Reon yang sedang marah dan kesal pun menyeret gadis itu untuk menjauh dari kantin. Pemuda itu tidak memedulikan keluhan dan protes dari gadis kecil itu. Hingga sampailah mereka di GOR yang ada di kampus, kebetulan saat itu sedang sepi. Reon menghempaskan Ovi begitu saja, untung saja gadis itu bisa menjaga keseimbangan tubuhnya. Napas pemuda itu memburu, tangannya terkepal, dan wajah dinginnya tidak pernah hilang sedikit pun. Dia menatap tajam lawan bicaranya saat ini, yakni Ovi. “Bang Re ... a-aku—” “Jangan dekat-dekat dia!” potong pemuda itu. “Oh dia?” tanya Ovi yang sudah tahu ke mana arah obrolan mereka. “Aku nggak kenal dia. Tiba-tiba aja dia peluk aku. Mungkin dia iseng,” lanjutnya. “Mulai sekarang lo pacar gue,” kata Reon datar dan cepat. Ovi yang memang memiliki IQ di bawah rata-rata pun mencoba mencerna ucapan lawan bicaranya saat ini. Hingga beberapa detik kemudian dia pun paham maksud pemuda itu. “Pa-car? Aku nggak suka Bang Reon. Eh? Bukan. Ma-maksud aku ... a-aku—” Belum sempat dia melanjutkan perkataannya, Reon mencengkeram bahu gadis itu. Tatapannya masih dingin, bahkan dia tidak menghiraukan ringisan kesakitan yang gadis itu keluarkan. “Mulai detik ini, lo pacar gue,” jelas Reon penuh penekanan di setiap kata yang dia ucapkan. Ovi pun pasrah, dia mengangguk patuh, dan barulah Reon melepaskan cengkeramannya. Sejak saat itulah Ovi tidak bisa pergi, lari, dan melepaskan diri dari kehidupan Reon. Yang bisa dia lakukan saat ini hanyalah pasrah. Pasrah kepada takdir yang Tuhan tuliskan untuknya. Meskipun dia harus menerima segala perlakuan buruk Reon. Yang jelas, seiring berjalannya waktu, gadis ini lama kelamaan mulai menerima Reon, memahami pemuda itu, hingga dia pun mulai jatuh cinta kepadanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN