Bagian 7

1696 Kata
“AAAKKKHHH.” Teriakan seorang gadis nyatanya tidak mampu membuat Reon berhenti melakukan tindakannya itu. Dia terus saja menyiksa gadis itu tanpa henti. Menggores pisau kecil di setiap inci kulit wanita tersebut. Yang pasti rasanya mungkin sakit sekali. “Sshhh ... Re ... sa-kit,” kata Bella dengan suara sepert berbisik. Ya, akhirnya dia segera mendapat balasan atas apa yang dia lakukan. Reon tidak ingin membuang waktu lama lagi. Terlebih, dia tidak ingin gadis ini berlama-lama berada di rumahnya. “Belum. Kita belum melakukan penutupan,” jawab Reon dengan seringainya yang terlihat tidak seperti biasanya. Tentu saja Bella terkejut mendengar pernyataan pemuda yang ia cintai itu. Dia belum tahu apa hidangan penutup dari semua penderitaannya ini. Bahkan kulitnya sudah memerah mengeluarkan darah segar yang dihasilkan oleh pisau kecil milik Reon. Bella menggeleng. “Nggak, Re. Cu-kup, gu-e su-dah ng-gak ku-at,” lirihnya dengan tampang memelas. Dan hal itu pun sontak membuat pemuda itu tertawa dengan kencang. Ruangan ini didominasi oleh suara tawanya. Yang mungkin hanya sekadar tawa bagi dirinya, tetapi akan berlain makna bagi pendengar lainnya. “Nggak kuat? Bahkan kita baru sekali bermainnya. Bukankah lo menginginkan lebih?” tanya Reon yang dibalas gelengan kepala oleh Bella. Yang bisa gadis itu lakukan hanya menangis. Menangisi nasib buruknya. Dan dia hanya menyalahkan satu orang atas penderitaannya saat ini. Ovi. Suatu saat nanti gadis itu akan mendapat balasannya. Dan Bella akan melakukan hal yang sama persis seperti yang ia dapat saat ini. “Aaakkkhhh.” Seketika Bella kembali sadar ketika dia merasa rasa sakit dan perih yang mendominasi kulitnya. Dia pun melihat Reon dengan santainya memeras sebuah lemon ke atas tangannya. Pemuda itu tidak memedulikan suara teriakan kesakitan yang Bella keluarkan. Bagi dirinya, teriakan korban bagaikan alunan lagu yang jarang bisa ia dengar. Setelah kurang lebih satu jam Reon bermain-main dengan Bella, pemuda itu sepertinya tampak bosan. Dia ingin segera mengakhiri permainan ini. Selain karena dia bosan dan sudah tidak berminat lagi menyiksa Bella, sore nanti dia sudah ada janji dengan Ovi untuk mengantar gadis itu ke toko buku. “Sudah cukup, nggak usah teriak lagi,” kata Reon kepada Bella yang masih mengatur napasnya. “Setelah ini lo bebas. Tetapi, gue punya satu lagi hidangan, dan pastinya ini yang paling lo suka. Dan satu lagi, jangan pernah ganggu hubungan gue dan Ovi lagi. Kalau perlu lo jauh-jauh dari kehidupan kami.” Setelah mengatakan itu semua, Reon segera beranjak dari ruangan tersebut. Bella bisa bernapas lega sejenak. Namun, itu hanya berlangsung sedetik saja, kemudian dari pintu itu keluar lima orang pria berwajah sangar dan berbadan kekar. Bella memandang kelimanya ngeri. Sedangkan, Reon hanya menyeringai mendengar teriakan Bella yang memanggil namanya. Sudah Reon bilang bukan, jangan pernah mengusik hidupnya jika tidak ingin mendapat balasan yang lebih menyakitkan. “Ish! Reon! Kan, aku sudah bilang, aku mau ke toko buku. Bukan belanja baju,” protes seorang gadis yang memakai bando berwarna pink. Tampilannya seperti anak SMP, siapa sangka jika dia sudah memasuki masa perkuliahan. Pemuda yang sejak tadi diprotes oleh gadis ini hanya diam menghiraukannya dan lebih memusatkan atensinya ke baju-baju yang berada di toko yang mereka kunjungi. Ovi mendengkus kesal. Tanpa memedulikan Reon lagi, gadis itu segera beranjak ke toko buku yang ingin ia kunjungi. Biarlah Reon asyik dengan dunianya. Memang dia pikir Ovi tidak bisa? Sedangkan Reon yang sudah tahu jika gadisnya pergi meninggalkannya pun tampak hirau. Walau bagaimanapun, dia pasti akan tahu di mana kekasihnya berada. Ovi masih saja terus menggerutu hingga gadis itu pun telah sampai di sebuah toko buku yang kebetulan berada di sana. Dan tentu saja dia langsung memilih novel mana saja yang menurutnya bagus. “Dasar gak peka. Jadi cowok ngeselin banget. Udah dibilang ke toko buku, eh malah enak-enakan milih baju. Dasar cowok. Mau menang sendiri,” gerutu kesal sambil mengingat betapa menyebalkannya Reon. Bahkan pemuda itu tidak mengikutinya ke toko buku. Di mana-mana kalau ada cewek yang ngambek dengan cowoknya, maka si cowok bakalan ngejar cewek itu. Bukannya mengejar, pemuda itu malah diam. Dan itulah yang semakin membuat Ovi kesal. Ditambah lagi seumur-umur kalau dirinya ke toko buku jarang banget ada couple yang ke sini, dan kenapa hari ini banyak yang datang? Bukan hanya satu, tapi sudah lebih dari lima pasang yang semakin menambah kekesalan Ovi saat ini. Harusnya dia bisa mendapatkan pacar yang seperti itu. Mau menemaninya memilih buku-buku yang dia inginkan. “Menurut kamu, dari dua novel ini mana yang bagus?" tanya Ovi kepada Reon sambil menunjukkan dua buku novel yang berbeda sampul. Pemuda itu mengambil alih kedua buku yang ditunjukkan kekasihnya. Melihat bagian belakang buku dan membaca blurb cerita di sana. Ovi menunggu sang kekasih selesai membaca. “Dua duanya bagus,” jawab Reon akhirnya sambil mengembalikan kedua buku itu ke tangan Ovi. Tentu saja gadis itu mendengkus kesal mendengar pernyataan Reon. “Aku juga tau dua-duanya bagus. Tetapi, hari ini aku beli satu buku saja soalnya uang bulanan belum turun. Besok-besok bakalan ke sini lagi buat beli salah satu buku ini kalau sempat,” jelasnya. Reon dengan gemas mengacak rambut kekasihnya itu. “Kita beli dua-duanya,” putus Reon akhirnya sambil mengambil alih kedua buku itu dan segera ia serahkan ke penjaga kasir. Tentu saja Ovi terkejut, dengan terburu-buru dia menyusul Reon untuk menyuarakan protesnya. “Mbak, jangan ditotal dulu ya,” cegahnya kepada penjaga kasir, untung saja belum ada orang yang antri untuk membayar di belakang mereka. Ovi beralih kepada Reon yang sepertinya menunggu. “Kamu apa-apaan, sih! Aku, kan, bilang mau beli salah satunya aja dulu, bukan dua-duanya,” protesnya. “Kita ambil dua-duanya aja. Aku yang akan bayar bukunya,” jawab Reon sambil mengeluarkan dompetnya. “Tapi—” Reon segera mencegah Ovi untuk menyuarakan protesnya. Diam-diam gadis itu tersenyum menerima perlakuan manis dari pemuda itu. “Hufffttt.” Dan saat ini Ovi sudah kembali ke dunia nyata dari dunia khayalannya. Ternyata semua hanya angan saja yang tidak akan mungkin menjadi kenyataan. Ovi sadar jika kekasih yang dia punya saat ini tidak akan pernah memperlakukannya semanis itu. Palingan Reon akan menceramahinya, ‘Kamu ngapain beli buku nggak berguna seperti itu? Harusnya kamu beli buku-buku buat kuliah, buat menambah wawasan pengetahuan. Bukan buku cerita fiksi seperti ini.’' Mungkin kurang lebih Reon akan berkata seperti itu. “Hufffttt.” Dan untuk kesekian kalianya gadis itu menghembuskan napas lelahnya. “Beban lo sepertinya berat,” celetuk sebuah suara di sebelah Ovi berdiri. Dan sontak saja gadis itu terkejut. Untung saja dia tidak berteriak, jika iya maka dia sudah menjadi tontonan pengunjung toko buku ini. “Eh ... enggak, kok,” jawab gadis itu gugup. Leo. Pemuda yang sering mendapat penghargaan di sekolah SMA-nya dulu. Sering mengikuti olimpiade bahasa, dan juga sering menjadi asdos di kampusnya meskipun dia masih junior. Bukan hal tidak mungkin banyak kaum hawa yang suka padanya, termasuk gadis ini. Namun, gadis itu cukup tahu diri saja posisinya. Apalagi sekarang sudah ada Reon. Ia hanya menganggap Leo sebagai teman sekampusnya saja. “Kalau gue hitung-hitung, sudah lima kali lo ngeluarin hembusan napas dengan terpaksa. Dan gue yakin masalahnya pasti berat,” jelas pemuda itu dengan nada mengejeknya. “Ya ... begitulah,” jawab gadis itu seadanya, dan mulai kembali memilih novel-novel yang menurutnya bagus. “Lo suka baca novel?” tanya Leo basa-basi yang diangguki oleh gadis itu. “Kalau gitu gue punya rekomendasi novel buat lo,” kata Leo sambil mengambil salah satu buku yang ada di toko itu. Buku bersampul putih, tidak terlalu tebal dan tidak terlalu tipis pun ia serahkan kepada Ovi. Gadis itu membaca judul novel yang diberikan oleh Leo. “Unwanted Marriage?” “Iya, itu buku perdana yang gue terbitin,” jelas Leo yang mendapat pelototan dan pandangan terkejut tentunya. “Leo Pradipta?” “Itu nama gue,” jelas Leo lagi. “WHAT?! Lo suka nulis?” tanya Ovi heboh, tentunya dia mengontrol suaranya agar tidak terlalu berisik. “Iya.” “Sejak kapan?” tanya Ovi yang sepertinya sudah melupakan kekesalan kepada sosok Reon. “Dulu waktu masih SMA, gue sudah suka baca-baca, tapi lama kelamaan gue pengen nulis. Ya sudah coba-coba aja nulis dan ajuin ke penerbit dan ternyata diterima.” “Wih, keren,” kata Ovi sambil menunjukkan jempol kanannya. Jarang-jarang sekali dia bisa kenal dengan penulis. “Nggak juga. Ini gue iseng doang nulisnya dan nggak nyangka ternyata ada yang minat nerbitin. Dan alhamdulillah ada yang beli dan suka.” “Hebat tau, Le. Oke deh gue beli ini aja. Hitung-hitung buat nambah koleksi novel gue.” “Oke. Semoga lo suka ya. Entar kasih review ke gue biar tau mana-mana yang mungkin bisa jadi saran buat gue hal-hal apa yang perlu dikembangin dalam cerita gue,” pinta Leo yang disetujui oleh Ovi. Jarang-jarang, kan, Ovi bisa mengkritik penulisnya secara langsung. Ini adalah sebuah kebetulan yang bagus. “Btw, Vi, gue boleh minta nomor lo?” tanya Leo. Ovi pun mengangguk mengiyakan. Dan dengan semangat Leo memberikan ponselnya agar gadis itu mengetik nomor handphone-nya. “Itu nomor gue,” kata Ovi sambil menunjuk ponsel Leo yang berlogo apel itu. “Oke, nanti gue chat ya. Btw, gue harus segera pulang, soalnya Nyokap lagi sendirian di rumah,” kata Leo menyayangkan pertemuan mereka yang hanya sesingkat ini. “Oh gitu, oke nggak apa-apa, gue juga lagi nunggu orang di sini,” jawab Ovi memaklumi. Ya, dia memang sedang menunggu Reon menyusulnya. “Ok. See you, Vi,” pamit Leo yang diangguki oleh gadis itu. Hingga Leo sudah hilang dari pandangannya, barulah gadis ini beralih ke buku yang ia pegang saat ini. Ovi tidak habis pikir saja jika ternyata masih ada laki-laki yang suka nulis. Ya, mesipun dia tahu penulis juga ada yang bergender laki-laki. Tapi, untuk seukuran Leo yang masih muda, yang masih suka nongkrong dan bermain bersama teman, sepertinya jarang sekali dia temukan. “Ekhem.” “Astaghfirullah.” Ovi mengusap dadanya yang terkejut dengan suara deheman yang berasal dari sebelahnya, yang tidak lain dan tidak bukan adalah Reon. “Ish, ngagetin aja,” cebik gadis itu sambil berjalan menuju ke kasir. “Sudah dapat bukunya?” tanya Reon. “Nih,” jawab Ovi sambil menunjukkan buku karya Leo tadi. “Unwanted Marriage?” “Iya.” “Kamu mau nikah?” tanya pemuda itu dengan gamblang. “Nggak!” “Terus kenapa beli buku seperti itu? Ada sangkut pautnya dengan kuliah juga?” tanya Reon. “Eh? Emmm, nggak ada, sih. Ini cuma novel buat koleksi bacaanku aja, Re.” “Totalnya Rp 65.000, Mbak,” kata penjaga kasir. Dengan cepat Ovi memberikan uang seratus ribuan. “Terima kasih sudah belanja di toko kami,” kata si penjaga kasir setelah menyerahkan kembalian beserta buku yang tadi Ovi beli. Keduanya segera keluar dari toko buku. Dan di sinilah sifat Reon kembali muncul. “Aku, kan sudah pernah bilang, belilah hal yang bermanfaat. Kamu bisa beli buku-buku yang bisa menunjang di mata kuliah kamu,” cecar Reon yang membuat Ovi memutar bola matanya jengah. “Reon, aku cuma beli satu novel dalam sebulan. Aku nggak beli setiap hari, kok. Lagian ini novel karya teman aku, dan aku mau baca tulisan dia,” jelas Ovi mencoba bersabar meladeni Reon. “Terserah,” balas pemuda ini sambil berlalu meninggalkan Ovi yang terbengong kesal menghadapi sikap Reon. “Dasar cowok ngambekan!” gerutu Ovi yang sama sekali tidak didengar oleh Reon.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN