Bagian 4

1485 Kata
Reon saat ini sedang mengantar Ovi pulang. Setelah gadis itu ketiduran hingga sore, Reon segera mengantarnya pulang. Itu pun karena dia terus saja di telepon oleh orang tua gadis ini. Dan selama perjalanan pulang, Ovi tidak berkata apapun. Bahkan dia menyayangkan sekali bahwa dirinya malah ketiduran dan berakhir dengan berpelukan bersama Reon. Mengingat hal itu, kedua pipi gadis itu memerah. Bahkan dia bisa melihat dengan jelas bagaimana kesempurnaan ciptaan Tuhan. Aish, Ovi seharusnya marah bukannya malah menikmati pemandangan. Dan sekali lagi dia merutuki kebodohannya. "Vi, sudah sampai." Perkataan Reon memecah keterdiaman keduanya dan segera mengembalikan Ovi ke dunia nyata. "Eh - em, iya. Aku pulang." Gadis itu hendak membuka pintu untuk turun, namun Reon mencegahnya. "Vi, percaya sama aku. Semua yang dikatakan Bella itu nggak benar. Aku nggak bakal lakuin hal di luar batasku. Kamu tau, kan?" Sebenarnya gadis itu masih ragu dengan ucapan Bella, secara Reon selalu berada di sekelilingnya. Mungkin Bella hanya iseng ingin membuat hubungannya dengan Reon berakhir dan terlihat jelas jika Bella sangat menyukai Reon yang notabenya adalah kekasihnya. Dasar gadis licik. "Maaf, Re. Maaf karena nggak percaya sama kamu." Mata Ovi kembali memanas memikirkan kebodohannya yang selalu terbawa emosi. Seharusnya dia lebih mempercayai Reon dibanding Bella. Dan Ovi yakin jika Reon tidak akan berbuat sebrengsek itu. Reon tersenyum hangat, membelai kepala Ovi dengan lembut serta memberi kecupan di sana. "Iya aku maafkan. Lain kali jangan langsung percaya dengan ucapan orang. Kamu harus dengar semuanya dari aku. Paham?" Dan dibalas anggukan oleh Ovi. "Ya sudah sana masuk. Mandi. Makan. Dan jangan lupa kerjain tugas." "Oke, Kapten," jawab Ovi semangat dan dibalas kekehan oleh Reon. Mobil Reon pun segera melesat meninggalkan pekarangan rumah Ovi. Ovi berjalan gontai ke dalam rumahnya dan mendapati sang bunda yang tengah asyik menonton infotainment. Ovi mendengkus kesal karena kebiasaan sang mama tidak pernah berubah. "ASSALAMUALAIKUM, BUNDA." Dari dulu suara toa Ovi tidak pernah berubah. "Astaghfirullah, Ovi. Kebiasaan nih anak. Anak gadis gak boleh teriak-teriak gitu, gak boleh." "Ihh, gak apa-apa kali, Bun. Biar pada dengar semua orang rumah," jawab gadis itu sambil mengambil tempat duduk di sebelah mamanya yang tengah asyik menonton tv. "Iya, iya, deh. Kamu habis dari mana seharian sama Reon? Jalan, ya?" Ovi hanya mengangguk membenarkan pertanyaan mamanya, meskipun sebenarnya ada sedikit insiden tadinya. "Btw, Papa ke mana, Bun? Tumben nggak ada di rumah." "Papa? Em - Papa lagi ke kantor, kayaknya lembur." "Oh. Kasihan Papa, tiap hari pulang malam terus," lirih Ovi sedih menyaksikan seberapa kerasnya sang papa dalam mencari nafkah. Rika memeluk anak semata wayangnya itu dengan sayang. Ovi adalah satu-satunya permata yang wanita paruh baya itu punya. *** Bella yang tengah tertidur karena efek obat tidur yang dicampurkan ke minumannya pun terlelap dengan nyaman. Gadis itu belum tahu bahaya apa yang tengah mengintai dirinya. Hal yang mungkin saja akibat dari tindakan cerobohnya yang kesekian kali. Berbeda dengan Bella, Ovi malah terlihat sibuk mengerjakan tugas-tugas kuliahnya. Gadis itu sepertinya belajar mati-matian agar selalu mendapat nilai bagus. Ya, meskipun seberapa giatnya di belajar, itu tidak akan mampu mengubah keadaan. Ingatkan bahwa kapasitas Ovi dan Cia sama. Mereka memang ditakdirkan memiliki kesamaan satu sama lain. Entah itu sifat, sikap, bahkan kepintaran. "Ini kenapa tugas banyak banget, sih?! Ngeselin banget tuh dosen! Dia pikir otak gue mampu apa nampung soal segini banyaknya? Sial! Kalau bukan karena Reon, gue mah ogah ngerjain tugas. Ngapain juga tugas dikerjain? Dia, kan, nggak salah apa-apa," oceh gadis itu yang masih berkutat dengan tugas-tugasnya. Reon hanya tertawa mendengarkan kekasihnya yang tengah mengomel di dalam kamar. Ya, pemuda itu tahu segala apa yang dibicaran oleh gadisnya. Tanpa sepengetahuan Ovi, pemuda itu telah memasukkan sebuah cip pengintai suara di kamar Ovi. Ini dia lakukan hanya untuk berjaga-jaga agar tidak terjadi hal yang tidak ia inginkan. Reon: Belajar. Jangan ngomel! Suara dering handphone mengubah atensi Ovi menjadi ke ponsel pintarnya. Pesan singkat dari sang kekasih membuatnya membola kaget. Bagaimana bisa pemuda itu tahu yang dia lakukan sekarang? Atau jangan-jangan Reon memasukkan kamera di dalam kamar gadis itu? Sontak saja Ovi langsung mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru kamar. Namun, dia tidak menemukan apa pun. Kalaupun jika benar Reon memasukkan kamera, berarti pemuda itu sering melihatnya berganti baju? Ah tidakk. Reon: Belajar. Jangan ngomel! Ovi: Kok kamu tau? Re, jujur sama aku, kamu nggak masukin cctv, kan di kamarku? Reon: Kalau iya kenapa? "Ha? Ini si Reon gila kali, ya? Masa dia sampai segitunya sih? Gilaaaa. Bundaaa huwaaaa." Seketika gadis itu histeris. Tiba-tiba ponselnya berbunyi, dan di sana terdapat panggilan video dari Reon. Tumben sekali pemuda itu mau melakukan video call. Tanpa mau menunggu lama, Ovi segera mengangkat panggilan itu dan langsung saja terpampang wajah Reon yang selalu tampan. "Hai, Re," sapa Ovi senang sekaligus gembira. "Hmmm,"  jawab Reon seperti biasa yang selalu irit ngomong. Namun, Ovi tetap bahagia meskipun Reon selalu bersikap dingin kepadanya. "Kamu lagi apa? Sudah makan belum? Eh udah mandi belum? Pasti udah, kan? Tapi kalau pun kamu belum mandi, tetap ganteng kok. Pacar aku kan selalu ganteng," ucap Ovi dengan pedenya. "Udah."  Satu kata dari seberang sana. "Ada apa, Re, telfon?" tanya Ovi langsung. "Aku dengar kamu bilang aku gila?" "Ha? Engg-nggak kok," jawab Ovi gugup. Tuh kan aneh, Reon bisa tahu segalanya. "Iya aku akan selalu tau."  Tuh kan, laki-laki itu serasa bisa baca pikiran. "Aku nggak bisa baca pikiran, semua yang aku katakan terpampang jelas di wajah kamu." "Mwo?" Ovi terkejut menyaksikan Reon menjawab pertanyaannya lebih dari dua kata. Ajaib. "Kenapa?"  tanya Reon dengan kening berkerut. "Kamu seperti cenayang yang bisa baca pikiran aku," jawab gadis itu dengan polos. Reon hanya berdecak jengah. Selalu saja gadisnya terlalu polos dan lugu. "Tugas sampai mana?" "Belum dapat setengah," jawab Ovi dengan bibir mengerucut sebal karena memikirkan betapa banyaknya tugas kuliahnya ini. "Kerjain."  Satu kata, tapi gadis itu sudah tahu jika fia memang harus kerjain itu tugas. Namun, kapasitas otaknya saat ini tidak memumpuni. Dia butuh istirahat, dan otaknya harus refreshing dulu. "Capek, Re," ungkap Ovi dengan wajah lesunya. "Jangan males!" Ovi mendengkus kesal. Hell! Malas? Bahkan dia udah bela-belain mengerjakan tugas sialan ini. Dan Reon seenaknya mengatainya malas? Perlu dicipok bolak-balik emang tuh cowok. Astaghfirullah. Tobat Vi, tobat hmm Tut "Tuhkan. Udah seenaknya nelfon eh seenaknya juga matiin telfon duluan. Untung ganteng, kalau enggak mah udah gue maki-maki tuh orang," cerocos Ovi. "ASTAGA!" Gadis itu terbelalak kaget. Dia lupa satu fakta yang baru dia ketahui bahwa Reon pasti mendengar umpatannya itu. Mampus kau Ovi! batinnya. *** "WOI! SIAPAPUN LO, LEPASIN GUE! b******k!!" Gadis itu terus saja meronta. Berharap borgol-borgol yang mengikat tangannya akan terlepas. Bukannya terlepas, tapi tangannya yang malah semakin sakit dan meninggalkan kemerahan di sana. Bella terus saja meronta, padahal semua yang dia lakukan sia-sia. Di tengah-tengah kebingungan dan percobaannya untuk terlepas, pintu ruangan yang dia lihat seperti ruangan aneh ini terbuka. Menampilkan sosok pemuda tinggi dan berwajah datar. "Re-on?" Napas Bella terasa tercekat. "Sudah selesai bermain-mainnya, Bella," kata Reon dingin, menusuk, dan sini. Bella tau pandangan itu, pandangan berbeda dari biasanya. Pandangan yang baru pertama kali ia lihat dari sisi Reon sendiri. "Reon, maksud lo apa melakukan semua ini?" tanya Bella memberanikan diri. Tanpa memperdulikan pertanyaan Bella itu, Reon beralih ke sebuah meja yang terdapat beberapa rak. Ia membuka salah satu rak itu dan mengambil sesuatu di sana. Pisau kecil. "Reon! Apa yang mau lo lakuin?" tanya Bella panik. Reon menyeringai, kini tatapannya beralih kepada perempuan yang sering mengacaukan hubungannya dengan Ovi. Perempuan yang tidak lebih dari seorang jalang. Yang suka menggoda laki-laki dan menghancurkan hubungan orang. Laki-laki bernama Reon itu pun berjalan perlahan ke korban selanjutnya itu yang tidak lain dan tidak bukan adalah temannya sendiri. Tidak, Reon tidak pernah menganggap Bella sebagai temannya setelah dia hampir saja membuat Ovi pergi jauh dari dirinya. Kini Bella akan menjadi korban percobaannya selanjutnya. "Re-on, gu-e ma-u pu-lang," ucap Bella gagap. Dia takut, terlebih lagi Reon malah memainkan pisau kecil yang terlihat sangat tajam itu. "Pulang? Bahkan kita belum mulai permainannya," balas Reon. Bella menggeleng. Ini salah, semuanya salah, dan Reon juga salah. "Re, apa yang terjadi sama lo?" tanya gadis itu tanpa memperdulikan tangannya yang semakin memerah. "Apa ini gara-gara jalang kecil itu?" sindirnya. Tangan Reon mengepal kala mendengar penghinaan Bella tentang kekasihnya. "Jalang kecil?" sinis Reon. "Dia cewek gue. Bagi gue, lo lebih dari seorang jalang. Kotor, nggak tau malu, perebut cowok orang, dan perusak hubungan orang. Lantas, apa yang bisa lo banggain untuk hidup saat ini?" Bella menganga mendengar penghinaan dari laki-laki yang sangat dia puja itu. Bahkan laki-laki itu masih membela Ovi si jalang kecil bagi seorang Bella. Dilihat dari segi mana pun, dirinyalah yang paling baik dibanding Ovi. "Re, sadar. Dia itu licik. Dia pura-pura polos di depan lo. Asal lo tau, dia itu sering banget keluar malam. Bahkan gue pernah liat dia di club," jelas Bella yang mengada-ngada dalam setiap perkataannya. Reon tertawa mendengar penjelasan gadis licik dan bodoh ini. Bagaimana bisa dia mengarang cerita seperti itu? Bahkan Reon sendiri tahu segala gerak-gerik Ovi. Dia tahu segalanya, bahkan dari hal sekecil apapun. "Kita akhiri perbincangan kali ini. Langsung saja mulai permainannya," ungkap Reon lelah sambil memainkan pisau kecilnya di depan wajah Bella yang ketakukan. "BERHENTI!" Nahlo, siapa kira-kira yang bilang BERHENTI???? TEBAK KUY Btw, thanks buat yang udah tunggu cerita gaje ini ehe.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN