04

999 Kata
Aku Milikmu, Om! #AMO Bagian 4 "Eh, Lari. Kamu tau gak?" tanya Anna di sela-sela tawanya. "Ya nggak tau lah!" jawabku cepat. "Ish, kamu ini! Aku belum selesai bicara, Lari," ujar Anna kesal. Aku dan Lisya tertawa menanggapinya. Kini aku tidak sendirian di kamar. Ada Anna dan Lisya yang menjengukku. Mumpung gak ada mata kuliah sakit katanya. Jadi, orang yang sakit ini menyempatkan menjengukku. "Hihihi iya-iya. Tau apa, An?" tanyaku serius. "Nissa mau dijodohkan masak?" tanyanya heboh. "Iya nih, Lari. Gak bisa bayangin kalau Nissa bakal terjual habis duluan." Kini Anna pun ikut heboh. "Wah, iya kah? Dari kemarin Nissa belum ke sini sih, jadi aku belum dikasih tahu." "Iya, Lari. Gak nyangka banget ya?" tanya Anna yang terlihat tersenyum seperti membayangkan sesuatu. "Eh, ngomong-ngomong emangnya Nissa mau dijodohin?" tanyaku. "Mau lah, mana mungkin dia nolak permintaan bundanya. Lagi pula, katanya cowoknya itu ganteng, mapan, sholeh, namanya Rangga." Deg! Aku menepis pikiranku yang menerka-nerka. Nama Rangga tidak hanya dimiliki satu orang bukan? "Kamu kenapa, Lari?" tanya Lisya bingung. "Eh, gak kenapa-kenapa kok," jawabku gelagapan. Apakah sebegitu kentara kah perubahan raut wajahku? "Lari, kita pamit dulu ya? Keburu kesorean nih," pamit Anna padaku. Aku mengganguk dengan mengembangkan senyuman. "Iya. Makasih, ya udah mau jenguk aku." Anna dan Lisya mengacungkan jempolnya dan senyumku. "Sama-sama, cepet sembuh, ya. Assalamualaikum." "Waalaikumussalam. Hati-hati." Belum lama punggung Anna dan Lisya menghilang, tiba-tiba seseorang datang. Ternyata Om Gantengku, eh. "Hai, Om Raka," sapaku riang. "Halo, bocil," jawabnya sekenanya. Aku cemberut. Kenapa ia memanggilku bocil? Apa itu panggilan baruku untuk membalasku? "Kenapa cemberut, heh?" tanyanya terlihat menahan tawa. "Kok Om panggil aku bocil sih?" Aku bertanya balik dengan kesal. "Hei, kau memang bocil. Bocah cilik. Hahaha." Tawanya meledak. Apakah ada yang lucu? Aku melipat kedua tangan di d**a dan mencampakkan muka. "Lagi pula kau juga seenaknya memanggilku Om. Apa kamu pikir aku Om-mu?" "Iya, kamu Om Gantengku." Bicara apa aku ini? Memalukan. Ah, biar saja. I kan memang suka menggodanya. "Dasar, ngaku-ngaku!" "Biarin!" Aku menjulurkan lidahku mengejeknya. "Dua orang yang barusan keluar dari kamarmu tadi temanmu, ya?" tanya Om Raka santai. "Iya, Om. Cantik-cantik ya?" tanyaku sambil menaikkan kedua alisku. "Iya. Tapi lebih cantik kamu." "Eh?" tanyaku bingung. Tadi Om Raka bilang apa? Dia sedang memujiku? "Biasa aja kali! Kamu cantik kalau jadi gadis penurut. Sayangnya kamu keras kepala." Tuh kan nyebelin. Baru saja ia seperti membawaku terbang. Eh, tiba-tiba begitu saja. Mendadak aku merasa malu dan kesal. "Ya udah sih!" kataku sewot. Om Raka begitu menyebalkan, meski kadar ketampanannya sama sekali tidak berkurang. Hening. Tiba-tiba aku teringat sesuatu. "Om, emang bener Nissa mau dijodohin?" tanyaku serius. "Katanya iya. Sama anak dari temennya Tante Rani." Tante Rani adalah bunda dari Nissa. Dan aku hanya ber-oh-ria menanggapinya. "Emangnya Nissa udah ke sini?" "Belum sih, tadi temen-temenku yang bilang." "Dasar cewek, ya." "Kenapa sama cewek?" tanyaku menyelidik. "Suka ghibah," jawab Om Raka dengan memaksa kata ghibah. "Siapa bilang ghibah? Mereka cuma cerita aja kali!" sergahku tak terima. "Kok sewot sih?" " "Tau ah, Run. Bingung juga, kamu selalu bilang kalau Om ngeselin," katanya pasrah. Aku susah payah menahan tawa, tapi akhirnya tak terbendung juga. Tawaku meledak. Om menyebut dirinya Om? Apa aku tak salah dengar? Ia mulai menerima panggilan sayangku itu? "Why you even laugh?" tanyanya. Kulihat alisnya bertautan. Terlihat bingung. "Apa Om mulai mengakui kalau Om sudah tua? Om sudah mau menerima panggilan sayangku itu?" tanyaku kembali menggodanya. Wajah Om Raka terlihat memerah, membuatku semakin semangat ingin menggodanya lagi. "Sebenernya yang ngeselin itu kamu, Run. Kamu selalu saja menggodaku dengan kalimat-kalimat ejekanmu. Apa kau belum puas?" tanyanya terlihat benar-benar kesal. "Belum, Om! Om tahu gak? Ka-" "Gak tau!" potongnya cepat. Aku jadi teringat saat aku tadi memotong perkataan Anna. Mungkin ini karma. Ha ha ha. "Aku belum selesai ngomong, Om !!!" "Ya udah, aku dengerin." "Aku tuh seneng banget godain Om, buat Om kesel. Ada rasa bahagia antara tau gak." Ha ha ha. Aku sangat puas setelah mengatakannya. Aku sampai memegang perutku karena terlalu banyak tertawa. Mungkin wajahku sudah memerah sekarang. "Diam, berisik!" Om Raka memekik sembari menatap ponselnya serius. Aku pun hanya diam. "Lari, Nissa malam ini mau lamaran." Om Raka tiba-tiba muncul sembari memasukkan ponselnya ke dalam saku kemeja kotak-kotaknya. "Eh, serius, Om?" tanyaku tak percaya. Tapi entahlah, rasanya ada yang mengganjal. Perasaanku tiba-tiba tidak enak. "Iya lah. Dua rius malah. Ini barusan Tante Rani mengirim pesan. Lagian, apa kamu gak dikasih tau sama Nissa?" Eh, Nissa. Dari kemarin saat ia pamit pulang karena ditelepon bundanya, ia sama sekali belum kesini. Bahkan mengirimiku pesan pun tidak. "Nggak, Om. Mungkin dia sibuk. Om Emang kemarin gak pulang ke Rumah Tante Rani?" "Nggak, kemarin aku pulang ke rumahku sendiri." Ngomong-ngomong, Om Raka adalah Om-om yang sukses. Di usianya yang sudah muda dan belum terlalu tua ini sudah memiliki rumah sendiri. Ya, Rumah Sendiri. Idaman kan? "Oh." Aku manggut-manggut mengerti. "Jadi, ini bentar lagi ini aku juga mau pulang. Gak apa-apa kan?" tanyanya terlihat tidak enak. "Gak apa-apa kali, Om. Santai aja. Lagian, besok aku juga udah boleh pulang kok." "Makanya cari suami biar gak sendirian terus!" katanya mengejek. Suami? Bahkan keluarga kekasihku tak menerimaku. Mungkin saja banyak orang di luaran sana yang juga tak mau menerimaku. Aku kembali menertawakan nasib diriku sendiri. "Ish, Om! Om sendiri juga masih sendiri. Udah punya rumah gede. Masak rumah adat ditempatin sendiri!" ejekku kasusnya. "Jangan mengejekku ya kamu, tunggu saja aku pasti akan segera mencari jodoh." "Emang ada yang mau?" tanyaku kembali mengejek. Aku merutuki pertanyaanku barusan. Bila saja pertanyaanku diperuntukkan untuk si pengangguran yang tak sholeh dan memiliki wajah pas-pasan pantas saja. Tapi ini Om Raka. Om Raka pengusaha sukses yang sangat tampan, pun sholeh. "Kau berani mengejekku lagi heh? Kau tak melihat ketampananku ini? Bahkan aku sudah sukses di usia muda ini," jawabnya membanggakan diri. Aku menyetujui peryataannya barusan. Namun, jiwa tak mau kalahku terus saja meronta. "Sombong sekali kamu, Om. Lagian Om itu udah gak muda. Masih muda aku lah," kataku tak mau kalah. "Jelas saja, Oneng!" jawabnya sambil menyentil pelan kepalaku. Aku hanya merengut saja. Sebelum ia melanjutkan perkataannya, aku memilih membaringkan tubuh dan memejamkan mata. Entah, tiba-tiba kepalaku pusing.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN