05

961 Kata
Aku Milikmu, Om! Oleh: Dee #AMO Bagian 5 Sudah dua hari aku berada di rumah setelah diizinkan pulang oleh dokter. Beruntung Om Raka, Anna, dan Lisya mau menjemputku pulang. Dan Nissa? Entahlah, bahkan aku sama sekali belum mendengar kabarnya sampai saat ini. Nomornya tidak aktif sejak saat itu. Membuatku sedikit tidak tenang. Sedikit tertatih, aku menuju dapur untuk mengambil air putih. Atas bantuan Om Raka yang memberiku tongkat, aku tak begitu kesulitan berjalan. Apalagi aku di rumah sendirian. Aku mendaratkan pantatku di atas kursi yang berada di dapur. Menghela napas. Pikiranku ke mana-mana, membuatku sama sekali tak tenang. Tok tok tok! Suara ketukan pintu membuyarkan lamunanku. Aku meletakkan gelas yang semula kupegang, lalu berjalan tertatih menuju pintu. Om Raka. Mataku menangkap sosoknya saat membuka pintu rumahku. Ia tidak sendirian. Ia bersama Vino - keponakannya. Mataku berbinar senang. Aku segera meraih Vino dari gendongan Om Raka. "Hei, kamu masih sakit. Kamu tidak boleh menggendong Vino dulu," cegah Om Raka tiba-tiba saat aku baru saja merentangkan tangan. "Om Raka, aku pengen digendong Kak Aruna," rengek Vino. "Hei, Nak. Tadi Om ngajak kamu ke sini karena apa?" tanya Om Raka dengan mencubit gemas pipi Vino yang masih berada di gendongannya. "Mau jenguk Kak Aruna," jawabnya polos. "Nah, itu inget. Vino ke sini bukan buat digendong sama Kak Aruna. Kan Kak Aruna masih sakit." Om Raka menjelaskan begitu lembut. Sangat beda sekali jika berbicara denganku, selalu saja dengan nada kesal. Atau memang karena aku mengesalkan, ya?" "Gak apa-apa, Om. Bisa kok sambil gendong Vino." "Gak apa-apa gimana, heh? Kamu saja jalannya perlu tongkat." Benar. Aku saja berjalan memerlukan tongkat, itu pun masih tertatih. "Baiklah. Vino, bagaimana kalau kita masuk ke dalam. Kakak masih punya s**u cokelat kesukaanmu lho." "Mau, Kak." Vino turun dari gendongan Om Raka dan berjalan di sampingku masuk ke dalam rumah, diikuti Om Raka berada di belakang kami. "Duduk, Om," ujarku mempersilahkan Om Raka duduk. "Vino duduk dulu di sini, ya, sama Om Raka," kataku hendak menuju dapur. Bukannya menurut, anak kecil berumur lima tahun itu malah menghampiriku. "Nggak, ah. Vino mau ikut kakak aja." "Ya udah, ayo. Om Raka tunggu sini, ya," kataku sembari melirik Om Raka. "Ya, Run. Apa kamu mau aku tinggalkan Vino di sini?" tanyanya mengejek. Aku membalasnya dengan cengiran, sebelum berlalu menuju dapur. Aku membuatkan segelas s**u cokelat untuk Vino. Lalu dua gelas teh untukku dan Om Raka. Aku memang tidak membuatkan kopi Om Raka. Karena aku tak suka kopi, jadi tak ada sama sekali stok kopi di rumahku. "Ayo, Kak!" ajak Vino bersemangat dengan segelas s**u cokelat di tangannya. Ia berjalan sangat pelan, takut susunya jatuh mungkin. Aku pun berjalan pelan dengan segelas teh di tangan kananku, sedangkan tangan kiriku memegang tongkat yang membantuku berjalan. Om Raka segera menghampiriku dan mengambil alih teh itu. "Kenapa begitu memaksa sih, bocil? Kamu tak perlu bersusah payah seperti ini." Aku mencebikkan bibir. Enak saja ia memanggilku bocil lagi. "Apa sih, Om! Biasa aja kali. Runa masih bisa kok kalau cuma buat minuman," kataku membela diri. "Iya buatnya sih bisa, pas bawa ke sininya lho." "Om Raka perhatian sama aku?" tanyaku menggodanya. "Eh apaan sih. Kan gak lucu kalau tiba-tiba kamu jatuh lagi. Nanti masuk rumah sakit lagi. Emang mau?" Aku menggeleng cepat. Tentu tidak mau. Masuk rumah sakit hanya membuat tabunganku habis. Ini saja tabunganku tak cukup untuk sebulan. Makanya aku ingin segera sembuh dan kembali bekerja. "Ya udah deh. Om ambil sekalian teh di dapur, ya? Ini buat aku, yang di dapur buat Om." Aku menyengir. Om Raka berdiri, ia melewatiku. Tapi sebelumnya, ia menyentil pelan kepalaku membuatku memekik. Setelahnya, ia berlari. "Dasar Om gila!" teriakku kesal. Aku yang menyadari keberadaan Vino segera membungkam mulutku sendiri. Merutuku mulutku yang mengeluarkan kata tak pantas untuk didengar anak seumuran Vino. "Vino duduk, ya. Sini di samping kakak. Tapi maaf, di sini gak ada televisi." Aku memang tidak memiliki televisi. Lagi pula, aku berada di rumah saat malam saja. Itu pun aku habiskan untuk mengerjakan tugas dan istirahat. "Gak apa-apa, Kak. Vino cuma pengen main sama kakak. Di rumah Vino kesepian." Vino menjelaskan dengan raut muka sedih. Dan ia semakin merapatkan tubuhnya ke arahku. "Kesepian? Memangnya pada ke mana?" "Pada nyiapin persiapan pernikahan Nissa, Run," celetuk Om Raka tiba-tiba sedikit mengagetkanku. "Pernikahan?" tanyaku heran. "Kamu belum tahu?" Kini Om Raka bertanya dengan mengerutkan kedua alisnya. Tentu aku belum tahu. Bahkan sampai sekarang ia sama sekali tak berkomunikasi dengan Nissa. "Dua minggu lagi Nissa nikah. Dan kamu tahu gak? Ternyata dia dijodohin sama Rangga, cowok yang waktu itu jenguk kamu." Deg! Jadi, dugaanku selama ini benar? Nissa dan Rangga. Ah, dadaku tiba-tiba sesak. Napasku tercekat. Bentengku seakan-akan hendak hancur. "Gak salah pilih sih Tante Rani. Rangga itu pemuda sukses, kayaknya juga orangnya baik." Aku sama sekali tak menghiraukan perkataan Om Raka. Tiba-tiba pikiranku kacau. Aku... Ah, entahlah. "Kamu kenapa, Run?" tanya Om Raka tiba-tiba. Aku menggelengkan kepala pelan. Menyadarkan diriku sendiri sekaligus menjawab pertanyaan Om Raka. Vino yang semula fokus pada segelas s**u cokelatnya pun kini menatapku. "Ah tidak apa-apa kok, Om," kataku berkilah dengan membuang muka ke arah anak kecil di sampingku. Aku tak mau Om Raka menyadari bendungan air mataku. "Kamu sakit?" tanyanya lagi. "Cuma sedikit pusing kok, Om," jawabku sekenanya. "Ya udah kamu istirahat gih. Vino pulang yuk sama Om. Biar Kak Runa istirahat," ajak Om Raka kepada Vino. Tapi Vino malah menggenggam erat tanganku dan menggeleng pasti. "Gak mau, Om. Vino mau sama Kak Runa aja." "Hayo, gak boleh gitu. Kak Runa biar sembuh dulu. Nanti kalau Kak Runa udah sembuh bisa main ke rumah. Ya kan, Run?" Aku menggangguk sebagai jawaban. Lantas apa lagi? Aku sedang tak ingin banyak bicara, sungguh. "Om beliin mainan baru deh," bujuk Om Raka lagi. Tanpa merekomendasikan ikut menimpali, aku hanya memperhatikan Om Raka yang tak gentar membujuk Vino untuk pulang. Akhirnya Om Raka pun berhasil. Vino mau diajak pulang. Hingga kini tinggal aku sendiri. Tempat duduk di ruang tamu dengan pipi yang sudah basah. Bendungan yang sejak tadi mati-matian kutahan untuk keluar pun, kini sudah mengalir dengan derasnya. Beberapa kali aku memukul pelan dadaku yang terasa sesak. Seperti mimpi. Ya, mungkin ini hanya mimpi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN