“Detektif sialan itu menanyakan banyak hal.”
Lorna terlihat kesal dan mengeram penuh amarah.
“Wanita itu tidak akan ditemukan, yakin lah,” seloroh Tom yang membuat Lorna menoleh dengan tatapan tajam dan dengusan setelahnya. Keduanya duduk berseberangan di ruang makan di kediaman keluarga Reynolds.
“Bagaimana dengan nenek tua itu?” tanya Lorna lantang.
Tom menyeringai licik.
“Bukan sesuatu yang berarti. Aku sudah memastikan jika Sandra Reynolds bukan ancaman bagi kita, Lorna sayang. Kita cukup menaruhnya di panti jompo dan membiarkan mereka menanganinya hingga ajal menjemputnya,” jawab Tom yang disertai dengan seringai licik di wajahnya. Keduanya bertatapan dari tempat masing-masing selama jeda berlangsung.
“Kau berpikir jika semua bisa menjadi milik kita?”
Tom telah memajukan tubuhnya ke depan, condong mendekat pada Lorna tanpa melepaskan tatapan matanya lalu menyeringai penuh misteri. “Semuanya telah selesai, kita bisa menikmati semuanya dengan tenang.” Tom menandaskan dengan keyakinan.
Terdengar Lorna yang menghela napas dengan begitu keras hingga membuat Tom bertanya-tanya kembali. “Apa yang akan kau lakukan setelah ini?”
“Aku sedang memikirkan perwalian anak ingusan generasi terakhir Reynolds.”
Wajah Loli melintasi pikiran Lorna seketika. Putri tunggal pasangan Reynolds.
“Kau tidak akan mengurusnya bukan?” tanya Tom sambil menegakkan kembali tubuhnya, bersandar pada sandaran kursi yang ia duduki. Lorna masih terdiam dengan segala pemikirannya. Otaknya berputar-putar menyusun sebuah rencana sambil mengetuk-ngetukkan ujung jarinya pada permukaan meja hingga menimbulkan bunyi yang terdengar teratur. Berpikir keras untuk rencana yang ditujukan bagi Loli putri satu-satunya dari pernikahan Mia dan Ben Reynolds.
“Kau jangan lupakan jika semua warisan Mia akan jatuh pada anak itu.” Tom mengatakannya dengan tegas.
Lorna menyeringai licik. “Aku tidak akan lupa akan hal itu, Elliot,” timpal Lorna sambil tersenyum miring.
***
Di balik kabut kengerian yang kian lama kian pekat, Mia pasti sudah mengulang-ulang kejadian itu ribuan kali dalam kepalanya. Berkali-kali mendengar ketukan di pintu saat dirinya terjaga di ranjang, meringkuk di balik selimut berbau, menantikan kemunculan Lorna untuk membawanya pulang.
Mia tak ingat hari ke berapa ia terkurung. Ya, Mia bisa mengatakan dirinya terkurung. Tapi pada kenyataannya ia datang ke tempat itu dalam keadaan waras, dan sadar serta di temani oleh salah satu rekannya, wanita yang bekerja bersamanya. Hanya sebuah pertanyaan yang dirasakan kejanggalan bagi Mia.
“Ke mana Josie? Mengapa bukan dia?”
Dan Mia juga ingat telah meninggalkan putrinya, Laura Natasha Reynolds di rumah bersama ibu mertuanya Sandra Reynolds. Loli adalah putri semata wayang Mia dari pernikahan dengan Ben Reynolds.
“Mrs. Reynolds, Anda harus di rawat, karena halusinasi yang Anda alami semakin parah. Kami khawatir jika---”
“Tidak,” selak Mia dengan geram dan meluncur cepat dari bibirnya. Mia bangun dari kursi yang ia duduki dan menatap dokter cantik berwajah tirus dengan rambut berkuncir kuda di hadapannya.
“Mia, semua ini demi---”
“Tidak!!!” sergah Mia dengan suara tegas. Pelipisnya berdenyut-denyut seolah marah yang sudah ia tahan-tahan. Lorna ikut beranjak dari kursinya, wajahnya panik mendapati reaksi yang ditunjukan Mia. Mata Mia yang menatap dirinya dengan nanar dan juga napasnya yang memburu.
“Aku ingin pulang sekarang, Lorna,” Mia berkata sambil beranjak pergi meninggalkan ruangan dengan langkah lebar dan meninggalkan hentakan keras pada pintu yang tertutup di belakang langkahnya yang anggun.
Saat itulah kejadiannya, sebuah tangan menjambak rambut gelap Mia dari belakang, satu tangan lagi memutir lengannya ke punggung, badannya dipiting dalam kegelapan. Rasa mencekam membelit Mia sementara napasnya tersengal-sengal, terasa sesak lalu dengan sembarang ia mencakar-cakar kulit seseorang, menggunakan tangannya yang bebas untuk menggapai tangan yang ia rasakan besar dan kuat.
Mia terperangkap. Entah di mana persisnya atau bagaimana prosesnya, tapi gambaran kasarnya Mia tahu, ia sadar.
Mata indah Mia terbelalak, dengan napas tersekat dan kening berpeluh dengan butir-butir keringat. Matanya mendapati langit-langit ruangan yang terasa bergerak dan berputar tepat di atas kepalanya. Mia memejamkan mata sekali lagi, menghilangkan citra bayangan kelam di pelupuk matanya, menghela napas dengan begitu dalam. Mencoba untuk bernapas secara normal. Tengkuk lehernya terasa bagai ditusuk.
“Anda sudah sadar?” Suara seorang wanita yang terdengar samar, lalu ia menjulang di atas Mia tepat di sisi kanannya.
“Aku---”
“Dokter… Dokter!!! Dr. Ryan!!!” pekik wanita di samping Mia tadi sambil berlari keluar. Bayangan gelap itu hadir lagi di kepala Mia. Ia tenggelam, tenggelam dalam alam bawah sadarnya.
Tik tok tik tok
Perkembangan Mia cukup cepat, di luar dugaan Nick sebelumnya. Meski lukanya masih cukup nyata, dan Mia belum sepenuhnya normal. Ia masih harus menyembuhkan semua luka bakar di permukaan kulitnya. Luka yang telah mengering dan memar yang telah berubah menjadi ungu gelap. Mia masih tampak pucat, tapi ia sadar dan Nick dapat merasakan tatapan mata Mia yang selama ini ia rindukan. Wajah Mia masih tertutup kasa yang memutar di kepalanya.
“Tekanan darahmu sudah normal. Aku senang akhirnya kau siuman,” ucap Nick dengan perasaan senang dan antusias yang tulus. Nick merasa ingin langsung memeluk Mia dengan begitu erat. Tapi hal yang mustahil dirinya lakukan. Sedangkan bagi Mia, dirinya bagai terjerembab dalam dunia yang seakan membelesakkan dirinya ke dalam lorong yang gelap. Mia mencoba mengingat, ia terdiam cukup lama. Bahkan suara Nick sedang berbicara sambil memegang tangannya, memeriksa lututnya terasa samar di telinga Mia. Bagai angin lalu yang bertiup. Mia sibuk dengan dunia di kepalanya yang terasa kosong.
Nick duduk kembali menarik kursi beroda yang ada tak jauh darinya.
“Berapa lama aku tidak sadarkan diri?” tanya Mia sambil menoleh ke arah Nick. Sosok pria tampan yang tinggi menjulang di hadapan Mia. Saat Mia duduk di tepian ranjang. Suara yang pada akhirnya mampu keluar dari rongga tenggorokan Mia. Terdengar parau.
“Tiga bulan, kau koma selama tiga bulan.” Kalimat yang diulang oleh Nick. Mia terduduk tegak. Masih terasa nyeri-nyeri di permukaan kulit Mia. Sisi kanan tubuh Mia yang terbakar sebagian. Ada luka yang mulai kering dan menghitam. Melayangkan pandangan menatap jendela berkorden bunga-bunga yang melambai tertiup angin. Pupil mata Mia yang melebar, aneka potongan bayangan berkelebat di mata indahnya.
Nick suka mengamati Mia yang terdiam, tapi tidak dengan manik matanya yang menatap dengan tatapan kosong. Mata indah Mia yang pernah diingat Nick.
“Apa yang kau ingat?” tanya Nick spontan yang membuat Mia menoleh dengan sigap. Manik mata kosong dan terlihat keruh yang membuat Nick sedih. “Kau ingat siapa namamu?” tanya Nick seakan menguji Mia. Tak ada jawaban hingga keheningan menyelinap masuk di antara keduanya.
“Aku---” Nick meraih lebih dekat kursi yang dirinya tarik sebelumnya untuk kemudian diduduki, tepat di hadapan sosok Mia yang masih termangu. Nick menatap Mia lurus, menanti jawaban dengan sabar sementara otak Mia berputar-putar bagai pusaran gelombang. Bayang-bayang yang coba Mia singkirkan, namun tak juga bisa menyingkir. Tengkuk kepala Mia terasa nyeri lagi. Bagai hujaman benda tumpul. “Aku…aku---”
Kalimat Mia menggantung, kekosongan hadir beberapa detik sebelum Nick berbicara, “Jangan kau paksakan. Kau mengalami trauma karena kejadian yang menyeramkan, mungkin yang dapat mengancam jiwamu, dan tubuhmu bereaksi sehingga mengganggu memori dalam otakmu.” Nick mengatakannya seakan ia menempatkan Mia sebagai pasiennya. Seorang pasien yang membutuhkan penjelasan. Mia menatap Nick lurus, tercengang hingga ia lupa untuk bernapas karena terlampau fokus dan juga terkejut. Nick mulai menyadari jika Mia tidak mengenalinya.
“Mengancam jiwa?” desis Mia pelan. Suaranya menyerupai bisikan. Kelebat-kelebat putih dan hitam bahkan abu-abu berseliweran di kepalanya. Potongan-potongan bak film yang diputar ulang. “Aku---” Tatapan Mia penuh kesedihan saat menatap Nick.
Nick tersenyum sedih. “Kasa di wajahmu, baru akan dibuka lusa,” Nick menambahkan dengan lembut sambil menatap Mia intens. Segenap perasaan Nick seakan ingin memeluk Mia dengan begitu erat sambil berbisik jika dirinya sangat merindukan Mia. Menghilangkan kesedihan yang tampak jelas. Menggantinya dengan suka cita.
“Apa yang kau ingat terakhir kali?” Pertanyaan yang harus Nick tanyakan, membuat Mia menoleh ke arahnya.
Jemari Mia terulur ke wajah. Ada rasa kasar yang Mia rasakan di permukaan kulit jarinya, tekstur kain kasa. Mia merasakan kepalanya yang seakan kosong, hanya ada rasa nyeri.
“Aku…aku…” Lagi-lagi Mia tak tahu apa yang hendak dikatakannya. Ia tidak menemukan perbendaharaan kata. Tidak ada kalimat lain yang keluar dari bibir Mia. Ujung matanya mulai basah.
“Lebih baik---”
“Aku tidak ingat apa-apa,” sela Mia menatap ke dalam mata Nick dengan tatapan sedih sementara Nick sudah bisa menduganya, dan ia tetap terkejut. Jantung Nick terasa berhenti saat menyaksikan Mia yang mulai menangis saat itu. Nick menelan ludah, wajahnya sendu menatap Mia. “Tenanglah.” Nick langsung merengkuh tubuh Mia.
Mia mencoba untuk menghela napas, “Aku tidak ingat siapa diriku.” Suara Mia semakin parau dan terdengar napas yang tersekat.
Satu jam kemudian....
Nick berada di dapur saat seorang wanita muncul dari arah pintu dapur di belakang punggungnya. “Anda membutuhkan sesuatu?” tanya wanita itu sebelum melangkah dengan cepat ke arah meja dapur. Nick menoleh sebentar mencari asal suara sebelum tersenyum.
“Aku hanya butuh secangkir kopi, Ella. Tidak masalah.” Nick terbiasa melayani dirinya sendiri sejak dulu. Nick berbalik sambil memegang secangkir kopi di tangannya. Wanita bernama Ella yang merupakan pelayan di kediaman Nick terlihat memandangi majikannya dengan penuh tanya. Ella bekerja lebih lama dari pada Otis Lee, suami Ella. Pasangan suami istri Lee yang telah menemani dan tetap ada di saat Nick terpuruk dan mengurung dirinya di kamar sepanjang waktu usai kematian Meghan Adam.
“Sir, apakah Anda---”
“Aku membutuhkan bantuan kalian,” potong Nick yang membuat Ella mengurungkan kalimatnya. Jeda beberapa detik sebelum Nick berbicara lagi. “Aku telah mengubah wajahnya dengan wajah istriku, Ella,” ucap Nick pelan di keheningan dapur dalam rumahnya, seakan mampu membaca pikiran Ella. Nick menoleh sekilas ke arah Ella yang memandanginya dengan tatapan terkejut, sebelum kembali menatap keluar.
Ella menelan ludah, menatap Nick yang berdiri di depan jendela, pandangan yang tertuju keluar. Langit malam yang gelap bersama bintang-bintang yang berkilau dan bulan yang menggantung rendah.
“Meg,” desis Nick yang sampai ke telinga Ella. Wanita itu merasa bergidik mendengar nama istri majikannya. “Dia telah kembali,” sambung Nick.
Suara yang terdengar penuh harapan. Ada binar kebahagiaan di mata Nick, setelah setahun kepergian mendiang istrinya yang ditemukan bunuh diri di dalam bathtub dengan nadi tersayat. Tubuh Meg terendam dalam kubangan darah segar yang bercampur dengan air hangat di kamar mandi mereka dan kini Nick berada di rumah yang sama dengan tempatnya menghabiskan waktu bersama Meghan Adam.
***