Matahari kian meninggi menuju siang. Mia terbangun keesokan harinya dengan posisi miring di balik selimut tebal yang menutupi tubuhnya. Perasaan Mia yang terasa bagai ruang kosong, hampa tanpa ada apa pun, bahkan jejak masa lalu dirinya seakan tersapu bersih.
Mia memalingkan wajahnya menghadap ke arah jendela dengan kordennya yang sedikit terbuka. Mia dapat menyaksikan secercah sinar matahari yang tak lagi selembut sinar pagi yang berhasil masuk dan jatuh tepat mengenai wajahnya yang berbalut kain kasa.
Mia tersentak, matanya menyalang, tapi tak lama kemudian ia terdiam, tidak mengeluarkan suara. Sedangkan jantungnya masih berdetak tak beraturan dan keningnya berpeluh.
Mia meletakkan telapak tangannya ke atas permukaan kain yang menutupi tubuhnya. Meraba selimut, merasakan tekstur kain di bawah kulitnya. Lama Mia berdiam, sebelum dirinya mendekatkan selimut dalam genggaman lalu membawanya ke depan hidung mancungnya.
Mia menghirup kain dalam genggamannya dengan tarikan napas yang dalam. Jelas ini harum, ada yang berkelebat di otak Mia seketika. Dirinya yang meringkuk ketakutan di balik sebuah selimut lusuh abu-abu yang berbau di ruang pengap. Ya, di balik selimut antara batas sadar dan penantian Mia akan seseorang. Tapi siapa? Di mana selimut berbau pengap itu?
Mia menyibakkan selimut yang menutupi tubuh sebelum menjulurkan kedua kaki untuk menapak di atas permukaan lantai. Terasa ubin yang dingin mengenai telapak kaki Mia yang telanjang tanpa alas. Mia berjalan ke arah jendela, lalu membuka korden dengan pelan-pelan.
“Ya Tuhan,” desis Mia pelan sambil meletakkan telapak tangannya ke permukaan kaca jendela yang masih tertutup. Terasa hangat menjalari pembuluh nadi di balik kulit telapak tangan. Ada bayang wajah yang berbalut kasa dari pantulan kaca jendela. Wajah milik Mia sendiri. Napas Mia seakan berhenti sebentar dengan tatapan masih tertuju pada bayangan dalam pantulan kaca jendela di hadapannya sebelum Mia menjulurkan sebelah tangannya untuk mengusap permukaan kasa.
“Siapakah sesungguhnya diriku?”
Pertanyaan yang Mia tujukan untuk dirinya sendiri. Menatap lurus pada bayangan, membayangkan seperti apa wajahnya. “Apa yang telah terjadi denganku?”
***
Cuaca yang bersalju tak mengurangi antusiasme pertemuan bisnis yang diselenggarakan setiap tahunnya oleh para jutawan dan CEO terkemuka di dunia bisnis. Bisnis yang bergerak dinamis membawa seorang Nicholas Ryan pada pertemuan tersebut. Bukan perkara mudah bagi seorang Nick untuk hadir malam itu. Bisnis bukan lah dunia yang dirinya senangi. Nick sadar jika ia berbeda dengan sepupunya Rudolf Felix.
Nick menghandiri pertemuan bisnis tahun itu untuk menggantikan sang ibu, Claudia Ryan yang berhalangan hadir. Bisnis keluarga Ryan masih berada di tangan Claudia Ryan sebagai CEO perusahaan yang ditinggalkan mendiang suaminya, Barry Ryan.
Nick tak memiliki rencana apa pun saat sepasang kakinya melamngkah memasuki ruang pameran. Sempat terbersit ide yang tercetus dari Rudolf beberapa waktu sebelumnya. “Kau tak meiliki keinginan untuk membangun sebuah rumah sakit? Rumah sakit untuk anak-anak?” Pertanyaan yang diabaikan oleh Nick hari itu.
Nick berdiri memandangi sebuah miniatur bangunan hingga dirinya tenggelam dalam dunia di kepalanya dan semua menguap dengan cepat saat sesosok wanita tanpa sengaja menabrak dirinya dan membuat jas yang dikenakan ternoda wine.
“Maafkan aku,” ucap wanita itu dengan wajah terkejut, begitu juga dengan Nick.
Keduanya saling bertatapan dan dunia seakan berhenti berputar bagi Nick saat itu juga. Sosok wanita cantik dengan mimik cemas karena telah menumpahkan wine ke jas yang dikenakan Nick. “Aku… aku tidak sengaja, biar aku membantu membersihkannya.”
“Tidak. Tidak apa-apa,” ucap Nick sambil tersenyum. Sesungguhnya wine yang ditumpahkan wanita itu tidak banyak.
“Sungguh? Anda tidak---” Wanita itu menghentikan ucapannya, menatap Nick dengan lurus dan senyuman yang terlihat bersalah.
“O iya, namaku Nicholas Ryan.” Nick mengulurkan tangannya, menyuguhkan jabatan tangan sementara wanita itu menatap bingung.
“Mia Reynolds,” balas Mia sambil menerima uluran tangan Nick.
Keduanya berjabat tangan sambil melepaskan senyuman sebelum kemunculan Ben.
“Sayang, kau di sini?” Suara Ben yang muncul dari belakang Mia dan seketika Mia melepaskan jabatan tangannya pada Nick. Ben menatap Mia dan Nick bergantian.
“Ben, aku… aku tidak sengaja menabrak----” Mia mengigit bibir bawahnya, menoleh ke arah Ben sebelum kembali menatap Nick.
“Perkenalkan namaku, Nick,” sela Nick di hadapan Ben dan pria itu mengangguk. Ben yang tidak senang dengan sikap Nick mengabaikan perkenalan yang di tawarkan Nick. Ben seorang pencemburu dan Nick dapat menangkap sikap itu. Namun bagi Nick sosok Mia memang harus dijauhkan dari kaum pria mana pun termasuk dirinya.
Mia merasa tidak nyaman di hadapan Nick dengan sikap Ben yang tak bersahabat. “Sebaiknya kita pergi dari sini, Mia,” ucap Ben sambil meraih lengan Mia.
“Kami permisi dulu,” kata Mia dengan sopan dan Nick mengangguk, menatap kepergian Ben dan Mia, menghilang di antara kerumunan orang-orang.
Bagi Nick, kemunculan Mia telah mengingatkannya pada sosok, Meghan. Wanita yang cantik, ramping dan sedikit pemalu. Hubungan Nick dan Meghan telah berakhir satu bulan yang lalu. Bukan hal yang mudah bagi Nick melalui perpisahannya, bukan dirinya yang menginginkan hal itu, melainkan Meghan.
“Kau tak bisa bersikap seperti itu, Ben,” protes Mia usai langkahnya dengan Ben menjauh dari Nick meski sesungguhnya masih bisa Nick dengar.
Cara Ben membawa Mia menjauh membuat Nick disergap kecurigaan. Ia melangkah mengikuti Ben dan Mia di sela tamu-tamu lainnya. Mia menghentikan langkahnya, menyingkirkan tangan Ben pada lengannya. Mia mendengus kesal sambil melirik ke kanan dan ke kiri. Suasana yang ramai, pertemuan bisnis yang tak sepatutnya menjadi arena perdebatan bagi Mia dan Ben.
“Aku tak ingin berdebat denganmu, Sayang. Kita---”
“Aku yang salah pada pria itu. Aku telah menumpahkan wine di gelas pria itu,” potong Mia sambil menatap Ben sedangkan Ben menyapukan tatapan matanya ke sekeliling. Mia mencoba untuk menjelaskan kejadian antara dirinya dengan Nick. Sikap Ben yang pencemburu membuat Mia kesal.
“Ben, kau dengar aku?”
“Aku tidak suka dengan cara pria itu menatapmu dan---”
“Come on, Ben,” potong Mia kesal berbarengan dengan suara ponsel milik Ben.
Ben mengeluarkan ponsel dari dalam saku jas yang dikenakannya. Ketegangan yang masih menyelimuti keduanya sampai Mia mendapati perubahan wajah Ben saat menatap layar ponsel di tangannya. “Aku harus menjawab telepon,” ujar Ben sebelum berlalu pergi dan meninggalkan Mia dalam kekesalan yang terasa menggumpal di dalam hatinya.
Ben melangkah dengan tergesa-gesa sebelum lenyap di dalam kerumunan tamu lainnya. Mia menghela napas dengan dalam dan mengembuskannya dengan keras. “Berengsek,” maki Mia sebelum dirinya berputar di atas tumit sepatunya untuk melangkah ke sebuah meja, meletakkan gelas wine kosong ia bawa. Berpegang pada tepian meja sambil tertunduk membuat Mia seakan tak berdaya dengan kekesalan yang tiap kali timbul saat sikap Ben mengesalkan.
“Mia,” desis Nick dari balik dinding.
Nick bisa dengan jelas menyaksikan Mia yang saat ini sedang berusaha mengendalikan perasaannya. Wajah cantik Mia hanya tampak dari smaping, namun jelas ada kemarahan di sana.
“Wine untukmu.” Suara Nick membuat Mia berbalik dengan terkejut. Mata indah Mia membulat dan sosok Nick yang menyodorkan gelas kaca berisi wine berdiri tegak di hadapan Mia.
“Kau---” Suara Mia yang terdengar cemas dan ia melirik ke balik Nick, hanya ada kerumunan.
“Suamimu sedang berbicara dengan seseorang,” ujar Nick seakan mampu membaca pikiran Mia. Tampak jelas ada sikap waspada dalam gerak Mia.
Keduanya bertatapan sebelum Mia menarik kedua sudut bibirnya membentuk senyuman lalu menerima tawaran Nick untuk segelas wine. “Terima kasih,” ucap Mia dan Nick terkekeh pelan.
“Apa aku telah membuat kalian bertengkar?” Pertanyaan yang membuat Mia menoleh untuk menatap langsung pria di hadapannya. “Maafkan aku,” imbuh Nick dan Mia tersenyum masam.
Keduanya berjalan ke arah balkon, berdiri bersebelahan menatap langit kota New York yang turun salju meski tak selebat sebelumnya. “Kau datang sendirian?” tanya Mia sedetik sebelum ia menyesap wine dalam gelasnya. Menatap Nick dari tepian gelas dan pria itu menatap Mia dengan begitu mendalam.
“Ya, aku datang sendirian dan seorang wanita menabrakku.”
Mia langsung terkekeh setelahnya begitu juga dengan Nick. “Berapa juta dollar yang sudah kau habiskan di pertemuan malam ini?” tanya Mia.
Nick tak langsung menjawab sampai ia menarik napas dan mengembuskannya. “Tidak ada. Aku belum memiliki rencana bisnis apa pun, Mia,” jawab Nick diplomatis dan Mia terdiam, menatap Nick yang terlihat tampan dan Mia mengangguk pelan lalu menyesap winenya sekali lagi. “Kau datang hanya untuk menemani suamimu?”
Mia tersenyum, memutar tubuhnya untuk menatap keramaian ruang pertemuan. Pria berjas dan wanita bergaun malam. Semua berbicara tentang bisnis dan Mia selalu menepi saat berada di antara orang-orang itu. “Ya untuk saat ini.”
“Maksudmu…” Mia menoleh, tersenyum pada Nick yang terlihat bingung. “Bisnisku belum sebesar bisnis suamiku,” Mia menambahkan. Mia ingin menyingkirkan kebingungan Nick meski kenyataannya Nick kian penasaran.
“Kau memiliki bisnis?” Suara Nick terdengar antusias.
“Tidak besar,” jawab Mia cepat saat mimik wajah Nick berubah kian penasaran.
“Bisnis apa yang kau jalani?” selidik Nick.
Mia hanya menatap Nick sampai pria itu menyadari jika dirinya terseret pada rasa penasaran akan sosok Mia. Nick menelan ludahnya. “Aku---” Kalimat Nick berhenti saat Mia terkekeh.
“Aku seorang arsitek,” ucap Mia yang membuat Nick terkejut dengan kelopak mata yang sedikit melebar. “Dan kau?” Pertanyaan yang mengejutkan dari Mia membuat Nick terpojok.
“Aku…”
Sebuah ide melintasi kepala Nick. Ia kembali pada alasannya datang ke acara pertemuan malam ini. Mia menunggu jawaban yang akan keluar dari mulut Nick. “Aku seorang dokter di salah satu rumah sakit.” Kali ini Mia yang terkejut.
“Wow,” desah Mia yang membuat Nick menarik kedua sudut bibirnya membntuk sneyuman.
“Aku datang untuk… mencari seseorang yang dapat bekerjasama denganku.”
“Aku rasa kau salah menghampiriku.”
“Tidak,” sambar Nick dan alis Mia naik sebelah dengan spontan. “Bagaimana jika… kita bekerjasama?” tanya Nick setelahnya.
Suara Nick terdengar antusias. Ide yang terbersit dengan tiba-tiba.
“Apa maksudmu?” Mia bertanya dengan binung dan juga terkejut.
Nick meletakkan gelas wine di tangannya ke nampan yang dibawa seorang pelayan yang melintas di hadapan keduanya. “Aku memiliki rencana untuk----”
“Kalian di sini,” potong Ben yang muncul sebelum kalimat Nick selesai. Mia berbalik dan Ben tampak menyeringai miring. Mia sempat menoleh ke arah Nick sebelum menatap Ben.
“Ben, kami---”
“Aku menawarkan kerjasama pada kalian,” sela Nick cepat saat mengenali perubahan wajah Ben yang tidak senang dengan kedekatan antara Mia dan dirinya.
Mia terkejut dengan yang baru saja dikatakan Nick, ia menoleh kembali pada Nick. “Apa yang bisa kau tawarkan… siapa namamu?” tanya Ben di ujung kalimat yang keluar dari mulut Ben dan Mia kesal dengan sikap Ben.
“Perkenalkan, Nicholas Ryan, kau bisa…” Uluran tangan Nick yang diabaikan oleh Ben di hadapan Mia membuatnya mendengus hingga Nick menarik kembali telapak tangannya. Ia tak tersinggung dengan sikap Ben.
“Aku tidak suka basa-basi,” ucap Ben.
Mia meneguk kembali winenya hingga tandas sambil menggeram kesal. “Baiklah, aku pun begitu. Aku berencana untuk… membangun sebuah rumah sakit khusus anak-anak.”
Mia terkejut, matanya membulat menatap Nick. Pria yang Mia tahu seorang dokter tapi Mia terkejut dengan kenyataan jika Nick berencana untuk membangun sebuah rumah sakit. Bukan hanya Mia, Nick juga terkejut dengan dirinya sendiri. Ide Rudolf yang tiba-tiba muncul dalam pembicaraan dirinya dengan Mia.
“Bagaimana Mr. Reynolds?” tanya Nick sambil melirik Mia dari sudut matanya lalu menatap sepenuhnya pada sosok Ben.
“Terdengar menarik. Kita bisa membicarakannya besok di kantorku.”
“Ya, tidak masalah,” timpal Nick sambil tersenyum lalu melirik Mia lagi.
***