Benci Namun Rindu

1379 Kata
Di sisa malam menjelang pagi itu Dina sudah tidak bisa kembali tertidur. Ia terus memikirkan kecurangan yang dilakukan oleh ibu dan kakaknya terhadap dirinya. Ia tidak terima mereka semua menyembunyikan hal semacam itu darinya, terutama ibunya yang sudah lebih dulu mengetahui karena menyaksikannya sendiri dan bahkan kemudian pergi menjenguk secara diam-diam. Oscar mendengkur sedemikian kerasnya sementara ibu tertidur pulas sambil menghadap ke tembok, memunggungi Dina. “Apakah aku sebaiknya pergi menjenguknya juga?” Tanya Dina dalam hati. Ia melihat ke arah jam di dinding dan itu menunjukkan pukul empat dini hari. “Bagaimana mungkin pergi menjenguk di jam seperti ini!” “Belum lagi selang infus yang masih terpasang di tanganku ini, bisa-bisa aku disangka sebagai pasien yang mau melarikan diri.” Dina tidak menemukan cara bagaimana agar ia juga bisa menjenguk ayahnya secara diam-diam tanpa ketahuan ibu dan kakaknya. “Sepertinya aku memang harus menyerah, aku tidak bisa menjenguknya.” Dina membatin. Dina pun berbaring dan memejamkan matanya. Tanpa terasa Dina mulai terbawa ke alam mimpi. Dalam mimpinya Dina mengulang kembali kenangan pada masa kecilnya ketika masih bersekolah di Taman Kanak-Kanak. Ada ayahnya yang menggendong Dina di pundaknya dan Oscar yang tidak bisa berhenti berlari di sepanjang perjalanan menuju ke sekolah. Bagi Dina itu adalah masa-masa terindah dalam hidupnya sehingga ketika ia bermimpi tentang masa kecilnya hampir selalu moment itu yang akan muncul dalam mimpinya. Dina seketika terbangun karena merasakan sakit yang cukup mengganggu di sekitar tangannya. Ketika ia membuka matanya, ia melihat seorang perawat sedang menyuntikkan sesuatu ke kantong infusnya. Di dekat perawat itu berdiri ibu dan kakaknya. “Sakit.” Kata Dina, pelan. Perawat itu pun spontan melirik ke arah Dina. “Dina sudah bangun ya?” Tanyanya dengan ramah. “Itu apa suster, kenapa tanganku jadi sedikit sakit?” “Ini antibiotik.” Jawab perawat tersebut. “Memang akan selalu terasa sakit ketika disuntikkan, ya mau gimana lagi kan, tapi tenang saja sakitnya tidak begitu lama kok!” Dina mengangguk. Dan benar kata perawat tersebut, rasa sakit itu tidak akan bertahan lama. Rasa sakit tersebut berangsung-angsur menghilang hingga tidak terasa sama sekali lagi. “Nanti malam perawat yang lain akan datang untuk menyuntikkan obat ini lagi. Kamu akan menerima suntikan semacam ini sebanyak dua kali dalam sehari.” Dina kembali mengangguk. Begitu perawat meninggalkan ruangan, Oscar pun bergegas membasuh wajahnya di wastafel karena hendak pulang ke rumah. “Ma, Oscar pulang dulu ya.” Katanya. “Hati-hati di jalan ya, Os. Nanti malam nginap di sini lagi kan?” “Iya Ma. Tentu saja di sini, Ma.” Setelah itu Oscar pun pergi meninggalkan rumah sakit. Di kamar kini hanya tinggal Dina berdua dengan ibunya. “Na, sarapannya sudah diantarkan sejak tadi. Kamu makan sekarang ya?” Kata ibunya. “Iya Ma.” Jawab Dina. Gladys segera mengaturkan meja makan untuk Dina dan meletakkan nampan berisi makanan dari rumah sakit di meja tersebut. Dina duduk di ranjangnya sambil menghadap ke meja tersebut dan mulai sarapan. Ketika Dina sedang makan, dokter jaga kemudian memasuki ruang perawatan Dina. “Selamat pagi, Dina.” Katanya. Dokter tersebut adalah dokter yang sama dengan yang menerima Dina di hari kedatangannya di rumah sakit itu kemarin. “Bagaimana kabarnya?” Tanya dokter itu kepada Dina. “Sudah lebih baik, dok.” Jawab Dina. “Dokter periksa dulu ya!” Katanya. Gladys menarik meja makan yang tadi digunakan oleh Dina agar menjauh dari ranjang sehingga mempermudah dokter untuk bergerak lebih leluasa saat memeriksa Dina. Dokter mulai memeriksa Dina dengan menggunakan stetoskop serta menghitung denyut nadi Dina. “Besok sudah bisa pulang ya, tapi antibiotik yang biasa diberikan oleh perawat melalui suntikan nanti akan diganti dengan yang jenis kapsul dan dilanjutkan di rumah sampai hari ke tujuh.” Dokter menjelaskan. “Nanti resepnya akan diantarkan perawat kemari setelah ini ya, bu.” Katanya kepada Gladys. “Iya dokter, terima kasih ya.” Jawab Gladys. Dokter pun meninggalkan ruang perawatan Dina. Gladys kembali mengaturkan posisi meja makan untuk Dina dan Dina pun melanjutkan sarapannya yang sempat terhenti. Tak lama berselang seorang perawat datang ke ruang perawatan Dina untuk mengantarkan resep yang disebutkan oleh dokter tadi. Dina sedang mempertimbangkan rencananya untuk pergi menjenguk ayahnya. Dina ingin mengetahui keadaan ayahnya namun ia tidak ingin ibu maupun kakaknya mengetahui motif Dina yang sebenarnya adalah karena ia peduli dan rindu ingin bertemu. Selama ini Dina membalut dirinya dengan citra seorang anak yang saking terlalu tersakiti perasaannya sampai tidak bisa memaafkan ayahnya lagi. Di satu sisi Dina memang pernah sangat tersakiti, namun itu tidak serta merta membunuh rasa kepeduliannya sebagai seorang anak terhadap orang tuanya yang sedang sakit. Dina mungkin tidak bisa memaafkan perbuatan ayahnya di masa lalu namun jauh di lubuk hatinya dia masih menyimpan kenangan tentang versi terbaik dari ayah yang dikenalnya belasan tahun silan yang membuat ia peduli dengan keadaan ayahnya yang sekarang. “Bagaimana jika dia meninggal sebelum aku sempat menjenguknya?” Tanya Dina dalam hati. Pertanyaan yang tiba-tiba tebersit di benak Dina itu membawanya pada sebuah pertanyaan lain. “Ma…” Panggil Dina. “Iya.” Jawab Gladys. “Seberapa parah keadaan papa?” Dina akhirnya memberanikan diri untuk menanyakan pertanyaan itu. Gladys kemudian duduk di samping Dina. “Jadi saat diantarkan ke UGD malam itu, papa berada dalam keadaan tidak sadarkan diri. Dia pingsan di suatu tempat, seperti cerita kakakmu tadi, dia ditemukan oleh petugas patroli dan selanjutnya dibantu oleh petugas dari ambulance. Sampai ia diantarkan ke bangsal perawatan khusus pasien penyakit jantung, ia masih berada dalam kondisi lemah dengan sejumlah alat bantu yang terpasang di tubuhnya. Mama pergi menengoknya saat itu tapi mama tidak yakin apakah dia sedang tidur atau masih tidak sadarkan diri.” “Bagaimana setelah itu?” Tanya Dina. “Keadaan setelahnya adalah yang kamu lihat sendiri di tempat antrian untuk pemeriksaan laboratorium. Lemah, pucat dan sendirian tanpa ada yang menemani.” “Mama sudah beberapa kali mengunjunginya, apa yang dia katakan?” “Tidak banyak. Hanya saja, dia selalu terlihat senang ketika mama mengunjunginya. Pihak rumah sakit meminta mama untuk menghubungi kakek dan nenekmu, kemarin mama sudah menghubungi mereka lewat telepon tapi mereka tidak memberi kepastian kapan mereka akan datang.” “Mereka sudah sangat tua, bagaimana bisa mengurusi anak mereka yang sekarang sakit?” “Mama tidak tahu, Na. Setidaknya mama sudah menyampaikan pesan yang mereka minta untuk mama sampaikan ke keluarga papa.” Dina terdiam sejenak. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana keadaan ayahnya yang sedang sakit namun juga begitu kesepian. “Dina mau menjenguk papa?” Tanya Gladys. Dina terdiam. Ia bingung harus menjawab apa. “Bagaimana kalau besok saja sebelum Dina keluar dari rumah sakit?” usul Dina. “Boleh saja.” Gladys menyetujui. “Tapi nanti siang mama mau menjenguk papa, kamu tidak keberatan kan?” Tanya Gladys kemudian. “Itu kan terserah mama, masa tanya Dina sih?” Balas Dina. Gladys pun tersenyum. Siang harinya ketika Dina sudah selesai makan siang, Gladys segera menuju ke lantai tiga ke bangsal perawatan Herman. Begitu Gladys masuk ke bangsal perawatan, ia mendapati ranjang Herman sudah kosong dan meja di samping ranjang Herman sudah dibereskan. Seketika itu juga Gladys dihinggapi ketakutan. Ia berlari ke meja perawat dan menanyakan keberadaan Herman. Perawat menjelaskan kalau keadaan Herman tiba-tiba memburuk dan dia terpaksa dilarikan ke rumah sakit umum daerah yang lebih besar dan peralatan yang lebih lengkap. Gladys berlari menuruni tangga dan kembali ke ruang perawatan Dina. Gladys tiba di sana dengan nafas yang tersengal-sengal. Dina menatap ibunya dengan heran. “Mama, ada apa?” Dina ikut panik melihat kedatangan ibunya dalam keadaan yang demikian. “Papa sudah dipindahkan.” Kata Gladys dengan terengah-engah. Dina terkejut bukan kepalang. “Dipindahkan ke mana, Ma?” “Kata suster yang di situ papa dipindahkan ke rumah sakit umum daerah karena di sana peralatannya lebih lengkap. Keadaan papa katanya memburuk tadi.” Dina lantas diselimuti kesedihan. Ia tidak sempat menjenguk ayahnya bahkan hingga ayahnya dipindahkan ke rumah sakit lain. “Apa papa akan baik-baik saja?” Tanya Dina dengan sedih. “Kita hanya bisa mendoakan yang terbaik untuk papa.” Jawab Gladys dengan lirih. Dina kemudian berbaring di ranjangnya, membelakangi ibunya dan mulai menangis. Ia tidak ingin kehilangan ayahnya, seburuk apapun kesalahan ayahnya kepada mereka di masa lalu. Meskipun ayahnya mungkin tidak akan pernah kembali ke dalam kehidupan mereka lagi namun setidaknya lebih melegakan ketika mengetahui ayahnya itu berada dalam keadaan baik-baik saja.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN