Oscar Juga Sudah Tahu

1448 Kata
Malam itu ketika Oscar tiba di rumah sakit, Dina dan sang ibu sedang serius mengobrol. Mereka membahas tentang Herman, ayah mereka yang juga sedang dirawat di rumah sakit yang sama. Dina begitu penasaran dan terus melontarkan berbagai pertanyaan kepada sang ibu. “Jadi, menurut dokter di UGD penyebab penyakitnya apa, Ma?” Tanya Dina. Oscar tiba-tiba masuk. “Selamat malam, aku datang!” Katanya dengan riang. Obrolan Dina dan ibunya pun terhenti. “Lagi ngobrolin apa sih?” Tanya Oscar. “Tidak ada!” Dina buru-buru menjawab. “Tadi sebut-sebut penyakit, memangnya siapa lagi yang sakit?” Tanya Oscar kemudian. Dina menggelengkan kepalanya. “Papa kalian.” Jawab Gladys. “Oh soal itu.” Balas Oscar dengan santai. “Oscar sudah tahu kok. Malah Oscar pikir kalian yang belum tahu, makanya Oscar diam saja.” Dina dan ibunya tercengang mendengar jawaban dari Oscar itu. “Kamu tahu dari mana?” Tanya Gladys. “Jadi ceritanya begini. Itu adalah hari di mana Dina mulai dirawat di rumah sakit, keesokkan paginya Oscar pergi ke kantor dan tidak sengaja membaca laporan dari teman-teman yang berdinas malam. Mereka menulis laporan hasil patroli di malam hari dan ada laporan tentang mereka yang menemukan papa pingsan di jalan, mereka lantas memanggil ambulance untuk membantu mengantarkan papa ke rumah sakit karena kondisi papa yang mengkhawatirkan.” “Dan kakak tidak memberitahukan hal itu kepada kami?” Protes Dina. “Mama bahkan melihat sendiri ketika papa diturunkan dari ambulance ke UGD karena saat itu kebetulan mama sedang mengobrol dengan dokter soal pemeriksaan darah dan USG kamu, Na.” Gladys menimpali. “Jadi maksud kalian Dina adalah orang terakhir yang tahu?” Tanya Dina lagi. “Ya begitulah.” Jawab Gladys. “Kenapa kalian tidak memberitahu Dina sih?” Omel Dina. “Lho bukannya kamu tidak peduli ya?” Ledek Oscar. “Kenapa sekarang tiba-tiba pengen cari-cari tahu gitu?” Dina terdiam, kehabisan kata-kata. “Kalau kamu peduli ya peduli saja, nggak usah pura-pura nggak peduli tapi malah cari-cari info gitu…” ledek Oscar lagi. “Tadi pagi kami sudah bertemu papa kok di antrian untuk pemeriksaan darah!” Balas Dina. “Ya sudah kalau gitu, sudah ketemu kan? Habis perkara dong ya!” Oscar kembali meledek. Dina masih menunjukkan ekpresi wajah tak terima. Dia tidak terima ketika semua sudah mengetahui kabar itu dan berpura-pura tidak tahu dihadapannya. Apalagi sang ibu, pagi tadi ketika di tempat pemeriksaan laboratorium, ia justru berlagak seperti tidak tahu apa-apa padahal ia adalah yang paling pertama tahu. “Jadi kamu ngambek nih ceritanya?” Tanya Oscar. “Bodoh amat!” Jawab Dina sambil memalingkan wajah dari kakaknya. Gladys dan Oscar hanya tertawa melihat tingkah Dina itu. Setelah beberapa saat, tawa mereka mereda dan Dina sudah terlihat lebih santai, Gladys pun menjelaskan. “Na, kamu harus tahu alasan kami merahasiakan ini dari kamu.” Gladys memulai. “Di antara kita semua, kamu adalah satu-satunya yang terlihat masih marah dan tidak bisa menerima keadaan. Selain itu, kamu juga yang terakhir kali bertemu papa sebelum kejadian ini, dan itu tidak berakhir baik, bukan? Di samping itu, saat ini juga kamu sedang sakit. Itulah alasan kami merahasiakan hal ini darimu. Kami tidak ingin hal ini mengganggu pikiranmu dan memperlama proses penyembuhanmu.” Terang Gladys kepada Dina. Dina mengangguk mendengar penjelasan dari ibunya. Dia memang masih marah, namun penjelasan ibunya tadi cukup bisa ia terima. “Jika kamu mau menjenguk papa, maka mama bisa mengantarkanmu ke bangsal perawatannya.” Gladys menawarkan. “Mama bahkan tahu di mana ruang perawatannya?” Tanya Dina, tak percaya. Gladys mengangguk. “Iya, bangsal perawatan untuk pasien penyakit jantung kan hanya ada satu di rumah sakit ini, jadi tidak sulit untuk mengetahuinya.” Gladys membela diri kemudian tersenyum. “Dina, sudahlah. Jangan dipikirkan lagi, memangnya kamu mau batal keluar dari rumah sakit lusa nanti hanya karena stress dan kebanyakan mikir hal yang tidak seharusnya kamu pikirkan? Stress bisa memperburuk keadaanmu, jadi berhentilah memikirkannya!” Oscar menambahkan. Oscar lantas naik ke sofa tempat ia biasa tidur dan mengambil posisi berbaring. Dina tidak lagi memperpanjang pembahasan tentang ayah mereka itu. Ia memilih untuk bungkam, di satu sisi karena ia merajuk dan di sisi lain ia bungkam karena sedang memikirkan keadaan ayahnya. “Kenapa aku terus memikirkan keadaannya ya?” Tanya Dina dalam hati. “Apa aku memang masih sangat peduli kepadanya?” “Dia begitu jahat kepada kami, kenapa aku harus peduli?” “Tapi sebentar, dia sudah tidak punya istri lantas siapa yang mengurusnya selama di rumah sakit?” Dina terus tenggelam dalam pikirannya sendiri. Ia sebenarnya sangat peduli namun ia ingin orang-orang melihat kalau ia tidak peduli. Di tengah malam ketika melihat Dina dan Oscar sudah terlelap, Gladys kembali meninggalkan mereka di kamar dan menyelinap menuju ke kamar Herman. Begitu ia tiba di sana, ia melihat Herman masih bangun. Pasien di bangsal perawatan khusus pasien penyakit jantung kini telah bertambah dari tiga menjadi lima orang. Melihat Gladys datang, Herman tampak tersenyum. Kabel-kabel yang terhubung ke monitor yang sebelumnya dipasang di d**a Herman kini sudah tidak ada lagi. Herman hanya masih memakai selang infus. Gladys lantas duduk di kursi yang ada di samping ranjang Herman. “Kamu datang lagi?” Sapa Herman dengan senyuman. Gladys mengangguk. “Kamu sudah makan?” Tanya Gladys. “Sudah. Aku selalu makan tepat waktu kok. Setiap kali makanan diantarkan, aku langsung memakannya.” Jawab Herman. “Baguslah kalau begitu. Kamu memang harus memiliki semangat seperti ini kalau kamu ingin cepat sembuh...” “Kamu yang membuatku bersemangat seperti ini.” Potongnya. Gladys pun terdiam. “Aku sudah berkali-kali sakit dan baru kali ini aku bisa bertemu denganmu setiap hari.” “Itu hanya karena kebetulan saja!” Sela Gladys. “Jika Dina tidak dirawat di rumah sakit ini, aku mana tahu kalau kamu sedang sakit dan dirawat di sini juga, kan?” “Tapi aku berterima kasih atas kesediaanmu untuk menjengukku setiap hari. Kita mungkin berada di rumah sakit yang sama, tetapi perihal menjenguk atau tidak, pilihan itu kan ada di tanganmu. Dan kamu memilih untuk datang menjengukku meskipun kamu sebenarnya cukup sibuk juga mengurus Dina yang sedang sakit.” Gladys mengangguk sambil tersenyum kecil. Herman kembali meraih tangan Gladys dan menggenggamnya. Gladys diam saja ketika Herman melakukan itu. Gladys sudah tidak terlalu canggung karena ini bukan kali pertama Herman melakukan hal itu. “Lusa Dina sudah diizinkan untuk meninggalkan rumah sakit, jika Dina sudah pulang maka tentu aku tidak akan datang untuk menjengukmu lagi.” Kata Gladys. Herman menampakkan ekspresi wajah sedih mendengar perkataan Gladys itu. “Tidak apa-apa.” Katanya. “Yang terpenting adalah kesembuhan Dina kan? Lagi pula kamu juga masih punya kehidupanmu sendiri yang perlu untuk diurus, bukan? Lakukan saja, aku baik-baik saja di sini kok.” Gladys tiba-tiba membalas genggaman tangan Herman. Ia menggenggam tangan itu dengan erat. “Perhatikan makanmu, istirahat yang cukup dan minum obatmu jangan lupa!” Pesan Gladys. “Tentu saja.” Balas Herman. “Bolehkah aku bertanya sebuah pertanyaan kepadamu?” Tanya Herman, tiba-tiba. Gladys mengangguk menyetujui. “Selama ini aku memperlakukanmu sedemikian buruk, kenapa kamu tidak mengajukan cerai terhadapku?” Gladys melirik ke arah jam di dinding dan mendapati bahwa itu sudah pukul satu dini hari. “Entahlah.” Jawab Gladys. “Kamu menanyakan sesuatu yang terlalu berat untuk dipikirkan di jam seperti ini.” Lanjut Gladys kemudian tertawa untuk menghindar dari pertanyaan itu. “Jadi kamu tidak akan menjawabnya?” Gladys menggelengkan kepalanya. “Ya sudah kalau begitu, tidak apa-apa.” Mereka masih saling berpegangan tangan. Gladys kemudian menguap. “Kamu sudah mengantuk?” Tanya Herman. “Iya, sedikit.” “Kalau begitu, kembalilah beristirahat di kamar Dina. Kita bertemu lagi nanti.” Gladys bangkit dari kursinya. Ia mengelus tangan Herman beberapa kali dengan satu tangannya sebelum akhirnya melepaskan tangannya yang berada dalam genggaman Herman sejak tadi. “Aku pergi ya!” Kata Gladys kemudian pergi. Ia bergegas kembali ke kamar Dina. Begitu ia tiba di sana, ia mendapati Oscar dan Dina justru sudah bangun. “Kalian tidak tidur?” Tanya Gladys dengan terkejut ketika pintu kamar itu terbuka. “Mama dari mana?” Tanya Dina. Oscar yang berada di sofa tertawa cekikikan. “Aku tahu mama dari mana.” Kata Oscar. “Jadi begini cara mama menjenguk papa agar tidak ketahuan oleh kami?” Desak Dina. Gladys melangkah masuk ke kamar Dina dengan tenang. “Jika kalian sudah tahu, apa mama perlu membuat penjelasan lagi?” Tanya Gladys kemudian. Gladys berjalan menuju ke wastafel kemudian membasuh muka dan tangannya di sana setelah itu ia naik ke ranjang yang disediakan khusus untuk pendamping pasien. “Ini sudah hampir pagi, ayo tidur semua…” ajak Gladys. Gladys pun berbaring dan memunggungi anak-anaknya untuk menghindari pertanyaan mereka, khususnya Dina yang paling memungkinkan untuk menginterogasinya dengan macam-macam pertanyaan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN