Tidak Sengaja Menemukan

1514 Kata
Bab 59 Tidak Sengaja Menemukan   14 November 2010, tengah malam - Sepulang dari pertemuannya dengan dokter Bayu, Gladys lagi-lagi tidak bisa tidur hingga hari berganti. Ia duduk seorang diri di ruang tamu yang sengaja ia biarkan gelap tanpa pencahayaan sambil merenung. Gladys berusaha untuk mengesampingkan ketakutannya akan operasi p******a yang akan ia lakukan pada dua minggu yang akan datang. Ia kini cenderung berpikir keras tentang bagaimana cara yang tepat untuk memberitahu anak-anaknya tentang kondisi kesehatannya tanpa membuat mereka panik dan sedih setelah itu. Sebuah pemikiran kemudian terlintas di benaknya tentang apakah ia perlu memberitahu Herman juga tentang kondisi kesehatannya itu atau tidak. Walau bagaimana pun Herman masih suaminya dan ayah dari kedua anaknya sampai kapanpun. Jika nanti terjadi sesuatu kepadanya, ia tidak ingin Herman mengganggu apa yang menjadi hak dari Oscar dan Dina yang merupakan peninggalan darinya. Khususnya menyangkut rumah yang ia beli beberapa tahun silam yang tidak diketahui oleh Herman. Gladys duduk merenung di ruang tamu yang gelap itu sampai ia terlelap di sana. Dina mendapati ibunya tertidur di sofa ruang tamu ketika ia keluar dari kamar pada dini hari untuk pergi ke toilet. “Mama, kenapa tidur di sini lagi sih?” Kata Dina saat membangunkan ibunya. Ini bukan kali pertama Gladys tertidur di luar. Dina dan Oscar sudah berkali-kali mendapati ibunya tertidur di ruang tamu. Gladys pun terbangun. “Mama tertidur ya?” Tanya Gladys yang setengah sadar. “Pindah ke kamar ya, Ma.” Ajak Dina. Ia lalu membantu ibunya bangun dari sofa, menggandeng tangan ibunya dan mengantarkan ibunya sampai ke tempat tidur barulah Dina pergi ke toilet. Gladys pun melanjutkan tidurnya di kamar.   Keesokkan paginya Gladys bangun seperti biasa pada pukul lima dan menyiapkan sarapan untuk mereka bertiga. Oscar bangun tiga puluh menit setelah Gladys dan langsung menyemir sepatu bootnya. “Ma hari Sabtu nanti Anastasia akan datang untuk makan siang di sini, boleh ya?” Tanya Oscar. “Tentu, kenapa tidak!” Jawab Gladys. “Jadi mama akan memasak untuk kami?” Oscar memastikan. “Terserah kamu, Os. Kamu mau mama memasak atau membeli makanan yang sudah jadi, terserah kamu saja.” “Barusan Tasia memuji masakan mama. Katanya sangat enak.” “Jangan mencoba mengambil hati mama. Mama memang sudah tahu kalau masakan mama itu enak sejak dulu!” Oscar pun tertawa mendengar balasan dari ibunya itu. Ia berusaha untuk mengambil hati ibunya namun ibunya telah lebih dahulu membaca gelagatnya. “Kamu bertemu dia di mana, Os?” Tanya Gladys sambil menghidangkan sarapan yang sudah jadi di atas meja makan. “Di bank Ma, tempatnya bekerja. Waktu itu Oscar ada sedikit keperluan di bank tersebut dan kami berkenalan di sana.” “Sejak kapan kamu mengenalnya?” “Mungkin sebulan yang lalu.” “Biasanya karyawan bank itu cantik-cantik.” “Tasia memang cantik, Ma. Mama saja yang belum pernah melihatnya.” “Begitu ya?” Balas Gladys. “Ayo sarapan dulu, Os.” Ajak Gladys kemudian. Oscar pun meletakkan sepatu bootnya yang sudah selesai disemir kemudian mencuci tangannya. Ia lantas duduk berhadapan dengan ibunya di meja makan. Gladys mengambilkan makanan untuk Oscar dan meletakkannya tepat di depan anaknya itu. “Ngobrolnya sambil makan ya…” Kata Gladys. Oscar mulai menyantap nasi goreng buatan ibunya. “Tasia itu anak tunggal Ma.” “Lagi?” Potong Gladys. “Hehe… Mau gimana lagi, mana Oscar tahu kan?” Sebelumnya Oscar berpacaran dengan Karen yang juga adalah anak tunggal. “Kamu yakin tidak melakukannya dengan sengaja?” Ledek Gladys. “Mama…” Protes Oscar. “Os, apa Karen sudah tidak pernah menghubungi kamu lagi?” Tanya Gladys dengan wajah serius. “Tidak pernah, Ma. Bahkan di awal kepergiannya Oscar yang berusaha untuk menghubunginya namun dia tidak merespon semua panggilan Oscar.” “Begitu ya?” “Iya.” “Mama hanya takut dia tiba-tiba kembali ketika kamu sudah memiliki hubungan yang serius dengan orang lain.” Ekspresi di wajah Oscar tampak berubah seketika karena mendengar perkataan ibunya barusan. Ia kini terlihat seperti sedang berpikir juga. “Semoga saja tidak Ma.” Jawabnya. “Mama hanya ingin berpesan, kali ini bersama Anastasia kamu jangan sampai salah melangkah lagi!” Kata Gladys dengan tegas. Oscar mengangguk. “Jika kamu sampai membuat kesalahan yang sama, maka mama sendiri yang akan mengantarkan kamu menemui orang tuanya untuk mengakui kesalahanmu setelah itu mama tidak mau tahu lagi dengan apa yang akan mereka perbuat kepadamu!” Ancam Gladys. Oscar tidak menjawab, ia hanya menundukkan kepalanya karena merasa segan untuk menatap ibunya. Selesai sarapan, Oscar pun bersiap untuk pergi bekerja. Hari ini kuliah Dina dimulai agak siang sehingga Dina tidak perlu terburu-buru untuk bangun di pagi hari. Ketika Oscar dan Gladys telah berangkat ke kantor mereka masing-masing, barulah Dina terbangun. Ia mendapati rumah telah kosong, hanya tinggal dirinya saja, seorang diri. Ia berjalan menuju ke ruang makan dan mengambil sarapan yang ditinggalkan ibunya dalam keadaan tertutup di atas meja makan. Dina makan sambil menonton tayangan gossip para artis di televisi. Tidak banyak yang dapat ditonton pada pagi hari, jika bukan berita berarti tayangan gossip para artis. Ketika Dina selesai sarapan, ia berjalan memasuki kamar untuk mengambil ponselnya. Ia tidak sengaja melewati tempat gantungan tas milik ibunya dan melihat beberapa brosur yang sedikit menyembul dari tas yang kemarin digunakan oleh ibunya. Dina menarik brosur itu keluar dan membacanya. Itu semua adalah brosur tentang kanker p******a. Gladys memang mengambil beberapa brosur itu di apotek tempat dokter Bayu berpraktek untuk ia baca dalam perjalanan pulangnya kemarin. Keberadaan brosur-brosur tersebut dalam tas milik Gladys memicu kecurigaan Dina. “Kenapa mama menyimpan brosur-brosur semacam ini?” Tanya Dina dalam hati. Dina memutuskan untuk membongkar isi tas tersebut. “Selain brosur, ada apa lagi di dalam sini?” Tanya Dina dengan rasa penasaran yang sangat besar. Dina menemukan banyak kertas di dalam tas milik ibunya itu. “Kartu nama siapa ini?” Tanya Dina ketika sebuah kartu nama terpegang olehnya. “Dokter Bayu Ari Wibowo, spesialis bedah onkologi.” Bacanya. “Mama menemui dokter spesialis bedah onkologi? Memangnya mama sakit apa?” Pikir Dina. Dina terus menggeledah ke laci tas yang lain, ia menemukan sebuah amplop dengan lambang dan nama sebuah laboratorium klinik di sudut kanan atasnya sementara nama ibunya tertulis di bagian kiri amplop. “Mama melakukan pemeriksaan kesehatan?” Dina terus diliputi keheranan karena tidak pernah melihat ibunya jatuh sakit belakangan ini sementara isi tas ibunya mengungkapkan hal yang jauh berbeda. Dina mengambil amplop itu dan menemukan ada beberapa lembaran kertas terlipat rapi didalamnya. “Hasil biopsi?” Dina semakin tidak mengerti dengan apa yang baru saja ia baca. “Mama sakit apa sebenarnya?” Kata-kata yang tertulis di lembaran kertas itu semuanya adalah istilah medis yang tidak Dina mengerti. Ia bertekad untuk menanyakan hal tersebut kepada ibunya malam nanti ketika ibunya sudah pulang dari kantor. Perasaan Dina menjadi tidak karuan karena menemukan amplop berisi hasil pemeriksaan biopsi milik ibunya itu. Dina kemudian mendapat ide untuk menuliskan kata-kata dalam surat itu pada buku tulis miliknya dan nanti akan mencari tahu artinya di internet saat ia telah berada di kampus. “Mama mungkin tidak akan jujur tentang isi surat ini. Aku harus lebih dulu mencari tahu artinya sendiri.” Dina terus dipenuhi tanda tanya besar sekaligus kecemasan akan kondisi kesehatan ibunya. Meskipun kelas pertamanya baru akan dimulai setelah jam makan siang, pagi itu Dina bergegas untuk langsung bersiap menuju ke kampus. Ia tidak bisa menunggu lagi. Ia harus segera ke warung internet kampus untuk mencari tahu arti dari setiap istilah medis yang baru saja ia baca itu di internet. Dalam perjalanannya dengan angkot, ia menghubungi Helen. “Len, aku hari ini berangkat lebih awal ya. Nanti kalau kamu sudah tiba dikampus temui aku di warung internet yang di samping perpustakaan.” “Dina, kelas kita nanti dimulai jam satu, kenapa baru jam sembilan kamu sudah berangkat ke kampus?” “Ada yang harus aku cari tahu di internet.” “Kamu bisa ke rumahku kan jika hanya itu yang harus kamu lakukan.” Balas Helen. “Nggak apa-apa kok, Len. Ini sudah setengah perjalanan. Nanti kita bertemu di kampus saja ya!” Kata Dina kemudian menutup teleponnya. Begitu Dina tiba di kampus, ia langsung berlari menuju ke warung internet yang ia maksudkan pada Helen tadi. Ketika ia membuka pintu, ia mendapati semua kursi di sana terisi penuh. Ia masih harus mengantri sampai ada yang keluar barulah ia bisa menggunakan komputer di sana. Dina tidak ingin menunggu selama itu, ia pun berlari keluar dari kampus dan menuju ke warung internet yang terletak di samping gerbang utama kampus. Warung internet yang dulu menjadi tempat pertemuannya dengan Gilbert. Dengan segera ia mendapatkan tempat duduk. Ia mengambil buku tadi dari dalam tas yang dibawanya dan mulai melakukan penelusuran tentang makna dari kata-kata itu satu demi satu. Dina menuliskan arti dari setiap kata yang ia temukan di internet itu di bukunya. Telah tiga puluh menit ia berada di sana. Ia masih terus mencari makna dari istilah-istilah medis itu. Dina mulai bisa merangkaikan isi dari laporan kesehatan ibunya itu. Ketika ia selesai mencari tahu arti dari istilah medis itu satu per satu, Dina pun membacanya secara keseluruhan. Begitu Dina membacanya, ia pun tidak dapat membendung air matanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN