Bab 58
Lain Kali Saja
Gladys masih terjebak kemacetan parah. Ia telah satu setengah jam berada di dalam angkot dan itu bahkan belum setengah perjalanannya. Meskipun lokasi truk terguling telah berhasil terlewati, ternyata masih ada hal lain yang menyebabkan kemacetan parah di lokasi berbeda yang harus ia lewati. Hal itu adalah tidak berfungsinya traffic light di sebuah perempatan yang ramai di depan kawasan pusat perbelanjaan sehingga lalu lintas menjadi sangat tidak teratur. Belum ada polisi lalu lintas yang datang ke lokasi tersebut untuk mengatur lalu lintas sehingga kemacetan belum dapat terurai sama sekali.
Jam di tangan Gladys sudah menunjukkan hampir pukul delapan. Ia tahu bahwa ia mungkin tidak akan sempat menemui dokter malam itu namun ia bertahan dalam angkot yang berjalan begitu lambat itu untuk mencoba peruntungannya kali ini. Tepat pukul delapan, tiba-tiba ponsel dalam tas Gladys berdering. Ia pun mengeluarkan ponselnya dari dalam tas dan mendapati bahwa itu adalah nomor yang tadi siang menghubunginya, yang menyatakan dirinya sebagai asisten dokter Bayu.
“Selamat malam ibu Gladys, ini saya lagi asistennya dokter Bayu.” Sapa orang tersebut ketika Gladys menjawab teleponnya.
Gladys sudah bisa menebak bahwa ia mungkin belum beruntung untuk menemui dokter Bayu malam ini.
“Iya, maaf suster saya masih dalam perjalanan. Sudah hampir dua jam saya di angkot tapi kemacetan malam ini benar-benar sangat parah.” Jawab Gladys.
“Mohon maaf bu, tetapi janji temu ibu dengan dokter Bayu malam ini terpaksa harus dibatalkan. Dokter mendapat telepon dari rumah sakit dan beliau harus buru-buru meninggalkan tempat praktek sebab ada salah seorang pasiennya yang saat ini tengah dirawat di sana yang keadaannya tiba-tiba saja memburuk.” Terang perawat itu.
“Begitu ya?” Balas Gladys dengan nada kecewa. “Maaf suster, kalau boleh tahu pasien yang harus ditemui dokter Bayu itu sakitnya apa ya?”
“Kalau tidak salah kanker p******a stadium akhir, bu.” Jawabnya.
“Begitu ya.” Balas Gladys. “Ya sudah suster, terima kasih atas informasinya.”
“Sama-sama, bu. Ibu bisa menyempatkan diri untuk bertemu dengan dokter pada besok malam ya!”
“Iya suster. Semoga tidak ada halangan lagi seperti malam ini.”
“Iya bu. Sampai jumpa besok di tempat praktek ya.” Kata perawat mengakhiri pembicaraan telepon itu.
Gladys lantas menutup teleponnya dan menyimpan kembali ponselnya dalam tas.
Ia merasa tidak ada gunanya lagi ia bertahan dalam kemacetan itu jika dokter yang ingin ia temui sudah tidak ada di tempat prakteknya.
Gladys menunggu hingga angkot yang ia tumpangi tersebut tiba di tempat di mana ia bisa mendapatkan angkot yang menuju ke arah sebaliknya, yaitu menuju ke rumahnya. Begitu ia tiba di tempat itu, ia pun memutuskan untuk segera turun dan mencari angkot lain untuk pulang.
Perjalanan pulang justru tidak memakan waktu sebanyak saat ia berangkat. Hanya dalam waktu satu jam Gladys telah tiba kembali di depan gerbang perumahannya. Saat itu jam menunjukkan pukul sembilan lebih sepuluh menit.
Gladys berjalan dengan cepat menuju ke rumahnya berharap ia bisa memenuhi janjinya kepada Oscar untuk bertemu dengan teman wanita Oscar yang baru yang katanya bernama Anastasia. Begitu Gladys tiba di rumah, ia mendapati pintu rumah sudah tertutup sehingga ia harus membuka pintu dengan kunci yang ia bawa. Rumah tampak begitu sunyi.
Mendengar suara pintu terbuka, Dina pun muncul dari dalam kamar.
“Mama baru pulang?” tanya Dina.
“Iya Na.” Jawab Gladys sambil menanggalkan sepatunya dan meletakkannya di rak sepatu yang ada di dekat pintu masuk. “Lalu di mana kakak?” tanya Gladys kemudian.
“Kakak pergi mengantar teman wanitanya pulang.”
“Sudah dari tadi perginya?”
“Mungkin sekitar jam setengah sembilan mereka berangkat dari sini.” Jawab Dina.
“Kamu sudah berkenalan dengannya?” Tanya Gladys, ingin tahu.
“Maksud mama dengan kak Tasia?” Dina balas bertanya.
“Iya.”
“Sudah Ma.” Jawab Dina.
“Bagaimana orangnya?” Tanya Gladys dengan penuh rasa penasaran.
“Orangnya cantik. Biar Dina gambarkan ya. Tubuhnya langsing dan tinggi, kulitnya putih, rambutnya panjang. Suaranya begitu lembut. Katanya ia bekerja sebagai karyawan di salah satu bank swasta dan dia memang mengenakan seragam yang membuktikan hal itu namun Dina tidak ingat nama bank-nya.”
“Begitu ya.” Balas Gladys. “Apa mereka terlihat seperti orang pacaran atau hanya berteman?”
“Mereka cukup akrab tetapi kakak terlihat sangat menyukainya. Dina tidak tahu apakah Kak Tasia juga menyukai kakak dan hanya menjaga image-nya di depan kami atau dia memang tidak sesuka itu pada kakak.”
“Hmmm… Kamu mulai berkomentar seperti seorang ahli lagi!” ledek Gladys.
“Kan mama bertanya, jadi Dina menjawab berdasarkan pandangan Dina dong!” bantahnya secara tidak langsung.
Gladys tertawa mendengar bantahan Dina itu.
“Ya sudah, mama mau mandi dulu ya!” pamitnya kemudian langsung menuju ke kamar mandi.
Selesai mandi, Gladys kembali ke kamar dan mendapati Dina telah tertidur.
“Cepat sekali tidurnya…” bisik Gladys. “Belum juga selesai ditanya-tanya.”
Gladys lantas menuju ke dapur untuk mengerjakan pekerjaan rutinnya untuk beres-beres dapur namun ia justru mendapati bahwa dapur tersebut sudah dibersihkan, tidak ada lagi piring kotor bekas makan malam di sana. Dina yang telah menyelesaikannya. Ia merasa sedikit lapar sehingga ia pun memutuskan untuk makan malam terlebih dahulu sebelum ia pergi tidur. Saat itu hari sudah hampir tengah malam.
Ketika Gladys sedang makan, ia mendengar suara pintu rumah yang dibuka dengan kunci dari luar. Itu adalah Oscar.
“Mama…” Sapa Oscar yang melihat ibunya sedang makan seorang diri di ruang makan.
“Maaf ya Os, mama tiba saat kalian sudah pergi.” Kata Gladys.
“Tidak apa-apa Ma. Dia akan datang lagi akhir pekan ini. Semoga nanti mama bisa bertemu dengannya.”
Gladys mengangguk. Oscar kemudian pergi ke kamar mandi untuk mandi. Selesai makan, Gladys mencuci perlengkapan makan yang ia gunakan kemudian kembali ke kamar untuk tidur.
Malam itu Gladys merasa sangat letih namun ia sama sekali tidak bisa memejamkan matanya. Ia begitu khawatir memikirkan hasil biopsi yang seharusnya bisa ia ketahui hari ini. Kini ia berada dalam kegelisahan karena ketidakpastian itu.
Kekhawatiran lain muncul karena mendengar dokter Bayu yang tiba-tiba harus meninggalkan tempat praktek untuk menemui pasien kanker p******a yang kondisinya menurun di rumah sakit. Ia sangat takut kalau dirinya kelak akan menjadi seperti demikian.
Gladys berusaha untuk menenangkan pikirannya namun ia terus dihantui oleh bayang-bayang kematian. Ia tidak takut akan kematian itu sendiri, yang ia takutkan adalah meninggalkan kedua anaknya. Mereka memang masih punya ayah namun ayah yang kurang memiliki peran dalam membesarkan kedua anaknya. Satu-satunya yang ditinggalkan ayah mereka hanyalah kesedihan yang bersumber dari kenangan buruk di masa kecil mereka. Jika nanti Gladys seumpamanya meninggal dunia maka anak-anaknya benar-benar akan kehilangan sosok orang tua, sebab selama ini dialah yang berperan sebagai ibu sekaligus ayah untuk mereka.
Beban di hati Gladys semakin besar karena ia harus memikul ini sendirian. Ia tidak ingin anak-anaknya mengetahui apa yang sedang terjadi kepada dirinya. Ia tidak ingin membuat mereka cemas, sehingga ia memilih langkah tersebut yaitu merahasiakan keadaannya dari mereka.
Hari pun berganti. Gladys tetap tampil prima di depan kedua anaknya dan berupaya agar terlihat senormal mungkin. Ia tidak ingin terlihat seperti seseorang yang sedang menahan sakit meskipun di saat-saat tertentu ia memang merasakan nyeri yang hebat yang sebenarnya membuat ia ingin menangis.
Setelah Dina dan Oscar berangkat pagi itu, Gladys pun bersiap ke kantor. Ia merasa tidak begitu sehat hari itu mungkin karena ia tidak tidur semalaman. Meskipun demikian, ia menolak untuk bersikap cengeng dan tetap pergi ke kantor. Ia harus menyelesaikan pekerjaannya hari ini dengan cepat agar ia punya cukup waktu untuk menemui dokter Bayu.
Ia tiba sebelum pukul delapan di kantor dan langsung mengerjakan pekerjaannya tanpa menunggu rekan-rekan yang lain tiba. Saat sedang terburu-buru, seperti biasa ia bahkan tidak akan pergi makan siang di luar melainkan meminta orang dari kantin untuk mengantarkan makanan ke ruangannya. Ia bahkan tidak ingin diajak mengobrol oleh rekan kerjanya selain untuk urusan pekerjaan ketika ia sedang dikejar waktu.
Tepat pukul lima sore ia mengabsen untuk pulang dan segera meninggalkan kantor. Ia segera menempuh perjalanan jauh itu lagi untuk menuju ke tempat praktek dokter Bayu. Seperti biasa, saat jam pulang kantor kemacetan terjadi di mana-mana. Namun karena Gladys telah mengantisipasinya dengan pulang kantor tepat waktu maka ia bisa tiba di tempat praktek dokter tepat waktu, bahkan sebelum dokter sendiri tiba di sana.
Begitu dokter Bayu berjalan melewati koridor apotek untuk menuju ke ruangannya, ia melihat Gladys telah berada di ruang tunggu. Ia menganggukan kepalanya kepada Gladys tanpa menyapa pasiennya itu. Lima menit setelah dokter memasuki ruangan, perawat pun mempersilakan Gladys untuk masuk ke dalam ruang praktek.
“Selamat malam, bu.” Sapa dokter Bayu. “Silakan duduk.”
Gladys pun duduk. “Selamat malam dokter, maaf saya tidak bisa datang semalam. Saya terjebak macet karena truk yang terguling dan traffic light yang tidak berfungsi.” Terang Gladys.
“Iya, saya pun mengalami kemacetan yang sama semalam saat hendak menuju ke rumah sakit mengunjungi pasien.” Balas Dokter Bayu.
“Jadi bagaimana hasilnya, dok?” tanya Gladys dengan gugup.
Dokter membuka laci meja kerjanya dan mengambil sebuah amplop berisi hasil pemeriksaan biopsi Gladys.
“Seperti dugaan saya sebelumnya,” perkataan dokter terhenti untuk beberapa detik. “dengan sangat menyesal saya ingin ibu mengetahui bahwa tumor di p******a kanan ibu adalah kanker dengan stadium 1A.”
Gladys terkejut namun tidak terlalu terkejut. Kata-kata dokter ini sudah sering melintas di pikirannya belakangan ini, sehingga ia tidak begitu syok lagi. Perkataan dokter itu hanya sebagai pembenaran saja atas apa yang ia duga selama ini.
“Ibu harus segera melakukan operasi pengangkatan sel kanker sebelum itu menyebar ke sekitarnya atau bahkan ke bagian tubuh yang lain. Selagi itu masih berada di stadium awal, maka peluang pencegahan penyebarannya masih tinggi.”
Gladys mengangguk memahami maksud perkataan dokter.
“Jika ibu bersedia, kita bisa menentukan tanggal pelaksanaan operasi malam ini juga.”
Dokter mengambil kalender yang berada di pojok meja kerjanya itu dan meletakkannya tepat di hadapan Gladys.
“Sekarang tanggal tiga belas,” kata dokter. “ibu bisa memilih tanggal pelaksanaan operasi asalkan tidak lewat dari bulan ini.”
“Dua minggu depan saja dok!” jawab Gladys. “Saya masih harus memberitahukan hal ini kepada anak-anak saya terlebih dahulu.”
“Jadi tanggal dua puluh tujuh ya?” dokter memastikan.
“Iya. “ Jawab Gladys.
“Setelah operasi, kita akan menentukan prosedur pengobatan selanjutnya.”
“Baik dokter.”
“Saya akan meminta ibu untuk datang lagi minggu depan untuk diperiksa lagi sebelum menjalani operasi. Tolong datang lagi di tanggal dua puluh ya!”
“Iya dokter.”
“Ada lagi yang ingin ibu tanyakan?”
“Berapa persen peluang saya, dok?”
“Karena ini masih stadium awal sehingga bisa saya katakan bahwa peluang ibu sangat besar. Tidak perlu mencemaskannya, selama bu tidak menunda pelaksanaan operasinya.”
Gladys mengangguk.
“Ada lagi yang ingin ditanyakan?”
“Tidak ada, dok.”
“Baik kalau begitu. Tetap jaga kesehatan ya bu, jangan terlalu banyak beraktiivitas yang berat-berat, konsumsi makanan bergizi dan jangan lupa juga vitaminnya.”
“Iya dokter. Terima kasih. Saya permisi dulu kalau begitu.”
Gladys pun meninggalkan ruangan dokter Bayu. Ia kembali ke rumah dengan perasaan bercampur aduk. Ia bingung bagaimana harus memberitahu kabar ini kepada anak-anaknya.