Seseorang Bernama Anastasia

1479 Kata
Bab 57 Seseorang Bernama Anastasia Belakangan ini Oscar tampak sering berbicara dengan seseorang melalui telepon hingga larut malam. Saat mengobrol, Oscar terlihat senang dan banyak tertawa. Perilaku Oscar itu sudah beberapa hari ini menjadi pembahasan hangat antara Gladys dan Dina di malam hari sebelum mereka tidur. “Kakak mungkin sedang berpacaran, Ma.” Tebak Dina. “Jangan-jangan dengan perempuan itu lagi.” Gladys menimpali. Perempuan yang Gladys maksud adalah Karen. “Jika mereka kembali berpacaran sekali lagi, berarti cinta mereka memang sejati Ma. Buktinya mereka tidak bisa dipisahkan.” Gladys menatap Dina dengan tatapan aneh. “Kata-katamu itu Na…” Gladys tidak melanjutkan perkataannya tersebut. Dina tersenyum kemudian bertanya, “Ada apa dengan kata-kata Dina, Ma?” “Kamu selalu sangat pintar dalam berkomentar jika menyangkut urusan cinta,” balas Gladys kemudian tertawa. Dina ikut tertawa karena melihat ibunya tertawa. “Tapi sayang, tidak bisa dipraktekkan dalam hidupmu sendiri!” Ledek Gladys kemudian. Gladys meledek Dina yang justru tidak pernah benar-benar berpacaran meskipun ia selalu memiliki pandangan yang dewasa menyangkut cinta. Dina memonyongkan bibirnya. “Mama iiih…” protes Dina yang memahami maksud ledekan ibunya. “Mungkin belum saat ini Ma, ada waktunya pasti!” Gladys mengangguk sambil tetap tertawa. “Ma, jika kakak nanti mau menikah dengan kak Karen, apa mama akan setuju?” Tanya Dina, tiba-tiba. Tawa Gladys seketika terhenti. “Bukannya kita sudah pernah membahas ini?” Suasana hati Gladys seketika berubah. “Bagaimana jika mereka memaksa dan melakukannya tanpa izin mama?” Lanjut Dina. “Mama tetap tidak akan mengizinkannya, Na.” “Mungkin mama harus membiarkan kakak memperoleh kebahagiaannya sendiri.” Gladys terdiam dan merenung untuk sesaat. “Melarang kakak hanya akan membuatnya kehilangan peluang untuk bahagia. Jika memang dia telah mencobanya bersama kak Karen dan mereka tidak bahagia, itu berarti mereka memang tidak berjodoh. Lantas bagaimana jika sebaliknya? Jika tidak mencobanya maka kita tidak akan pernah tahu, kan?” Gladys memandang Dina dengan sedikit membesarkan matanya. “Pernikahan bukan untuk dicoba-coba!” Katanya dengan tegas. Gladys yang semula duduk bersebelahan dengan Dina di atas ranjang kini berbaring. “Mama tidak ingin hal semacam itu sampai terjadi, makanya mama berusaha memisahkan mereka sebelum pernikahan itu terjadi.” Katanya sambil menatap langit-langit kamar. Dina mengangguk. Ia bisa memahami maksud yang terkandung dibalik perkataan ibunya. “Ma tahu tidak, kita sudah membahas panjang lebar masalah ini tanpa tahu sebenarnya siapa yang berbicara dengan kakak di telepon setiap malam. Bisa saja itu malah bukan kak Karen, kan?” Dina mengingatkan. Gladys tersenyum, “Benar juga.” Katanya sambil mengangguk. “Ya sudah, tidur yuk. Besok kan kita semua harus berangkat pagi-pagi!” Suruh Gladys. Dina yang semula sedang duduk pun seketika berbaring di samping ibunya. Gladys tidur menyamping sehingga kini ia berhadap-hadapan dengan Dina. Ia membelai rambut Dina dengan lembut. “Usiamu kini sudah dua puluh tahun, kadang kamu bersikap sangat dewasa, tapi kadang kau juga begitu kekanak-kanakan. Sekarang mama mau kamu menjadi dewasa dalam segala hal. Berhentilah bersikap kekanak-kanakan dan jadilah dewasa dalam sikap, tindakan maupun cara berpikir.” Pesan Gladys. “Mama kenapa tiba-tiba bicara begitu?” Tanya Dina, keheranan. “Mama kan tidak mungkin selamanya menjagamu seperti anak kecil, Na. Suatu hari mama akan pergi meninggalkan dunia ini, bagaimana jadinya hidupmu jika kamu masih seperti anak kecil begini!” “Mama bicara apa sih?” Protes Dina. “Dina tidak mau membahas ini!” Dina selalu menolak untuk ikut membahas jika ibunya mulai menyentil ke hal-hal yang demikian. Ia pun berbalik dan memunggungi ibunya. “Tuh kan sangat kekanak-kanakan!” Ujar Gladys. “Pokoknya kalau pembahasannya seperti yang tadi Dina tidak mau, Ma!” Balas Dina. “Ya sudah, ayo kita tidur!” Ajak Gladys. Keesokkan paginya ketika Oscar dan ibunya sedang sarapan, Oscar tiba-tiba meminta izin kepada ibunya. “Ma, Oscar mau bawa teman Oscar ke sini untuk dikenalkan kepada mama nanti malam, boleh ya?” “Yang setiap malam mengobrol denganmu di telepon?” “Iya.” Jawabnya sambil tersenyum kecil. “Pacar baru ya?” Tebak Gladys. “Belum jadi pacar sih, Oscar ingin mama melihatnya dulu. Dilihat dulu, dinilai kemudian direkomendasikan kepada Oscar boleh atau tidaknya.” “Mana bisa menilai seseorang hanya dari satu pertemuan!” Tegas Gladys. Oscar mengangguk. “Iya juga sih, tapi meskipun begitu Oscar mau mengenalkannya kepada mama ya nanti malam?” “Ya sudah, boleh.” Gladys menyetujui. “Siapa namanya?” “Anastasia.” Jawab Oscar. “Bagus sekali namanya.” “Orangnya juga cantik, Ma.” “Mama jadi penasaran kalau begitu!” Kata Gladys, berbasa-basi. Oscar menanggapi itu dengan wajah yang tampak senang dan mata yang berbinar. “Masakan makanan spesial untuk kami ya Ma?” Dalam hatinya Gladys sebenarnya khawatir jangan-jangan Anastasia ini juga berasal dari keluarga kaya yang suka merendahkan orang lain seperti keluarga Karen. Selesai sarapan, Oscar dan ibunya berangkat ke kantor bersama-sama. Dina telah berangkat sejak pagi dan melewatkan sarapan paginya karena ada tugas yang harus segera ia rampungkan pagi ini di perpustakaan kampus. Sambil berjalan kaki menuju ke gerbang utama perumahan, Oscar tampak terus menerus berbalas pesan dengan seseorang, yang kemungkinan adalah Anastasia. “Perhatikan jalanmu, Os. Kamu mengetik pesan terus dari tadi, nanti tersandung sesuatu dan kamu jatuh lagi!” Tegur Gladys. “Eh, iya Ma.” Jawab Oscar. Begitu tiba di gerbang perumahan, Oscar dan ibunya pun berpisah karena mereka harus berjalan ke arah yang berbeda. Hari itu Gladys mengerjakan semua pekerjaan kantornya dengan sangat serius dan tidak menyia-nyiakan waktu sedetik pun bahkan ketika jam istirahat makan siang tiba ia tidak beranjak dari situ. Ia hanya memesan makanan melalui telepon kepada pelayan di kantin kantor untuk diantarkan ke ruangannya. Ia pun menghabiskan menu makan siangnya itu sambil tetap mengerjakan pekerjaannya. Ketika sedang serius bekerja, sebuah panggilan telepon masuk ke ponselnya. Panggilan itu datang dari momor yang tidak ia kenal. Gladys memutuskan untuk tidak menjawabnya namun nomor tersebut terus menghubungi Gladys, hingga akhirnya Gladys pun mengangkatnya. “Selamat siang Bu.” Kata wanita di seberang telepon tersebut begitu Gladys menjawab panggilannya itu. “Saya asistennya dokter Bayu.” Katanya memperkenalkan diri. “Oh iya, suster. Ada apa ya?” Gladys berbasa-basi meskipun ia sudah tahu maksud dari asisten dokter itu menghubunginya. “Hasil biopsi ibu sudah keluar. Ibu bisa menemui dokter malam ini juga di tempat praktek.” “Baik suster.” “Hanya itu yang ingin saya sampaikan Bu, terima kasih.” Perawat pun menutup teleponnya. Gladys kini dilanda kebingungan. Ia telah berjanji untuk menemui teman wanita Oscar, sementara ia juga harus menemui dokter Bayu. Gladys berupaya untuk menyelesaikan pekerjaannya lebih cepat agar ia bisa meminta izin untuk pulang lebih awal. Malam ini setidaknya ia harus punya makanan spesial di atas meja untuk menjamu tamu khusus yang akan dibawa oleh Oscar ke rumah. Ketika jam menunjukkan pukul 15.30, Gladys telah berhasil menyelesaikan semua pekerjaannya. Ia lantas menyerahkan berkas-berkas itu kepada atasannya dan meminta izin untuk pulang lebih awal. Gladys mengatakan bahwa ia harus pergi ke dokter. Mendengar penjelasan Gladys itu, atasannya pun langsung memberi Gladys izin pulang lebih awal. Ia bergegas pulang ke rumah dan memasak beberapa hidangan untuk menjamu gadis bernama Anastasia itu. Ketika jam menunjukkan hampir pukul enam, Gladys pun membersihkan dirinya, berpakaian rapi dan meninggalkan rumah untuk pergi menemui dokter Bayu. Gladys memutuskan untuk menemui dokter Bayu lebih dahulu sebelum menemui Anastasia. Setidaknya ia telah meninggalkan satu meja makan penuh berisi makanan untuk menjamu tamu mereka itu. Ia juga meninggalkan surat di atas meja yang menerangkan kepada Oscar bahwa tiba-tiba ia ada urusan penting di kantor sehingga ia harus kembali lagi kesana. Mereka dapat mulai makan malam tanpa menunggunya kembali terlebih dahulu. Demikian pesan yang dituliskan Gladys untuk Oscar. Oscar dan Anastasia tiba di rumah ketika jam menunjukkan hampir pukul 18.30. Oscar mendapati rumah itu kosong namun dipenuhi aroma makanan yang begitu menggugah selera. Ia lantas membaca pesan yang ditinggalkan ibunya tersebut di atas meja makan. “Mama tidak ada rupanya.” Kata Oscar kepada Anastasia. “Tidak apa-apa. Aku bisa menunggu kok!” Jawabnya dengan suara yang begitu lembut. “Mama mengatakan kita bisa makan lebih dulu, tidak perlu menunggunya.” “Ya sudah kalau begitu.” Balas gadis itu. Mereka berdua pun duduk berhadapan di meja makan dan mulai makan malam. “Masakan mamamu enak sekali!” Puji gadis itu. “Iya, tentu saja. Masakan mama memang selalu seperti itu.” Oscar menyetujui. Sementara itu Gladys yang sedang berada dalam perjalanan menuju ke tempat praktek dokter Bayu justru terjebak kemacetan parah karena ada truk yang terguling dan nyaris menutup akses jalan itu. Untung saja jalan tersebut hanya satu arah sehingga polisi lalu lintas dapat mengatur kendaraan agar tetap bisa lewat meskipun harus melewati bahu jalan. Itu benar-benar malam yang memberi Gladys banyak keresahan. Karena meskipun arus lalu lintas masih dapat dikatakan berjalan lambat, ia takut jika seluruh pasien dokter Bayu sudah selesai diperiksa dan dokter tidak menunggunya lagi dan sudah pulang dari tempat praktek ketika ia tiba di sana.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN