Desember 1999
Tahun ini menjadi tahun yang begitu kelabu untuk Gladys dan kedua anaknya. Mereka masih mengingat dengan jelas kejadian di hari Natal setahun yang lalu ketika Herman memutuskan untuk pergi dari rumah itu.
Tidak hanya itu saja. Masih terekam dengan jelas di ingatan Dina dan Oscar bagaimana hari nahas itu hampir saja menjadi hari terburuk dalam hidup mereka berdua. Di suatu hari Minggu siang yang semula cerah di bulan September, Gladys bersama kedua anaknya itu baru saja selesai mengikuti ibadah di Gereja. Di tengah perjalanan mereka untuk kembali ke rumah, hujan deras tiba-tiba saja turun. Langit seketika berubah menjadi gelap dan kilatan petir sesekali terlihat di langit. Suasana gelap saat itu mirip seperti ketika sore akan berganti menjadi malam namun terasa sedikit mencekam karena disertai hujan. Dina dan Oscar segera mempercepat langkah mereka agar tidak kebasahan sampai ke rumah, tetapi Gladys justru semakin memelankan langkah kakinya. Beberapa kali Dina menoleh dan kebingungan karena melihat ibunya tidak ikut berlari untuk menghindari hujan bersama mereka.
Gladys lantas turun dari trotoar dan bergerak perlahan menuju ke tengah jalan raya. Ia berdiri mematung untuk sesaat di sana, kemudian merentangkan kedua tangannya lebar-lebar dan mengisyaratkan bahwa ia berharap untuk ditabrak oleh kendaraan yang akan lewat. Oscar dan Dina berlari sekuat tenaga untuk mencapai tempat di mana ibu mereka berdiri, dari kejauhan tampak sebuah mobil berwarna merah yang menuju ke arah Gladys, mobil itu terdengar membunyikan klaksonnya beberapa kali dan memberikan kode lampu agar orang yang sedang berdiri di tengah jalan itu menepi. Kedua anak itu berhasil menarik ibunya kembali ke trotoar sebelum mobil itu benar-benar dekat. Dina menangis tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Oscar terdiam membisu dalam paniknya. Mereka berhasil menyelamatkan ibu mereka yang tiba-tiba saja kehilangan akal sehatnya.
Mereka bertiga lantas duduk di trotoar di bawah guyuran air hujan. Memandang kosong ke arah jalan raya, tanpa saling berbicara satu sama lain. Dina sangat sedih. Oscar masih shock. Gladys menangis sesenggukan dan tidak menjelaskan mengapa ia tiba-tiba berbuat demikian. Padahal sejak pagi ketika mereka berangkat ke Gereja, kemudian mengikuti ibadah, selanjutnya beranjak pulang ia tampak baik-baik saja.
Beberapa hari setelah kejadian itu, barulah ia mengajak kedua anaknya untuk berbicara. Gladys memutuskan untuk tidak lagi membohongi kedua anaknya tentang keberadaan Herman dengan dalih sedang berdinas di luar kota. Gladys telah menyampaikan kepada Oscar dan Dina bahwa telah terjadi sesuatu yang buruk dalam pernikahan mereka sehingga ayah mereka memilih untuk menjalani hidup di tempat lain dan mengabaikan mereka.
Ia menjelaskan apa yang ia rasakan selama setahun terakhir ini. Bagaimana hatinya hancur karena diabaikan oleh suami yang ia cintai, bagaimana ia depresi karena ia tidak terbiasa menghadapi kesendirian yang datang begitu tiba-tiba, bagaimana ia kini kesulitan keuangan karena tidak ada lagi topangan biaya dari ayah mereka, namun ia tidak menjelaskan kepada mereka alasan dibalik tindakannya yang mencoba untuk mengakhiri hidupnya beberapa hari yang lalu.
Gladys meminta kedua anaknya itu untuk tidak membenci ayah mereka seburuk apapun perilakunya belakangan ini, karena ayah mungkin hanya sedang kehilangan akal sehatnya untuk sesaat, tetapi Gladys berpesan bahwa mereka tidak boleh berharap lebih akan kepulangan ayah mereka, karena itu mungkin saja terjadi dan mungkin juga tidak. Harapan yang besar akan membawa luka yang besar pula, jadi sebaiknya jangan menunggu ayah, ia akan kembali jika hati kecilnya menyuruhnya untuk kembali, demikian pesan Gladys kepada kedua anaknya.
Oscar dan Dina sebenarnya sudah tahu jika ayah mereka memiliki wanita lain. Mereka sering mendengar tetangga dan para orang tua murid di sekolah menggunjingkan keadaan mereka. Awalnya mereka memang sangat sedih dan terpukul, akan tetapi lama kelamaan mereka sudah bisa berdamai dengan keadaan yang demikian. Mereka bukannya tidak sedih lagi, melainkan terbiasa dengan kesedihan itu. Kesedihan bagai makanan sehari-hari untuk mereka, sehingga meskipun dalam hati terasa sangat pilu, air mata kedua anak itu sudah jarang menetes.
Natal tahun ini Gladys memutuskan untuk tidak menghias rumah dengan ornamen bahkan pohon Natal sekalipun. Itu hanya akan membuat mereka semua teringat pada Herman, yang pada tahun-tahun sebelumnya selalu ada bersama dengan mereka untuk menghias rumah dan merayakan Natal.
Keadaan Gladys masih sama, dipenuhi kesedihan, tubuh yang kurus dan wajah yang terlihat tua karena banyaknya beban pikiran dan menderita insomnia yang sangat parah. Sementara Dina memilih untuk mengalihkan semua kesedihannya pada makanan. Tubuhnya bertambah besar dan mengalami kelebihan berat badan. Berat badannya berada di atas normal untuk anak perempuan usia sembilan tahun. Berat badan normal anak perempuan usia sembilan tahun seharusnya berada di kisaran dua puluh sembilan sampai tiga puluh kilogram, tetapi kini berat badan Dina sudah mencapai empat puluh kilogram. Berbeda dengan Oscar yang menghabiskan waktunya dengan berolahraga untuk mengalihkan beban pikirannya. Ia berolahraga sejak jam pulang sekolah dan baru pulang menjelang waktu makan malam, entah ia pergi untuk jogging di lapangan milik TNI, bermain sepak bola, atau pergi berenang di kolam renang umum yang berada tidak jauh dari kompleks perumahan anggota TNI tempat mereka tinggal.
Hari Natal di tahun 1999 akhirnya berlalu begitu saja. Gladys hanya mengajak kedua anaknya pergi beribadah di Gereja di pagi hari, kemudian pulang untuk makan siang bersama. Pada sore harinya mereka pergi mengunjungi rumah orang tua Gladys, kemudian ke rumah orang tua Herman.
Di rumah orang tuanya, Gladys merasa sangat nyaman. Ia meminta orang tuanya untuk tidak membahas perihal masalah rumah tangganya dahulu. Ia meminta mereka untuk membahas apa saja, kecuali yang satu itu. Berbeda dengan yang terjadi ketika mereka berada di rumah orang tua Herman. Mertuanya itu terus meminta Gladys untuk bersabar dan tetap mendoakan Herman untuk pulang. “Bagaimana mungkin kamu bisa mendoakan orang yang sudah menghancurkan hatimu?” kata Gladys dalam hatinya, sembari tersenyum ketika mendengar nasihat dari mertuanya.
* * *
Hari ulang tahun Dina yang kesepuluh pun telah berlalu. Masih sama seperti tahun sebelumnya, dilewatkan tanpa ucapan maupun kehadiran Herman. Dalam hati, Dina mengharapkan sebuah keajaiban untuk kedua orang tuanya. Namun apa daya, keajaiban bahkan terasa jauh dari mereka. Memiliki ibu yang senantiasa berada didekatnya saja sudah membuat Dina merasa cukup.
Oscar yang tahun ini akan berusia tiga belas tahun telah menjadi murid Sekolah Menengah Pertama dan akan segera naik ke kelas dua. Tahun lalu ketika ia baru akan masuk ke sekolah itu, Gladys yang tidak memiliki cukup uang untuk keperluan pendaftaran, menyuruh Oscar untuk pergi ke rumah kakek dan neneknya, orang tua dari Herman, untuk meminta topangan dana. Tanpa basa-basi mereka langsung memberikan uang yang diminta oleh Oscar. Walau bagaimanapun, kedua orang tua Herman merasa ikut bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan cucunya ketika anak mereka yang seharusnya menjadi pemegang tanggung jawab itu memilih untuk mengabaikan mereka.
Gladys bukan tipe pengemis yang sedikit-sedikit meminta bantuan pada orang tuanya ataupun mertuanya. Selama ia masih memiliki jalan untuk mengusahakannya, ia akan mengupayakan itu dengan tangannya sendiri. Sebenarnya ia memiliki sejumlah uang yang ditabung di bank, yang sengaja ia simpan dan tidak boleh diambil sama sekali untuk alasan apapun. Uang itu mulai ia sisihkan sejak Oscar masuk Sekolah Dasar untuk memenuhi impiannya membeli sebuah rumah. Tidak hanya uang Gladys saja, dalam tabungan itu juga ada uang dari Herman, karena memiliki rumah sendiri adalah impian mereka berdua di awal pernikahan. Gladys berharap Herman tidak ingat akan uang itu sehingga membuat ia datang kembali untuk mengambilnya.
Seorang teman kantor Gladys menyarankannya untuk mencari kesibukan lain seperti berkebun. Berkebun mungkin dapat membuat Gladys lebih sibuk saat di rumah sehingga dapat membuatnya sejenak melupakan permasalahan rumah tangganya. Gladys menerima masukan itu. Beberapa teman kantor yang sudah sejak lama menekuni hobi berkebun tidak segan-segan membagi bibit tanaman yang mereka punya dengan Gladys, sehingga dalam waktu sekejap halaman depan rumah dinas tempat Gladys dan kedua anaknya tinggal mulai dihiasi dengan banyak tanaman, mulai dari bunga, tanaman obat, hingga bumbu masak.
Setiap sore Dina bersama ibunya menyiram tanaman dan mencabuti rumput liar di halaman rumah mereka. Gladys merasa cukup terhibur dengan aktivitas barunya itu. Apalagi ketika anak perempuannya juga mulai menunjukkan minat pada hal yang sama. Mereka berdua dapat menghabiskan waktu yang berkualitas setiap hari.
Oktober 2000
Hampir dua tahun sejak Herman pergi meninggalkan rumah. Gladys tidak pernah bertemu dengannya lagi sejak malam di mana Gladys memohon di kakinya itu. Terlebih Dina dan Oscar, terakhir kali mereka bertemu dengan ayah mereka adalah pada hari Natal 1998.
Gladys telah memutuskan untuk menunggu keajaiban datang sampai akhir tahun ini saja. Ia sudah cukup bersabar selama dua tahun terakhir. Jika Herman tidak kembali hingga akhir tahun ini maka ia benar-benar akan menganggap Herman telah pergi dari kehidupannya untuk selamanya. Tidak ada alasan baginya untuk tetap menunggu ketika orang yang ditunggunya pun bahkan tidak berencana untuk kembali, pikir Gladys.
Meskipun jauh dalam lubuk hati Gladys sesungguhnya ia masih sangat mencintai Herman. Herman telah mengisi hidupnya selama belasan tahun, mulai dari berpacaran selama empat tahun lalu kemudian membina rumah tangga selama dua belas tahun, sebelum akhirnya ia memutuskan untuk meninggalkan Gladys dan anak-anaknya.
Gladys memutuskan untuk berhenti menunggu Herman bukan karena bermaksud untuk membuka hati bagi hubungan yang baru. Ia hanya merasa terlalu lelah untuk mencintai namun diabaikan dan berujung pada kekecewaan. Ia juga tetap kukuh pada pendiriannya yang tidak ingin bercerai. Baginya, menikah adalah peristiwa sekali seumur hidup dan itu telah ia lakukan dengan Herman, jika itu tidak berhasil berarti ia telah gagal menggunakan satu-satunya kesempatan yang ia miliki. Ia lebih memilih untuk mengabdikan seluruh sisa hidupnya untuk mengasuh kedua anaknya, ketimbang harus memulai hubungan lagi dengan orang yang baru.
* * *
Di suatu sore yang cerah, ketika Oscar pulang dari bermain sepak bola di lapangan kompleks perumahan, ia berjalan melewati rumah Carlos dan Wanda. Wanda yang melihat Oscar langsung memanggilnya, “Oscar, bisa mampir sebentar?” Oscar melihat ke arah Wanda kemudian berbalik arah menuju ke tempat di mana ia dipanggil.
“Selamat sore, Tante. Ada apa ya?” Tanya Oscar dengan sopan.
“Tante mau menitip pesan untuk mamamu,”
“Oh iya, boleh Tante.”
“Tolong sampaikan pada mamamu untuk datang menemui tante nanti malam. Tante mau membicarakan sesuatu, bilang pada mama boleh datang jam berapa saja, tante tunggu,”
“Baik tante,” jawab Oscar sambil mengangguk kecil, “Oscar pamit pulang dulu kalau begitu.”
“Iya, terima kasih ya Oscar!”
“Sama-sama Tante,”
Oscar berlalu pergi dari hadapan Wanda dan berjalan menuju ke rumahnya. Sesampainya di rumah, ia langsung menyampaikan pesan Wanda tadi pada ibunya.
Malam itu Gladys menjadi tidak tenang. Ia menyiapkan makan malam untuk anak-anaknya tetapi hatinya sangat gusar dan pikirannya tidak fokus. Ia sangat ingin tahu apa yang ingin diingin dibicarakan oleh Wanda. Firasatnya kembali mengatakan bahwa itu bukan sesuatu yang baik, sebab tidak biasanya Wanda meminta ia untuk datang di malam hari jika bukan untuk urusan yang sangat penting. Wanda tipe orang yang bisa menunggu dengan sabar sampai besok hari, jika memang hal yang akan ia sampaikan tersebut bukan hal yang mendesak.
“Ma, kenapa makanan ini tawar?” Tanya Dina memecah lamunan Gladys.
“Mama pasti lupa memasukkan garam ya?” tebak Oscar sambil tersenyum nakal.
“Sini biar mama coba dulu,” Gladys menyendok sedikit kuah dari piring Dina untuk memastikan rasa makanan itu.
“Oh ya benar, mama lupa menambahkan garam,” kata Gladys sambil menggaruk kepalanya.
Malam itu Gladys memasak sup ayam dengan bihun, wortel dan kentang untuk makan malam mereka. Karena kurang konsentrasi, Gladys lupa menambahkan garam dalam masakannya.
“Supnya masih panas kok, masih bisa ditambahkan garam sekarang. Biar mama ambil garam dulu ya,” Gladys mengambil sejumput garam dan memasukkannya ke dalam sup lalu mengaduknya sebentar. Dina langsung mengambil sup yang sudah diberi garam dan menuangkannya ke piringnya, lantas segera mencicipinya, “Naaaaah, ini baru enak seperti biasanya…” kata Dina.
Selesai makan malam, ia mengantar anak-anaknya ke tempat tidur. Sebelumnya mereka sudah menyikat gigi dan berdoa bersama. Gladys berpesan kepada kedua anaknya untuk tidur saja dan tidak usah menunggunya kembali dari rumah Wanda. Ia mungkin akan sedikit lama berada di sana.
Gladys berjalan menembus kegelapan malam menuju rumah Wanda. Beberapa kali ia berpapasan dengan anggota TNI yang baru pulang dari piket. Mereka mengucapkan selamat malam pada Gladys dan ia pun membalasnya namun sambil menundukkan wajahnya berharap ia tidak dikenali. Ia takut jika orang-orang melihatnya berjalan seorang diri saat hari sudah larut malam, hal tersebut dapat menimbulkan isu yang tidak mengenakan baginya di kemudian hari.
Gladys tiba di rumah Wanda hanya dalam beberapa menit. Napasnya terengah-engah karena berjalan dengan sangat cepat. Wanda memberikan segelas air untuknya dan ia pun langsung meminum seteguk dari gelas itu. Wanda meminta Gladys untuk beristirahat sejenak dan membiarkan ritme jantung dan napasnya kembali normal dulu.
“Kamu sudah merasa lebih baik?” Tanya Wanda kemudian.
“Iya, mulai saja,” jawab Gladys.
“Baik, jadi begini…” Wanda hendak memulai tetapi tampak ragu-ragu. Wanda berjalan ke arah pintu depan lalu menutup pintu itu.
“Mulai saja tidak apa-apa,” Gladys meyakinkan Wanda.
“Sebenarnya tadi aku melihat Anissa di jalan.” Wanda menundukkan kepala dan menatap kedua lututnya, ia seperti tidak tega untuk melanjutkan perkataannya, “Dan sepertinya dia sedang mengandung, hmmm bukan sepertinya, tetapi memang sedang mengandung,” kata Wanda kemudian, “Perutnya sudah membesar dan kelihatan jelas dari balik bajunya meskipun ia menggunakan baju dengan ukuran besar untuk menyamarkan perutnya,” lanjutnya. “Aku juga membuntutinya. Sekarang aku tahu di mana mereka tinggal,”
Gladys menahan tangis ketika menyimak satu demi satu perkataan yang keluar dari mulut Wanda. Hatinya terluka sangat parah. Mungkin ini adalah luka hati terparah yang pernah ia alami seumur hidupnya.
Wanda beranjak dari kursi dan mengambil selembar kertas dan pulpen dari dalam laci meja kerja Carlos. “Biar aku gambarkan letak tempat tinggal mereka,” Wanda mulai menggambar di kertas sambil menjelaskan dan sesekali menanyakan pada Gladys apa Gladys tahu tempat yang ia maksudkan.
Malam itu, Wanda memanggil Gladys untuk menyampaikan sebuah berita yang sangat penting. Ia sengaja meminta Gladys untuk datang ke rumahnya, karena ia khawatir jika ia memberitahukan hal ini pada Gladys di rumah mereka, maka berita ini akan terdengar oleh Dina dan Oscar. Mereka terlalu kecil untuk mengerti masalah sebesar ini, pikir Wanda.
Wanda meminta Gladys untuk menenangkan diri, bahkan jika Gladys mau Wanda tidak keberatan untuk mengantar Gladys pulang kembali ke rumahnya dan menemaninya di sana sampai pagi. Toh Carlos suaminya pun sedang pergi untuk berpiket dan nanti akan kembali lagi pada pagi hari. Tetapi Gladys menolak tawaran baik dari Wanda itu. Ia meneguk sisa air putih pemberian Wanda tadi dalam satu tarikan napas, menghapus air mata di pipi kiri dan kanannya dengan tangan, lalu berpamitan.
Wanda sangat mencemaskan kondisi kesehatan Gladys yang telah lebih dari setahun ini, bahkan hampir dua tahun, hidup menderita karena perselingkuhan suaminya. Tubuhnya telah berubah menjadi kurus kering, bahkan wajahnya terlihat jauh lebih tua dari umurnya. Wanda terus memandangi Gladys yang berjalan pergi meninggalkan rumahnya hingga ia benar-benar tidak tampak lagi karena tertutup gelapnya malam.
Gladys kembali melangkah dengan cepat menembus dinginnya malam. Saat itu sudah lewat dari tengah malam. Ia pulang ke rumah untuk memeriksa keadaan anak-anaknya, ternyata Dina dan Oscar sudah tertidur pulas. Ia lantas melangkah menuju ke kamarnya, mengambil tas selempang yang tergantung di belakang pintu kamar, memasukkan beberapa barang yang ia ambil dari laci meja rias, kemudian pergi lagi.
Langkah Gladys begitu cepat seperti tak terhentikan bahkan oleh apapun. Ia mengingat dengan jelas setiap detail perkataan Wanda. Setelah sekitar lima belas menit berjalan kaki, Gladys pun tiba di tempat yang dimaksud oleh Wanda. Sebuah rumah tua bercat putih usang yang terletak di gang sempit, yang sebenarnya tidak begitu jauh dari kompleks perumahan anggota TNI tempat ia tinggal. Rumah itu letaknya paling pojok, agak terpisah dari rumah-rumah yang lain.
Gladys mengetuk pintu rumah yang terbuat dari kayu dan dicat dengan warna cokelat tua itu beberapa kali tanpa memberikan salam. Tidak lama kemudian terdengar suara langkah kaki seseorang dari dalam rumah yang datang untuk membukakan pintu. Begitu pintu rumah terbuka, tampak oleh Gladys rupa Anissa, atau yang dikenal dengan sebutan Ibu Kantin, yang selama ini membuat dirinya nyaris mati penasaran.
Anissa adalah wanita berusia pertengahan tiga puluhan, wajahnya cantik dan berkulit putih mulus. Dari wajahnya dapat terlihat jelas bahwa ia masih keturunan Arab. Hidung kurus dan mancung serta matanya yang besar membuat ia tampak sangat menarik. Rambutnya keriting dan panjang. Ia tidak terlalu tinggi, mungkin tingginya sama seperti Gladys, kurang dari 160 centimeter.
Persis seperti yang dikatakan oleh Wanda tadi, Anissa – si wanita lain dalam pernikahan Gladys dan Herman – kini tengah berbadan dua dan perutnya sudah membesar, berdiri tepat di hadapan Gladys. Malam itu ia mengenakan daster berwarna hijau muda bermotif bunga-bunga berwarna-warni yang panjangnya selutut.
Gladys maju beberapa langkah untuk masuk ke dalam rumah kemudian mendorong Anissa hingga jatuh ke lantai. Wanita itu menatap Gladys dengan penuh ketakutan. Gladys lalu mengunci pintu rumah itu dari dalam. Ia berjalan mendekat kemudian menurunkan tubuhnya untuk menduduki pangkal paha Anissa. Wanita yang sedang mengandung itu tampak kebingungan dan tidak mampu untuk melawan.
“Apa yang akan kau lakukan?” Tanya Anissa dengan air mata yang mulai menetes dari sudut matanya,
Gladys lalu mengeluarkan sebuah pisau cutter dari dalam tasnya, benda yang ia ambil dari laci meja riasnya sebelum ia mendatangi tempat itu. Ia membekap mulut Anissa dengan satu tangannya, sementara tangan yang lain memegang pisau itu.
“Kamu tahu kan siapa aku?” Tanya Gladys.
Anissa menangis meronta-ronta berupaya untuk melepaskan diri. Tetapi dalam kondisinya yang tengah hamil besar, tentu tidak mudah baginya untuk melawan bahkan untuk bangun dari posisinya yang tertidur di lantai saat itu.
“Aku akan sedikit menyakiti kamu tetapi setelah itu aku akan membiarkan kamu hidup bahagia bersama Herman,”
“Jangan menangis, ini tidak akan lama.” bisik Gladys. Wajahnya menunjukkan ekspresi kemarahan yang sangat besar, napasnya tidak beraturan, dan matanya membelalak lebar memandang Anissa.
Dengan cepat Gladys menyayat pipi Anissa dengan cutter yang dibawanya. Mula-mula ia menyayat pipi kanan wanita itu satu kali. Darah segar mengucur keluar. Melihat hal itu Gladys menjadi tidak bisa menahan diri, adrenalinnya semakin terpacu dan dalam hatinya seperti ada euphoria yang tidak bisa ia jelaskan. Ia segera menambah sayatannya hingga total ada tiga sayatan di pipi kanan Anissa.
“Jangan menangis!” bentak Gladys karena mendengar suara tangisan Anissa yang semakin keras. Gladys membekap mulut Anissa dengan lebih kuat lagi.
Bekapan Gladys dan kucuran darah yang cukup banyak akhirnya menyebabkan wanita itu pingsan. Melihat hal itu, Gladys merasa bahwa inilah saatnya untuk pergi. Ia memasukkan kembali cutter yang ia gunakan tadi ke dalam tasnya dan berlari meninggalkan rumah itu.
Saat berada di ujung gang, Gladys tidak sengaja bertabrakan dengan Herman. Melihat Gladys yang baru keluar dari gang tempat rumah persembunyiannya, Herman langsung bisa menebak bahwa Gladys mungkin telah bertemu dengan Annisa. Ia juga bisa merasakan bahwa pasti ada sesuatu yang terjadi dengan Anissa. Maka ia pun bergegas pulang.
Gladys berlari di sepanjang troatoar di tengah malam itu gelap dan sunyi itu. Ditangannya masih ada tersisa tetesan darah Anissa. Ia menggosok-gosokkan tangannya yang terkena darah itu ke celana panjang hitam yang ia kenakan. Darahnya tersapu namun nodanya tetap tertinggal di tangan Gladys.
Ia berhenti berlari karena kelelahan. Ia menelan ludahnya beberapa kali untuk membasahi tenggorokannya yang terasa sudah sangat kering. Malam itu ia memutuskan untuk tidak pulang ke rumah. Ia menghentikan langkahnya ketika berada di depan bangunan kantor polisi. Ia mengatur pakaiannya yang sedikit berantakan, menyisir rambutnya dengan jari, lalu berjalan masuk ke sana dengan tenang.