Apa Papa Akan Kembali?

2124 Kata
Juli 1999 Telah lebih dari setengah tahun berlalu sejak pertengkaran hebat antara Gladys dan Herman. Tidak sekalipun Herman datang untuk mengunjungi anak-anaknya. Gladys masih sedih tetapi sudah berhasil menguasai dirinya kembali. Ia mengurus anak-anaknya dengan baik, Dina dan Oscar tampak sehat, meskipun raut kesedihan dapat terlihat dengan jelas di wajah mereka. Oscar kembali bermain dengan anak-anak di kompleks perumahan, demikian halnya dengan Dina. Dina mulai memberanikan diri untuk sesekali pergi bermain-main ke rumah tetangga. Mereka menerima Dina dan Oscar dengan baik. Berita kepergian ayah mereka menjadi bahan perbincangan hangat di kompleks perumahan dan tidak ada satu pun dari mereka yang membenarkan tindakan Herman terhadap istri dan anaknya. Simpati berdatangan untuk Gladys dan kedua anaknya. Para tetangga yang semula hanya berkomunikasi seadanya dengan Gladys, kini mulai sering datang ke rumah Gladys untuk menunjukkan dukungan, entah untuk sekadar mengobrol atau memasak bersama. Sangat sering pula mereka membawakan makanan atau kue-kue kecil untuk Dina dan Oscar. Kedua anak itu menerima semua pemberian dengan senang hati. Pada ulang tahun Dina yang ke sembilan di bulan Januari, Gladys tidak membuat perayaan apapun. Ia hanya mengajak Dina dan Oscar mengunjungi rumah orang tuanya, lalu kemudian mengunjungi rumah orang tua Herman. Ia memutuskan untuk menceritakan kepada orang tua dan mertuanya tentang apa yang terjadi di antara dirinya dan Herman. Orang tuanya sangat terkejut mendengar pengakuan Gladys itu, namun mereka memberikan kebebasan penuh kepadanya untuk memutuskan nasib pernikahan mereka selanjutnya, sedangkan orang tua Herman hanya meminta Gladys untuk bersabar sedikit lebih lama lagi dan meyakinkannya bahwa Herman tidak akan bersikap seperti itu selamanya dan pasti akan kembali menjadi Herman yang dulu. Sementara Gladys sendiri malah tidak yakin jikalau hal itu akan menjadi kenyataan. Sementara Herman, ia bukan hanya tidak datang untuk memberi ucapan selamat ulang tahun pada Dina yang sangat mengharapkan kedatangannya, ia bahkan tidak ingat akan ulang tahun anaknya itu. Herman setahun yang lalu dan Herman yang ada saat ini benar-benar merupakan dua pribadi yang berbeda. Tidak pernah terlintas sekalipun dalam benak Gladys kalau suaminya akan berubah sedrastis ini. Mengingat bahwa Gladys tidak memberikan larangan pada Herman jikalau ia ingin mengunjungi anak-anaknya, sesungguhnya tidak ada jurang pemisah antara Herman dan anak-anaknya, justru Herman sendirilah yang membuat jarak dengan anak-anaknya itu.    * * * Suatu ketika di hari Minggu yang cerah, Wanda datang mengunjungi Gladys. Ia datang dengan tergesa-gesa karena memiliki sebuah berita yang sangat ingin ia sampaikan. Melihat Wanda datang dengan wajah yang serius, Gladys langsung mengajak Wanda masuk ke dalam kamarnya agar pembicaraan mereka tidak terdengar oleh Oscar dan Dina yang sedang menonton televisi di ruang keluarga. “Aku punya berita untukmu,” kata Wanda memulai pembicaraan. ”Tapi tolong kamu kuatkan hatimu ya,” “Pasti tentang Herman ya?” Tanya Gladys. “Iya.” “Baik, silakan mulai kalau begitu.” Gladys bersiap untuk menerima berita yang akan disampaikan oleh Wanda. Ia memiliki firasat kalau berita yang dibawa oleh Wanda bukan berita yang baik. Telapak tangannya yang sejak tadi berada di atas lutut seketika menjadi basah oleh keringat. Dalam keheningan yang hanya sesaat itu, Gladys bisa mendengar suara detak jantungnya yang semakin cepat. “Jadi sebenarnya Herman memang punya wanita lain,” ucap Wanda memecah keheningan, “Noda lipstik yang kamu lihat di leher Herman itu bukanlah halusinasimu.” lanjutnya. Wanda berkata demikian karena beberapa bulan yang lalu Gladys pernah mengatakan kepadanya bahwa kini ia sendiri pun ragu dengan apa yang dilihatnya di leher Herman pada malam itu. Ia mulai merasa kalau Herman mungkin saja benar bahwa itu hanya halusinasinya semata. Saat itu Wanda menjawab seperti ini, “Jangan meragukan dirimu sendiri hanya karena kamu sudah terlalu lelah untuk menghadapi semua ini sendiri. Kamu tidak harus membenarkan kesalahannya hanya karena kamu sangat ingin dia kembali. Bukan seperti itu cara rumah tangga bekerja.” Ucapan Wanda itulah yang akhirnya membuat Gladys mantap untuk memberitahu tentang keadaan hubungannya dengan Herman kepada orang tua dan mertuanya, pada hari ulang tahun Dina yang ke sembilan di bulan Januari yang lalu. Ia menjadi mantap untuk membagi deritanya dengan mereka. Ia tidak seharusnya menghadapi luka hati seperti ini sendirian ketika ia sebenarnya memiliki tempat untuk berbagi. Wanda kemudian memegang tangan Gladys erat-erat dan berkata, “Wanita itu adalah Anissa. Yang dikenal dengan sebutan ibu kantin.” Ingatan Gladys langsung tertuju pada malam di mana Herman pulang dengan membawa sekotak cake coklat yang menurutnya adalah pemberian dari ibu kantin. “Herman bahkan merahasiakan hal ini dari Carlos,” Wanda melanjutkan, “Ini justru aku dengar saat mengunjungi kantin kantor. Kemarin aku ikut Carlos ke kantor karena ada urusan dengan bagian koperasi, kemudian saat menunggu waktu janjian, aku pergi untuk membeli minuman di kantin. Saat itu aku mendengar mereka mengobrol,” “Siapa yang mengobrol?” Gladys memotong ucapan Wanda. “Anissa dan saudara perempuannya mungkin,” jawab Wanda. “Saudaranya juga bekerja di kantin itu. Aku menduga mereka bersaudara karena wajah mereka sangat mirip. Dia menanyakan sampai kapan Anissa akan berpacaran dengan Herman. Anissa menjawab sampai Herman menceraikan istrinya dan menikahinya. Wanita yang aku duga sebagai saudaranya itu lantas mengatakan bahwa hal itu mungkin masih lama atau tidak akan pernah terjadi, Anissa tidak menjawab, dia hanya tersenyum.” terang Wanda. Gladys terdiam setelah mendengar cerita Wanda. Ia tidak tahu apa yang kini dirasakannya. Kepalanya seketika sakit dan dadanya sesak. Ia tidak ingin menangis. Ia ingin terlihat kuat di depan Wanda. “Apa kamu tidak berpikir untuk menemui Herman dan bicara?” Tanya Wanda kemudian. “Belum terpikirkan olehku,” jawab Gladys dengan lesu seperti tidak bersemangat. “Bagaimana jika mereka menikah diam-diam? Mereka bisa saja menikah di bawah tangan tanpa sepengetahuanmu,” Mendengar itu air mata Gladys sontak jatuh dan itu jatuh tepat ke pangkuannya. “Apa aku harus meminta Herman kembali?” Tanya Gladys dengan ragu-ragu. “Ya. Bahkan jika kamu harus memohon atau memaksa, lakukan saja. Apa kamu rela suami yang sudah kamu nikahi selama belasan tahun direbut wanita lain? Ingat Oscar sudah beranjak remaja dan Dina tidak lama lagi akan remaja juga. Bayangkan beratnya beban psikologis mereka,” Mendengar itu air mata Gladys jatuh semakin deras. “Lakukan jika kamu sudah siap. Bagaimanapun caranya kamu tidak boleh kalah dari perempuan itu. Kamu adalah istri Herman, kamu berhak atas suamimu.” Kata Wanda sambil mengusap-usap punggung Gladys yang sedang menangis untuk menenangkannya.   Malam itu Gladys kembali tidak bisa tidur karena memikirkan perkataan Wanda. Pikirannya mulai bercabang kemana-mana. Ia ingin Herman kembali namun atas kesadaran Herman sendiri, bukan karena ia yang memohon atau memaksa. Ia merasa harga dirinya akan terlukai jika ia harus pergi menemui dan memohon kepada Herman untuk kembali. Ia takut akan menjadi bahan tertawaan orang-orang di kantor, terlebih wanita simpanan Herman, atau mungkin malah hanya akan menjadi bahan tertawaan Herman. Di sisi lain ia tahu anak-anaknya tidak menginginkan untuk hidup terpisah dari ayah yang sangat mereka sayangi. Gladys terjaga hingga pagi tiba. Ia tidak tidur sama sekali. Ia takut untuk membayangkan apabila Herman menolak permintaannya, akan sehancur apa hatinya nanti. Ia berada dalam dilemma yang besar, antara harga dirinya atau perasaan kedua anaknya. Akhirnya ia membuat keputusan. Sepulang kantor, ia mengantarkan anak-anaknya untuk dititipkan di rumah orang tuanya. Berhubung itu adalah hari Jumat, setidaknya ia punya dua hari untuk melakukan hal itu, menata perasaannya lagi, lalu menjemput anak-anaknya kembali. Setelah mengantarkan anak-anaknya, ia menempuh perjalanan untuk pulang ke rumah dinas. Sebelum menuju rumah, ia mampir ke kediaman Carlos dan Wanda. Ia ingin bertanya apakah Carlos mengetahui jadwal piket Herman. Carlos memberitahu bahwa malam ini ia akan bertukar piket dengan Herman. Ini adalah kesempatan yang baik baginya untuk bisa bertemu dengan Herman, demikan pikir Gladys. Wanda menawarkan Gladys untuk menunggu di rumah mereka saja sampai pada waktunya Carlos berangkat untuk piket tiba. Gladys pun mengiyakan. Sembari menunggu, ia makan malam bersama dengan mereka. Pasangan itu memiliki perhatian yang besar terhadap Gladys dan kedua anaknya, karena mereka melihat sendiri bagaimana keseharian Gladys dalam membagi waktu antara pekerjaan dan mengurus kedua anaknya seorang diri. Mereka juga saksi hidup seberapa dalam luka hati yang dialami Gladys hingga memakan habis daging di tubuhnya dan menyisakan tubuh kurus dan ringkih. Akhirnya tiba waktunya bagi Carlos untuk berangkat piket. Gladys berjalan beriringan dengan Carlos menuju kantor. Sepanjang perjalanan, Gladys tidak banyak berbicara. Carlos mengatakan bahwa Gladys tidak perlu masuk ke dalam kompleks kantor, melainkan menunggu saja di depan pagar karena Herman pasti akan lewat situ saat ia hendak meninggalkan kantor. Gladys hanya mengiyakan perkataan Carlos saja. Lima belas menit setelah Carlos masuk ke dalam, Herman keluar melalui pagar tempat Gladys menunggu. Gladys yang melihat itu, langsung memanggil Herman. Herman menoleh dan langsung berjalan ke arah Gladys. “Aku ingin bicara,” kata Gladys “Baik, di mana?” “Di rumah saja.” “Oke.” Mereka berjalan menuju rumah tanpa saling bicara sepatah kata pun. Yang terdengar hanya suara derap boots Herman di tengah malam yang sunyi itu. Sesampai mereka di rumah, Herman tidak mendapati keberadaan Dina dan Oscar. “Di mana anak-anak?” tanyanya dengan kebingungan. “Aku titipkan di tempat orang tuaku.” “Baiklah kalau begitu. Apa yang ingin kau bicarakan?” Gladys terlebih dahulu menarik napas panjang sebelum mulai berbicara. “Apa kita hanya akan seperti ini saja?” “Lalu?” Tanya Herman sambil mengangkat salah satu alisnya. “Tinggal terpisah seperti ini, sementara kita masih suami istri…” Gladys belum selesai dengan perkataannya, tetapi Herman langsung memotongnya. “Kalau begitu kita bercerai saja,” kata Herman dengan enteng. Gladys terkejut mendengar ucapan Herman. Ia tidak menyangka bahwa respon seperti itu yang akan ia dapatkan dari suaminya. “Aku tidak mau!” jawabnya dengan tegas. “Tapi aku mau!” balas Herman dengan sedikit meninggikan suaranya. “Apa kamu tidak berpikir tentang anak-anak?” “Seharusnya kamu yang berpikir tentang anak-anak terlebih dahulu sebelum memulai pertengkaran denganku waktu itu!” nada bicara Herman semakin meninggi. “Jadi aku tidak berhak mengkonfrontasikan apa yang aku lihat? Jadi menurut kamu, aku harus diam saja ketika melihat ada yang tidak beres denganmu? Aku harus berpura-pura bodoh, begitu?” Gladys mulai menangis. “Cukup Gladys! Aku tidak ke sini untuk melihat air matamu itu!” “Aku tidak ingin bercerai. Titik!” kata Gladys dengan tegas. “Jangan mempersulit posisiku, Gladys! Aku sudah tidak mencintaimu lagi. Jadi aku harap kamu tidak menahanku lebih lama lagi dalam hubungan ini.” “Semudah itu kamu melupakan pernikahan kita yang sudah kita bina selama tiga belas tahun?” “Ayolah… Aku merasa sudah cukup dengan semua ini. Kita sudahi saja semua ini baik-baik. Bukankah jika kita berpisah secara baik-baik kamu pun bisa melanjutkan hidupmu dengan baik? Kita mungkin bisa memiliki keluarga yang lebih bahagia.” “Jadi menurutmu selama ini keluarga kita tidak bahagia? Tidak Herman, aku tetap tidak ingin bercerai!” Herman duduk di sofa tempat dulu ia biasa tertidur sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. “Bagaimana kamu bisa setega ini pada kami?” Tanya Gladys. Herman tidak menjawab. Ia hanya melayangkan pandangan matanya keluar rumah, entah apa yang sedang ditatapnya. “Apa benar wanita itu adalah si ibu kantin?” Tanya Gladys lagi. Herman terkejut karena mendapati Gladys sudah mengetahui siapa wanita simpanannya itu, tetapi ia memilih untuk tidak menjawab pertanyaan Gladys. “Aku mau pulang saja. Tidak ada titik temu dari pembicaraan ini.” Gladys mencegat Herman yang hendak keluar melalui pintu depan. Ia lantas berlutut dan memeluk kaki Herman dan menangis. “Aku mohon, demi anak-anak kita…” Herman memegang pundak Gladys kemudian berkata padanya, “Gladys, dengar. Aku benar-benar tidak bisa. Aku harap kamu mengerti.” Herman menggeser dengan pelan tubuh Gladys yang tepat berada di kakinya dan tetap berlalu pergi. Gladys lalu masuk ke dalam rumah, mengunci pintu, lalu menangis sejadi-jadinya. Hatinya hancur. Ia tidak bisa memenangkan hati suaminya lagi bahkan ketika ia sudah merendahkan dirinya sampai serendah itu. Ia lalu berjalan ke kamar mandi. Ia ingin mandi untuk menyegarkan pikirannya. Ia masih menangis. Dadanya menjadi sesak karena terlalu banyak menangis. Ia membenamkan kepalanya berkali-kali ke dalam bak air. Ia merasa sangat bodoh telah memohon kepada Herman seperti itu.   Keesokan harinya ia jatuh sakit. Tubuhnya demam dan ia mengalami pilek yang sangat parah karena terlalu banyak membenamkan kepalanya di air semalam. Penolakan Herman tidak hanya melukai perasaannya, tetapi juga memukul mentalnya. Ia menjadi sangat down karena peristiwa itu. Luka yang sebelumnya masih belum sembuh tetapi Herman sudah menorehkan luka yang baru lagi di hatinya. Ia tidak tahu sampai kapan ia bisa bertahan. Ia teringat pada Dina yang setiap malam sebelum tidur selalu menanyakan kapan ayahnya akan kembali dari dinas luar kota. Gladys tidak tahu sampai kapan ia bisa berbohong pada Dina dan Oscar. Gladys benar-benar bingung, terluka, dan putus asa. Tiga belas tahun pernikahan yang dijalaninya dengan Herman akan segera berakhir, bukan karena maut melainkan karena kehadiran wanita lain. Seumur hidupnya ia tidak pernah merasakan patah hati separah ini. Ia bahkan tidak punya pengharapan lagi akan membaiknya hubungan mereka.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN