Oscar berada dalam perjalanan untuk pulang ke rumah setelah menyelesaikan seluruh pekerjaannya hari ini. Ia melirik ke arah jam tangannya dan mendapati bahwa itu sudah hampir pukul tujuh malam.
“Pesawat Karen harusnya sudah mendarat di Jakarta sekarang.” Pikirnya.
Ia lalu mengirimkan pesan kepada Karen untuk menanyakan keberadaannya. Oscar menerima pemberitahuan bahwa pesan tersebut telah terkirim. Ia sangat mengharapkan balasan dari Karen saat itu.
Begitu tiba di rumah, ia disambut oleh Gladys ibunya dan Dina adiknya yang sedang makan malam. Ia pun segera bergabung dengan mereka. Ibunya segera mengambilkan makanan untuk Oscar, seperti biasanya.
Oscar meletakkan ponselnya di atas meja makan di samping piringnya sambil terus memperhatikan layar ponselnya itu.
“Dari tadi kamu memperhatikan ponselmu terus, apa yang sedang kamu tunggu?” Tanya Gladys kepada Oscar dengan entah hanya sekedar ingin tahu atau sedang menyelidiki.
“Tidak ada, Ma.” Jawab Oscar, berdusta.
“Menunggu kabar dari gadis itu ya?” Desak Gladys.
“Eh… Iya Ma, dia sudah berangkat tadi sore dan dia belum memberi kabar tentang keberadaannya sampai malam ini.” Oscar tidak dapat berkelit.
“Dia pasti sudah sampai. Mungkin saja dia sudah dijemput oleh kekasihnya sehingga tidak punya waktu untuk membalas pesanmu.” Gladys menebak seenaknya.
Oscar mengangguk pelan dan menunjukkan ekspresi kekecewaaan di wajahnya.
“Setelah ini mama mau bicara denganmu!”
Oscar segera menghabiskan makanannya kemudian pergi ke kamar mandi untuk mandi. Sementara itu, ia tidak bisa berhenti memikirkan Karen. Sebenarnya ia agak cemas apakah Karen benar-benar sudah tiba di Jakarta dengan selamat atau sesuatu telah terjadi kepadanya.
Selesai mandi, Oscar berpakaian dan duduk termenung di kamarnya. Gladys kemudian masuk dan bergabung dengannya.
“Os, mama tahu kamu pergi menemuinya tadi malam.” Gladys memulai tanpa basa-basi.
Oscar terkejut dengan betapa jeli ibunya membaca situasi.
“Mama tahu dari mana?” Oscar mencoba untuk berkelit.
“Bau parfum gadis itu menempel dengan kuat di pakaian yang kamu gunakan semalam. Tadi pagi sewaktu mama mencucinya dengan segera mama bisa menangkap bau parfum itu.”
“Ma, Karen mencintai Oscar dan begitu juga sebaliknya!” Jawab Oscar tanpa memberi penjelasan atas pendapat ibunya barusan.
“Kalian bersama bukan semalam?” Gladys bertanya dengan nada penuh kecurigaan.
“Iya.” Jawab Oscar.
“Bukan itu maksud mama,” Gladys memperjelas pertanyaannya, “Kalian melakukan sesuatu yang seharusnya tidak kalian lakukan, bukan?”
“Mama, apa-apaan sih!” Bantah Oscar.
“Os, jawab dengan jujur! Kamu pulang sangat larut kemarin, mama tidak percaya kalau kalian hanya mengobrol saja!” Ujar Gladys dengan tegas.
“Oscar tidak seperti itu, Ma!” Bantahnya.
“Mama yang melahirkan kamu, mama tahu kapan kamu berdusta dan kapan kamu bicara jujur.”
Oscar terdiam untuk beberapa saat. Ia dilanda ketakutan dan kebingungan. Ia akhirnya mengaku kepada ibunya sambil berurai air mata.
“Maafkan Oscar, Ma…” katanya sambil menangis seperti anak kecil.
Gladys sangat terkejut mendengar jawaban itu. Ia telah mencurigai hal itu sebelumnya namun masih tetap berharap jika itu hanya sebatas dugaannya saja. Namun kenyataannya apa yang ia sangkakan kepada Oscar justru adalah apa yang sebenarnya terjadi.
“Oscar!” Seru Gladys dengan geram. “Bagaimana mungkin kamu bisa melakukan itu?”
“Oscar tidak tahu, Ma…” katanya masih sambil menangis.
Oscar yang telah berumur dua puluh dua tahun kini menangis bagai anak kecil di depan ibunya.
“Mama mengajari kalian untuk hidup dengan benar, untuk hidup bersih, kenapa kamu bisa melakukan ini?” Gladys begitu marah kepada anak laki-lakinya itu.
Oscar berlutut di kaki ibunya dan menangis di sana.
“Oscar minta maaf, Ma…”
Gladys memegang pundak Oscar dan sedikit mengangkat tubuhnya.
“Bagaimana dengan gadis itu?” Tanya Gladys dengan wajah yang tampak khawatir.
“Apa dia juga belum pernah melakukannya?” Ujar Gladys memperjelas.
Oscar mengangguk pelan.
“Oscar…” Gladys tampak begitu kacau. “Kamu sudah merusak masa depan anak gadis orang lain!”
Oscar kembali menangis dan meletakkan kepalanya di atas pangkuan ibunya.
“Kenapa kamu bisa bertindak sebodoh ini sih?” bentaknya.
“Oscar tidak tahu, Ma. Yang Oscar tahu hanyalah kami saling mencintai dan kami benar-benar khilaf semalam.” Jawab Oscar dengan penuh penyesalan.
“Lalu apa kamu meminta maaf kepadanya setelah itu?” Tanya Gladys.
Oscar menggelengkan kepalanya.
“Jika kamu memang mau meminta maaf, kamu harus minta maaf kepadanya bukan kepada mama!” Kata Gladys dan disambut dengan anggukan kepala Oscar.
“Dan satu lagi, Os.” Gladys menambahkan, “Jika sesuatu terjadi kepadanya, maka kamu harus siap untuk bertanggung jawab. Kamu paham maksud mama?”
Oscar tampak kebingungan.
“Gadis itu mungkin saja hamil karena perbuatanmu dan kamu harus siap untuk menikahinya tidak peduli usiamu sekarang baru dua puluh dua tahun!”
Oscar terlihat begitu terkejut. Ia tidak berpikir sampai ke situ. Seketika kepanikan melanda Oscar, sekujur tubuhnya kini bermandikan peluh.
“Kamu harus paham kalau ada konsekuensi dari setiap tindakan yang kamu ambil. Jika nanti dia hamil, kamu harus menikahinya. Jika nanti kamu sudah menikah dengannya, kamu harus siap menerima sikap orang tuanya yang tidak menyukaimu itu. Resiko dari mencintai Karen adalah siap diperlakukan dengan tidak adil oleh orang tuanya. Kamu tidak punya pilihan selain menerimanya karena itu adalah orang tua dari wanita yang kamu cintai…”
“Bagaimana jika Karen tidak hamil?” Potong Oscar secara tiba-tiba.
“Bahkan jika dia tidak hamil pun kamu harus tetap bertanggung jawab.”
“Oscar harus menikahinya juga?” Tanya Oscar dengan polos.
“Tidak nak. Kamu hanya harus meminta maaf kepadanya, kamu juga harus terus memohon ampun kepada Tuhan dalam setiap doamu dan jangan ulangi perbuatan semacam itu lagi jika bukan dengan pasangan sahmu!”
Oscar menganggukan kepalanya. Setelah itu Gladys pun pergi meninggalkan kamar Oscar.
Oscar kini seorang diri lagi di kamar dan bingung sendiri tentang apa yang akan terjadi berikutnya.
Ia terus berusaha menghubungi Karen tapi wanita itu tidak menjawab teleponnya.
“Apakah Karen masih memegang janjinya soal menjadi pacar hanya selama tiga hari sehingga ia tidak bersedia untuk dihubungi lagi?” Tanya Oscar dalam hati.
Hari itu pun berlalu tanpa ada kabar dari Karen.
Tiga hari setelah keberangkatan Karen, Oscar masih berusaha untuk menghubunginya namun tetap tidak ada respon. Inilah yang akhirnya membuat Oscar menyerah. Ia pun memutuskan untuk berhenti menghubungi Karen.
“Hidup harus tetap berlanjut, Oscar!” Kata Oscar kepada dirinya sendiri di depan cermin.
Beberapa bulan berlalu sejak hari keberangkatan Karen. Tidak ada kabar sama sekali yang diterima oleh Oscar.
Di suatu malam Minggu, Oscar sedang berpiket di polsek tempatnya bertugas. Karena sudah larut malam, polsek tersebut tampak begitu sunyi. Hanya ada empat orang yang berpiket malam itu termasuk Oscar.
Sebuah cahaya menyilaukan menembus kaca bagian depan bangunan polsek, yang mana cahaya itu datang dari sebuah mobil jenis sedan berwarna hitam yang memasuki halaman polsek.
Oscar dan dua rekannya serta satu orang lagi polisi senior yang adalah atasan mereka segera keluar ke bagian depan kantor untuk melihat siapa yang datang itu.
Begitu mesin mobil dimatikan, pintu di sisi pengemudi tampak terbuka. Seseorang terlihat keluar dari sana.
Dari tempat mereka berdiri, Oscar dan ketiga temannya dapat melihat bahwa yang keluar dari mobil itu adalah seorang perempuan. Mereka begitu penasaran apa yang membawa perempuan itu ke kantor polisi malam-malam begini.
Belum sempat ia mencapai pintu masuk kantor polisi, wanita muda itu tampak sudah terkulai lemas dan jatuh pingsan di pelataran parkir polsek. Hal tersebut sontak membuat Oscar dan teman-temannya terkejut.
Mereka semua berlari mendekati wanita itu dan melihat bahwa wanita itu terluka. Wajahnya dipenuhi luka dan bekas darah yang telah mengering.
“Sepertinya dia harus segera dibawah ke rumah sakit,” kata salah seorang rekan Oscar.
Atasan Oscar itu segera melompat meraih kunci mobil patroli yang tergantung di dinding. Ia pergi mengambil mobil dan membawanya ke dekat wanita yang pingsan itu.
“Kami akan membawa wanita ini ke rumah sakit, kalian tetap standby di pos!” Katanya.
Oscar dan atasannya kemudian menaikkan wanita tadi ke mobil patroli dan segera melaju menuju rumah sakit milik polisi.
Begitu tiba di sana, petugas medis yang sedang berdinas malam itu pun dengan sigap menyambut kedatangan mereka. Mereka mendekati mobil patroli dengan membawa brankar.
Wanita itu dibopong keluar dari mobil patroli, dinaikkan ke brankar kemudian didorong dengan cepat oleh para petugas medis itu menuju ke unit gawat darurat (UGD).
Atasan Oscar pergi memarkirkan mobil patroli ke tempat parkir yang seharusnya sementara Oscar ikut dengan para petugas medis tadi mengantar wanita itu ke UGD.
Dokter yang bertugas di UGD segera memeriksa wanita tersebut. Sementara wanita tersebut masih belum sadarkan diri.
“Luka-lukanya tidak wajar, mungkin ia seharusnya langsung divisum saja.” Ujar dokter perempuan berusia sekitar empat puluh tahunan itu.
Dokter itu kemudian berjalan meninggalkan wanita tadi dan pergi menelepon. Ia meminta seorang dokter lain untuk datang.
“Saya meminta dokter forensik untuk langsung melakukan visum terhadap wanita ini.” Katanya kepada Oscar dan atasannya.
Setelah menunggu sekitar dua puluh menit, dokter yang dimaksud tiba di rumah sakit. Dokter pria yang tampak sudah senior berumur sekitar lima puluh tahunan itu turun dari mobil SUV berwarna hitam. Ia turun dari sana dan segera memasuki bagunan rumah sakit sementara supirnya pergi memarkirkan mobilnya itu.
Dokter senior tadi segera menutup tirai di sekitar ranjang tempat wanita itu dibaringkan dan bersama-sama dengan dokter perempuan yang menerima mereka sebelumnya di tempat itu, visum pun dilakukan.
Pemeriksaan berjalan sekitar lima belas menit hingga kedua dokter tersebut keluar dari balik tirai itu.
Dokter senior segera berjalan mendekati Oscar dan atasannya yang menunggu di sisi lain ruang UGD.
“Banyak sekali luka karena pukulan benda tumpul. Dia harus menjalani CT-Scan kepala besok pagi dan beberapa rontgen untuk memastikan apakah ada keretakan pada tulang-tulangnya.”
Oscar dan atasannya mendengarkan penjelasan dari dokter senior itu dengan seksama.
“Dari pola persebaran luka, sepertinya dia melakukan pertahanan diri karena kebanyakan luka di sekitar lengan. Dia mungkin menutupi wajah atau melindungi kepalanya saat hendak dipukul.”
Saat hari beranjak pagi, Oscar dan atasannya kembali ke polsek tempat mereka bertugas. Mereka membuat laporan tertulis tentang temuan mereka semalam agar dapat ditindaklanjuti oleh siapapun yang bertugas setelah mereka.
Oscar pulang dalam keadaan lelah dan mengantuk. Ia baru menjalani karirnya di kepolisian dan mendapat kasus seperti ini adalah yang pertama kali bagi dirinya.
Untuk sesaat Oscar dapat melupakan Karen. Selama ini pekerjaannya tidak dapat mengalihkan pikirannya dari Karen. Namun malam ini Oscar diliputi ketegangan karena baru saja melihat pemandangan yang tidak begitu menyenangkan dan cenderung menyedihkan. Seorang wanita dengan tubuh dipenuhi luka harus datang sendiri ke kantor polisi dan jatuh pingsan bahkan sebelum memberitahu polisi apa yang terjadi kepadanya.
Begitu tiba di rumah, Oscar terlalu mengantuk untuk pergi ke kamarnya. Ia pun memilih untuk tidur di sofa ruang tamu, bahkan ia tidak sempat mengganti pakaiannya. Ia hanya membuka sepatu dan kaos kakinya, meletakkan tas yang biasa dibawanya bekerja di lantai dan segera merebahkan diri di sofa.
Tidak perlu waktu lama bagi Oscar untuk benar-benar tertidur.
Ketika Gladys bangun untuk menyiapkan sarapan pagi ia terkejut mendapati Oscar yang sedang tertidur pulas di situ. Gladys pun tidak membangunkan Oscar lagi, ia membiarkan anaknya melanjutkan istirahatnya di tempat itu.