Setelah Karen pergi, Oscar diselimuti perasaan sedih. Ia sedih karena tidak bisa memenuhi janjinya kepada gadis impiannya itu, di sisi lain ia tidak ingin membuat ibunya semakin marah. Semua dasar pemikiran yang disampaikan oleh ibunya bukannya tidak beralasan, ibunya bahkan punya pengalaman soal itu, dan Oscar tahu bahwa pengalaman adalah guru yang sesungguhnya.
Malam itu Oscar memutuskan untuk tidak langsung menghubungi Karen. Menurut Oscar, menghubunginya untuk memberinya penjelasan tidak akan mengubah apa-apa karena semua penjelasan yang sesungguhnya sudah dipaparkan oleh ibunya di depan Karen sendiri.
Keesokkan paginya Oscar keluar dari kamarnya dengan wajah lesu, ia habis begadang semalaman. Ia terus memikirkan Karen. Oscar mulai merasa kalau ibunya benar. Mereka tidak mungkin menyelesaikan hubungan tiga hari itu dengan mudah karena pasti akan ada yang terbawa perasaan, entah salah satu atau bahkan keduanya yang merasa berat untuk berpisah.
“Ma…” panggil Oscar ketika keluar dari kamar dan mendapati ibunya tengah duduk menikmati segelas teh di ruang makan.
Jam di dinding saat itu menunjukkan pukul 05.40. Suara air terdengar dari kamar mandi, Dina sedang mandi sebelum ia pergi ke kampus.
Oscar duduk tepat berhadapan dengan ibunya.
“Masih memikirkan dia?” Tanya Gladys.
“Apapun yang Oscar katakan, mama pasti tahu jawaban yang sesungguhnya.” Jawab Oscar.
“Mama lakukan ini untuk kebaikanmu dan kebaikannya juga. Itu mungkin menyakitkan untuk kalian hari ini, namun itu akan lebih menyakitkan jika ditunda untuk terjadi nanti.”
“Oscar kasihan kepadanya, Ma.”
“Jika karirmu hancur karena masalah ini, siapa yang akan mengasihanimu? Dengan ijazah SMA yang kamu miliki, kamu mau bekerja sebagai pelayan toko?” Gladys mulai marah. “Jangan disesatkan oleh perasaanmu. Gunakan logikamu!”
Oscar hanya tertunduk lesu mendengar nasihat dari ibunya.
“Oscar tahu mama memang benar. Hanya saja Oscar menyesali keadaannya yang harus sampai seperti ini.” Katanya.
“Mama tidak keberatan dikenang sebagai seseorang yang jahat oleh Karen. Mama hanya ingin menyelamatkan dirimu dan karirmu dari masalah bersama orang tua Karen!” Ucap Gladys dengan sangat tegas.
Oscar tidak mendebat ibunya lagi. Ia tahu ibunya benar dan perasaannya kepada Karen saat ini tidak berada di waktu dan tempat yang tepat.
Ia mempertimbangkan untuk menemui Karen di bandara besok saja sebelum gadis itu kembali ke Jakarta. Ia tidak peduli jika orang tua Karen ada di sana. Ia hanya ingin mengucapkan salam perpisahan kepada cinta pertamanya itu.
Hari itu perasaan Oscar benar-benar tidak menentu. Di kantor, ketika jam istirahat makan siang ia memberanikan diri untuk menghubungi Karen. Ia menelepon Karen beberapa kali namun gadis itu sama sekali tidak menjawab panggilan telepon Oscar.
Dengan Karen yang tidak menjawab panggilan telepon darinya, Oscar kini menjadi bimbang, apakah ia harus menemui Karen di bandara besok atau tidak. Oscar lantas mengirim pesan kepada Karen yang berbunyi,
‘Ren, aku akan menemuimu di bandara besok. Bisakah kita bertemu?’
Oscar terus menunggu namun pesan itu tidak juga dibalas oleh Karen.
Sepulang kantor, Oscar meminjam sepeda motor milik seorang rekan kerjanya yang hari ini akan berpiket hingga tengah malam. Oscar ingin pergi mencari tahu kenapa Karen tidak menjawab telepon dan membalas pesan darinya.
Perjalanan dari kantornya hingga ke kompleks perumahan elite tempat Karen tinggal hanya memakan waktu lima belas menit saja. Begitu tiba di sana, Oscar melihat rumah Karen berada dalam keadaan gelap gulita seperti tidak berpenghuni.
“Apa Karen dan orang tuanya sudah kembali ke Jakarta ya?” Tanya Oscar dalam benaknya.
Oscar pun mengeluarkan ponselnya dari dalam kantor dan mencoba menghubungi Karen lagi. Ia menelepon gadis itu berkali-kali sampai tak terhitung sudah berapa kali ia menelepon.
Sebelum meninggalkan rumah itu, Oscar mengirimi Karen pesan lagi.
‘Aku ada di depan rumahmu tapi sepertinya kamu tidak berada di sini.’
Oscar menyalakan motor itu kembali dan melaju untuk pulang. Di tengah perjalanan, ia mendapat telepon dari Karen. Oscar pun menepi untuk menjawab telepon itu.
“Hallo Ren.”
“Os, aku memang tidak pulang ke rumah sejak kedatanganku ke Manado. Aku tinggal di hotel.”
“Aku ingin menemuimu!” Kata Oscar yang sudah tak dapat menahan perasaannya lagi.
“Aku tinggal di hotel yang berada di belakang supermarket makanan organic, jika kamu memang mau datang menemuiku.”
“Baiklah. Aku segera ke sana!”
Oscar melajukan motor di jalan raya untuk menuju ke tempat Karen.
Begitu tiba di sana, Karen menjemput Oscar di lobby hotel kemudian mengajak pemuda itu mengobrol di kamarnya.
Oscar masuk dengan sedikit canggung ke kamar itu.
“Kenapa kamu tidak tinggal di rumahmu dan memilih untuk tinggal di hotel?” Tanya Oscar.
“Silakan duduk!” Kata Karen. Di pojok ruangan itu ada dua buah kursi yang tampak empuk dan sebuah meja teh.
Oscar pun menuruti perkataan Karen. Ia duduk di salah satu kursi sementara Karen duduk di kursi yang lain.
“Sebenarnya aku berbohong. Aku tidak diizinkan untuk kembali ke Manado oleh kedua orang tuaku.” Karen memulai.
Oscar cukup terkejut mendengar pernyataan dari Karen itu.
“Papa memberiku uang yang cukup banyak jumlahnya karena aku mengatakan ingin membeli sebuah tas keluaran brand terkenal. Uang itu yang kemudian aku gunakan untuk membeli tiket pesawat dan membiayai kehidupanku selama di sini. Sejak awal aku memang sudah merencanakan ini, Os.”
“Apa sekarang mereka sudah tahu kalau kamu sebenarnya kabur ke Manado?”
“Sudah, mereka akhirnya tahu.”
“Mereka pasti sangat marah?”
“Bisa kamu bayangkan sendiri-lah, Os.”
Suasana menjadi hening untuk sesaat. Oscar kemudian memecah keheningan itu.
“Ren, aku mau minta maaf atas sikap mamaku kemarin.” Kata Oscar dengan pelan.
“Aku bisa memahaminya kok, Os.” Jawab Karen dengan lirih.
Oscar kemudian bangkit dari kursinya dan mendekati Karen. Ia lantas berlutut di hadapan Karen sambil meletakkan tangannya di lutut perempuan itu.
Karen membelai rambut Oscar dengan lembut.
“Kita memang tidak ditakdirkan untuk saling memiliki satu sama lain, Os.” Suara Karen bergetar karena menahan tangis.
Oscar mengangkat wajahnya dan menatap Karen, “Aku mohon jangan menangis, Karen.”
Oscar memegang pipi kiri dan kanan gadis itu dan menatap matanya.
“Jangan menangis untukku, aku bukan orang yang pantas untuk kamu tangisi.” Ujar Oscar dengan dengan sedih.
Oscar lantas mendekatkan wajahnya ke wajah Karen, semakin hari semakin dekat kemudian mendaratkan kecupan ke bibir mungil gadis itu.
Karen sedikit terkejut dengan perbuatan Oscar itu.
“Aku sangat mencintaimu, Os.” Bisik Karen.
“Aku juga.”
Mereka berdua berpelukan untuk sesaat. Karen menangis dalam pelukan Oscar dan membuat baju seragam yang dikenakan Oscar menjadi basah.
“Kita punya cinta yang besar namun tidak bisa disatukan, dan kita tidak bisa memaksakannya. Tidak ada yang bisa kita lakukan.” Bisik Oscar.
Karen hanya bisa mengangguk sambil menangis.
Malam semakin larut. Oscar masih berada di kamar hotel Karen. Oscar tertidur di ranjang sementara Karen berbaring di samping Oscar dan sedang menatap wajah Oscar lekat-lekat.
Pakaian mereka berserakan di lantai di sekitar ranjang. Dan hanya selimut putih tebal yang menutupi tubuh mereka.
Malam itu Karen telah membuat keputusan untuk menyerahkan diri seutuhnya kepada Oscar. Karen sudah tidak peduli dengan norma maupun ajaran agama yang melarang itu, yang ia tahu hanyalah ia mencintai Oscar dan demikian juga sebaliknya.
Karen membangunkan Oscar ketika jam menunjukkan hampir pukul sebelas malam. Ia meminta Oscar untuk segera pulang dan mengembalikan motor yang dipinjam dari temannya itu.
Oscar pun menuruti perintah Karen. Sebelum pulang Oscar mengecup Karen sekali lagi dan mengatakan bahwa ia sangat mencintainya.
Sepanjang malam Oscar tidak bisa tidur. Ia terus memikirkan apa yang baru saja ia lakukan bersama Karen. Ia memiliki kehidupan yang lurus-lurus saja tadinya sampai akhirnya cinta membuatnya tersesat dan mengambil langkah gila seperti yang baru saja ia dan Karen lakukan.
Hari berganti dan hari ini adalah hari keberangkatan Karen ke Jakarta. Oscar dan Karen bertemu pukul satu siang di bandara, karena pesawat Karen akan berangkat pukul tiga nanti.
“Ren, aku tidak bisa menemanimu lama-lama ya, aku masih harus kembali ke kantor.” Kata Oscar.
“Lima belas menit lagi ya?” Pinta Karen.
“Baiklah.” Jawab Oscar sambil mengangguk.
Ruang tunggu bandara siang itu tampak tidak begitu ramai. Kebanyakan orang memilih penerbangan pagi bukan di sore hari.
“Ren, aku minta maaf atas kejadian semalam.” Kata Oscar, pelan. “Aku tidak tahu kalau kamu masih…” Oscar tidak meneruskan kata-katanya.
Karen menjadi salah tingkah. Ia lantas mengangguk.
“Aku juga tahu kalau itu adalah pengalaman pertamamu, jadi setidaknya kita seri!” Canda Karen.
“Kamu adalah cinta pertamaku dan jika itu harus terjadi pertama kali dalam hidupku, maka aku hanya ingin itu terjadi bersamamu.” Lanjut Karen dengan serius.
Oscar tersenyum sambil tersipu malu. Ia lalu menggenggam tangan Karen namun wanita itu malah mulai menangis lagi.
“Aku tidak ingin pergi.” Kata Karen.
“Sebentar lagi kuliah kedokteranmu akan selesai, bukan? Ayo selesaikan dulu, nanti kita bertemu lagi!” Bujuk Oscar.
“Apa kita bisa berkomunikasi tiap hari?” Tanya Karen masih sambil berurai air mata.
“Tentu Ren.” Jawab Oscar. “Hanya saja kekasihmu pasti akan marah jika dia mengetahuinya.”
“Aku sudah tidak peduli, Os. Lagi pula aku sudah menjadi milikmu sepenuhnya, bukan?”
Oscar tidak menjawab. Ia tetap dihantui kecemasan perihal sikap orang tua Karen.
Oscar kemudian berpamitan kepada Karen sebab ia sudah harus kembali ke kantor lagi. Ia tidak boleh meninggalkan kantor terlalu lama jika tidak ingin kena tegur dari atasannya.
Sebelum berpisah, Karen memeluk Oscar sambil menangis tersedu-sedu. Oscar tidak berhasil menenangkan Karen namun ia tetap harus meninggalkan wanita itu di situ dan kembali ke kantornya.