Tiga Hari Untuk Karen Yang Batal

2310 Kata
Gladys dan Dina mendengarkan dari kamar mereka semua yang dibicarakan oleh Oscar dan Karen. Gladys sangat menyayangkan keputusan yang dibuat oleh anaknya itu, yang dengan mudahnya menyetujui permintaan Karen untuk menjadikannya pacar selama tiga hari keberadaannya di Manado. “Mama tidak setuju,” kata Gladys kepada Dina. “karena walau bagaimana pun Karen adalah wanita yang sudah terikat hubungan serius. Tidak peduli meskipun itu bukan hubungan yang ia kehendaki. Sekalipun hubungan itu hanya terjadi atas perintah mamanya, tapi Karen telah berada dalam hubungan itu bertahun-tahun!” Ujar Gladys dengan nada kesal. “Ma, tapi itu kan hanya tiga hari…” Dina mencoba menenangkan amarah ibunya. “Na, entah itu tiga hari atau hanya tiga menit sekalipun, pengkhianatan tetap tidak dibenarkan untuk alasan apapun!” Gladys berkeras. Dina mengangguk. Ia tidak membantah ibunya lebih lanjut. Dina paham benar kalau ibunya itu sudah pernah melewati badai pengkhianatan yang sangat berat sehingga berbalas argumen dengan ibunya tentu tidak akan pernah membawa Dina pada kemenangan. “Mama akan membicarakan masalah ini dengan kakakmu nanti malam. Semoga dia mau mendengarkan mama kali ini.” Ujar Gladys kemudian keluar dari kamar meninggalkan Dina yang sedang duduk di ranjang. Gladys menuju ke dapur untuk mulai menyiapkan makan malam. Ketika ia melintas di ruang tamu, ia melihat Oscar telah berpindah tempat duduk dan sekarang duduk bersebelahan dengan Karen. Kepala gadis itu bersandar ke bahu Oscar dan mereka berdua sedang menonton televisi bersama. “Oscar, gunakan akal sehatmu!” Gerutu Gladys dalam hatinya. Gladys menyiapkan makan malam dengan hati kesal. Ia bisa merasakan bahwa Karen pasti tidak ingin berpisah dari Oscar bahkan ketika perjanjian mereka telah sampai pada batas waktu yang telah ditentukan dan begitu juga dengan Oscar. “Mereka sama-sama sedang berjalan menuju kekecewaan dan mereka tidak menyadarinya.” Gladys membatin lagi. Gladys telah satu jam berada di dapur dan aroma makanan yang sedang ia masak mulai tercium hingga ke ruang tamu dan kamar tempat Dina berada. Dina buru-buru keluar dari kamar dan menuju ke dapur. “Sudah mau selesai ya, Ma?” Tanya Dina. “Belum Na, sebentar lagi.” “Dina bantu membereskan dapur ya.” Dina pun segera mengumpulkan peralatan memasak yang kotor yang sebelumnya digunakan oleh ibunya dan mulai mencucinya satu per satu. “Mama masak ikan kakap ya?” Tanya Dina setelah mengintip ke dalam panci yang berada di atas kompor yang masih menyala itu. “Iya, mama beli kakapnya kemarin dan baru teringat untuk memasaknya hari ini.” “Pasti dimasak woku ya?” Tebak Dina. “Iya.” Jawab ibunya. Woku adalah cara mengolah ikan laut khas masyarakat Manado atau Sulawesi Utara dengan menggunakan banyak rempah, seperti jahe, bawang merah, cabai, sereh, daun kemangi, tomat, dan masih banyak lagi yang lain. Hasil masakan yang tersaji akan menyerupai sup ikan dengan kuah berwarna merah dan aroma rempah yang khas dan cukup menyengat. Tidak berapa lama kemudian Dina telah selesai mencuci semua peralatan memasak. Yang tersisa hanya panci yang masih berada di atas kompor. “Na, ayo mandi dulu. Makanannya masih sebentar lagi kok!” Dina langsung menuruti perintah ibunya. Ia pun segera menuju ke kamar mandi. Ketika Dina selesai mandi, ibunya telah selesai menghidangkan makan malam di atas meja. Ada ikan kakap woku pedas, sayur kangkung yang ditumis bersama potongan tahu, serta nasi hangat. “Wooow…” Dina berdecak kagum melihat pemandangan indah yang ada di atas meja itu. “Sudah sangat lama kita tidak makan yang seperti ini ya Ma?” Ujar Dina lagi. “Seseorang yang sangat menyukai makanan ini sudah lama tidak berada di sini.” Jawab Gladys dengan lirih. Dina mencoba mengingat kembali menu makanan itu dan kenangan apa yang tersimpan didalamnya. “Itu salah satu makanan favorit papa.” Ujar Oscar dari ruang tamu. Ingatan Dina seketika kembali pada masa kecilnya ketika ibunya sering memasak kedua jenis makanan itu secara bersamaan. Kebanyakan pada hari Minggu. Saat itu Dina masih kecil sehingga ia tidak makan makanan yang pedas seperti itu. “Dina ingat sekarang. Saat itu mama akan membuatkan kakap goreng untuk Dina karena Dina masih belum bisa makan makanan pedas.” Balas Dina. Gladys tersenyum dan menganggukan kepala. “Semuanya sangat indah ketika pengkhianatan belum datang untuk merusak kebahagiaan kita.” Katanya kemudian menatap ke arah Karen dan membuat gadis itu menjadi salah tingkah. Gladys sebenarnya sedang menyindir gadis itu secara diam-diam namun tidak ada satupun dari anaknya yang menyadari itu. Tetapi Gladys tahu dengan benar kalau Karen pasti memahami maksud perkataannya tadi. “Ayo semua, kita makan malam sama-sama!” Ajak Gladys tanpa merujuk langsung kepada Karen. Gladys bahkan enggan untuk menyebut nama Karen lagi sekarang. Suasana di meja makan terasa begitu canggung. Sosok Gladys yang biasanya ramah kini seolah tidak ada lagi di sana. “Maaf ya makanannya seadanya saja, tapi aku jamin masakan mamaku selalu enak!” Kata Oscar kepada Karen. Gladys menjadi semakin jengkel mendengar ucapan Oscar itu. “Oscar, tidak perlu memperjelas hal semacam itu kepada Karen. Dia sudah tahu hal itu!” Ujar Gladys dengan tegas. Dina bisa merasakan situasi tidak enak yang tercipta di ruang makan itu. Ada Karen yang tersenyum namun terkesan dipaksakan dan ada ibunya sendiri yang wajahnya jelas sekali menunjukkan ekspresi tidak senang. Oscar tidak membalas perkataan ibunya. Yang ia lakukan hanyalah membantu Karen mengambil makanan. Makan malam berlangsung dalam keheningan, hampir tidak ada yang berbicara selama makan malam, hanya Oscar yang sesekali bertanya kepada Karen. Selebihnya mereka semua makan sambil diam. Setelah makan malam, Oscar dan Karen kembali duduk di ruang tamu sementara Dina dan Gladys membereskan meja makan dan dapur. Kali ini mereka berdua berbincang dengan volume suara yang sangat pelan hingga tidak lagi bisa terdengar oleh Dina dan Gladys dari dapur. Sekitar satu jam kemudian, Karen berpamitan. Gladys bersikap dingin kepada Karen dan kali ini sikap Gladys itu tertangkap jelas oleh Oscar. Oscar mengantar Karen hingga ke gerbang utama perumahan dinas. Begitu Oscar tiba kembali di rumah, ia mendapati ibunya tengah duduk menungguinya di ruang tamu. “Kita harus bicara!” Kata Gladys tanpa menunggu Oscar duduk dulu. “Ma, aku tahu apa yang aku lakukan!” “Kamu mau jadi seperti papamu?” Tanya Gladys. “Apa maksud mama?” Tanya Oscar dengan heran. “Kalian menjadi pengkhianat dengan cara yang berbeda, tetapi pengkhianat tetap saja pengkhianat!” “Ma, Oscar tidak mengerti apa yang mama bicarakan.” “Papa mengkhianati mama dengan menghadirkan orang lain dalam hubungan kami, sementara kamu justru menjadi orang lain dalam hubungan Karen. Kalian hanya mengambil peran yang berbeda, namun itu sama buruknya!” Kata Gladys dengan lantang. Mendengar itu Oscar justru tertawa, “Mama berlebihan kali ini…” katanya. “Os, mama tidak mau kamu dipersalahkan oleh keluarga Karen lagi. Mereka sudah mempersalahkanmu satu kali sebelumnya padahal kamu tidak membuat kesalahan saat itu, itu semata-mata hanya karena latar belakang keluarga kita yang tidak sederajat dengan mereka. Bayangkan jika sekarang mereka mengetahui apa yang kamu lakukan, bukankah mereka akan lebih tidak suka lagi kepadamu?” Gladys menjelaskan. “Ma, Oscar tidak peduli mereka suka kepada Oscar atau tidak. Dan lagipula Karen hanya tiga hari kan di sini?” Bantah Oscar dengan halus. “Dan kamu pikir setelah tiga hari Karen mau diajak untuk berpisah?” Tanya Gladys dengan sebelah alis yang terangkat. “Dia pasti menepati perkataannya, Ma.” Jawab Oscar namun dengan ekspresi wajah ragu-ragu. Oscar lantas meninggalkan ibunya dan menuju ke kamarnya. “Aku tidak tahu apa yang ada di pikiran anak itu!” Keluh Gladys dalam hatinya. Gladys kemudian menutup pintu depan rumahnya dan ia pun segera masuk ke kamarnya. Gladys duduk termenung di depan meja rias untuk sesaat. Dina melihat ibunya yang tampak gusar. Ia pun turun dari ranjang dan mendekati ibunya. “Ma…” kata Dina sambil memeluk ibunya dari belakang. “Mari kita berdoa saja agar semua kekhawatiran mama tidak menjadi kenyataan.” Ujar Dina. “Iya Na, mama cuma tidak ingin kakakmu terlibat masalah dan mempengaruhi karirnya hanya karena seorang wanita.” Ucap Gladys. Mereka berdua selanjutnya mengobrol di tempat tidur sampai akhirnya Gladys tidak mendengar balasan dari Dina lagi karena Dina sudah tertidur. Keesokkan harinya di Senin pagi yang cerah, Dina yang mau pergi kuliah dan Oscar yang hendak pergi ke kantor berangkat bersama dari rumah. Di sepanjang jalan menuju gerbang perumahan mereka berdua berbincang. “Kak, mama tidak suka lho dengan keputusan kakak yang ini!” “Mama hanya berlebihan, Na.” “Mama takut orang tua Karen mempesulit pekerjaan kakak. Apalagi mereka orang berada, bisa saja mereka punya relasi dengan petinggi-petinggi di institusi kakak.” “Yakinkan saja mama kalau aku akan baik-baik saja!” Pesan Oscar kepada Dina sebelum mereka berjalan ke arah yang berbeda. Dina kini bisa mengerti apa yang dirasakan oleh ibunya ketika ia sendiri mendapati kalau kakaknya itu memang keras kepala. Malam harinya ketika Dina pulang dari kampus, begitu ia tiba di rumah ia mendapati Karen sudah berada di rumah mereka. Oscar bahkan masih mengenakan seragamnya dan belum sempat mengganti pakaian. “Gadis ini memang pantang menyerah!” Kata Dina dalam hatinya. Kali ini Karen datang dengan membawa berbagai macam makanan dan buah. Namun Gladys sama sekali tidak terkesan. Meskipun gadis itu sudah membawa banyak makanan untuk mereka, Dina mendapati ibunya tetap memasak di dapur seperti biasanya. Dina lantas berjalan menuju ke dapur dan menemui ibunya. “Ma, udah dibawain makanan tuh…” bisik Dina kepada ibunya dengan sangat pelan. “Mama tahu.” Jawab Gladys. “Tapi mama lebih baik keluar dan pergi beli makanan sendiri dari pada harus memakan makanan yang dibawa oleh anak itu.” Dina tidak bisa berkata apa-apa lagi. Ibunya telah membuat pernyataan sikap. “Kamu mandi dulu ya, Na.” Suruh ibunya kepada Dina. Dina pun menurutinya. Setelah mandi, ia kembali mendekati ibunya di dapur. “Makanannya sudah siap.” Kata ibu sambil menghidangkan makanan hasil masakannya di atas meja. Mereka berdua lantas makan di meja makan tanpa mengajak Oscar dan Karen. Oscar mengetahui hal itu, begitu juga dengan Karen. Karen lantas menyodorkan makanan yang dibawanya kepada Oscar. Mereka berdua pun makan makanan yang dibawa oleh Karen di ruang tamu. Sesekali Oscar melirik ke arah ibunya yang sedang makan di ruang makan. Wajah sedih Oscar tidak dapat ia sembunyikan. Ia tidak tahu bagaimana ia harus bersikap ketika ia terjebak di antara dua wanita, yaitu sang ibu dan kekasih daruratnya. Sementara itu, selagi menikmati makan malamnya Karen terus bermanja-manja kepada Oscar membuat Gladys yang melihat hal itu bertambah marah. “Ren, besok jangan datang dulu ya!” Kata Oscar tiba-tiba. Perkataan Oscar itu membuat Karen, Gladys dan Dina sama-sama terkejut. “Lho kenapa?” Tanya Karen dengan nada protes. “Besok aku akan piket malam.” Jawab Oscar, berbohong. “Berarti aku bisa datang pada siang atau sore sebelum kamu pergi piket dong!” Karen menawar. “Aku kan harus tidur sebelum pergi piket malam. Kalau aku mengantuk saat sedang berpiket, bagaimana?” Karen memonyongkan bibirnya sebagai tanda ia tidak terima. “Maaf ya, tapi itu sudah resiko dari pekerjaanku!” Kata Oscar. “Os, aku sudah akan kembali ke Jakarta hari Rabu. Jika besok kita tidak bertemu, maka kita kehilangan satu hari lagi untuk bersama!” “Ren, ini adalah pekerjaanku. Mengertilah!” Pinta Oscar. “Lalu hari Rabu nanti kamu akan piket jam berapa?” “Aku masuk pagi.” Jawab Oscar. “Berarti kamu juga tidak bisa mengantarku ke bandara?” “Pesawatmu jam berapa?” “Jam tiga.” “Iya, maaf ya. Aku masih di kantor jam segitu.” “Os, kita hanya di rumah saja selama ini. Kita bahkan tidak bisa pergi jalan-jalan keluar agar mamaku tidak mengetahui kalau selama ini kita selalu bertemu. Dan di dua hari terakhirku di sini kamu bahkan tidak bisa menemaniku?” Karen mulai menaikkan nada bicaranya kepada Oscar. “Ren, aku bukan pegawai kantoran yang bisa meminta izin satu atau dua hari ketika ada keperluan. Aku seorang polisi, tidak bisakah kamu mengerti?” Air mata Karen mulai jatuh membasahi pipinya. “Kalau begitu malam ini aku akan menginap di sini!” Putus Karen. “Apa yang kamu katakan?” Seru Oscar yang sangat terkejut. “Malam ini aku akan begadang agar tetap bisa melihatmu sebelum aku kembali ke Jakarta!” “Tidakkk boleh!” Seru Gladys dari ruang makan seraya berdiri dari kursinya dan memukul meja. “Ini rumahku, aku yang membuat keputusan di sini dan bukan kamu!” Semua orang yang ada di ruangan itu sangat terkejut dengan reaksi yang ditunjukkan oleh Gladys. Terutama Karen, ia tidak menyangka jika reaksi semacam itu yang akan ia terima dari ibu Oscar. Air mata Karen jatuh semakin deras. “Ren…” Oscar hendak membujuk Karen. “Jika kamu mencintai Oscar, kamu harus bisa menerima seperti apa pekerjaannya, jangan egois dengan memintanya untuk meninggalkan pekerjaannya agar bisa menemanimu. Selain itu juga kamu punya pacar bukan, kenapa mencari Oscar? Kamu tahu dia akan terjebak dalam masalah jika sampai orang tuamu tahu dan melaporkan hal ini ke kesatuannya, dan kenapa kamu tetap berkeras untuk melakukan ini? Kamu sangat egois!” Ujar Gladys dengan penuh emosi. “Tante, aku benar-benar minta maaf.” Jawab Karen sambil terisak-isak. “Aku terlalu rindu kepada Oscar hingga kehilangan akal sehatku.” “Sekarang akal sehatmu sudah kembali, bukan? Tinggalkan Oscar dan kembalilah kepada kekasihmu!” Perintah Gladys. Dengan terburu-buru Karen meraih tas pink yang dibawanya. “Maafkan aku, aku pamit pulang dulu ya…” katanya dan segera meninggalkan rumah itu. “Maaaaa…” protes Oscar. “Ada apa? Kamu mau kejar dia? Silakan, mama tidak akan melarangmu, tetapi jika karirmu hancur karena orang tuanya mengadukanmu maka jangan berharap kamu bisa kembali lagi ke sana dan memakai seragam itu!” Kata Gladys dengan tegas. Oscar pun tidak jadi mengejar Karen dan segera masuk ke kamarnya. Hati Gladys begitu puas setelah menumpahkan semua kekesalan dan kekhawatiran yang ia rasakan tentang Oscar. Sementara Dina, ia masih duduk terdiam karena terkejut dengan apa yang baru saja terjadi. Itu adalah versi lain dari ibunya yang belum pernah dilihat oleh Dina sebelumnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN