Menjodohkan Mereka

1737 Kata
Bab 67 Menjodohkan Mereka Helen sengaja datang untuk membangunkan Dina dan Kevin yang sejak tadi tidak menjawab panggilan telepon darinya. Mereka semua harus masuk kelas jam sepuluh pagi ini, sementara jam menunjukkan hampir setengah delapan dan belum ada satu pun dari Dina ataupun Kevin yang terbangun. Helen membangunkan Dina terlebih dahulu. Ia menggoyang-goyangkan tubuh Dina mulai dari yang intensitasnya pelan sampai mengguncang-guncangkan tubuh Dina itu dengan keras, ia juga memanggil-manggil namanya hingga mencubit pipi Dina sekuat tenaga, namun itu semua tidak berhasil. Dina tetap tertidur begitu nyenyak di sofa itu. Helen pun menyerah. Helen kemudian berpindah untuk membangunkan Kevin. Kevin tertidur dengan posisi terbalik. Kepalanya berada di lantai sementara tubuhnya berada di sofa. Pertama yang Helen lakukan adalah menyentuh pipi Kevin kemudian mengusapnya dengan lembut. Helen tersenyum sambil mengagumi wajah Kevin yang bisa dibilang cukup tampan itu. “Cium saja kalau gemes, Len!” Seru Dina, tiba-tiba. Helen terkejut mendengar suara Dina. Ia tidak tahu kalau Dina sudah bangun dan memperhatikan tingkah lakunya ketika sedang menyentuh pipi Kevin. Helen pun buru-buru melepaskan tangannya yang sedang menyentuh pipi Kevin. “Apa-apaan sih?” Elak Helen dengan malu-malu sambil menatap ke arah Dina. “Mau dicium nggak nih, aku menunggu lho?” Kata Kevin kemudian. Helen semakin terkejut karena ternyata Kevin juga sudah bangun. “Kalian sedang mempermainkan aku ya?” Omel Helen dan memasang wajah cemberut. Dina dan Kevin kompak tertawa melihat wajah cemberut Helen itu. “Jangan merajuk begitu dong, Len!” Bujuk Kevin sambil memegang dan mengusap pipi Helen seperti yang tadi dilakukan Helen kepadanya. Helen menangkap tangan Kevin dan menurunkannya dari wajahnya. “Tidak perlu malu kepada Dina, dia sudah tahu apa yang aku rasakan, dia juga sudah tahu apa yang sudah kita lalui!” Ujar Kevin. “Apa maksudmu?” Tanya Helen dengan ekspresi wajah tidak senang. Kevin kemudian bangun dari posisi tidur terbaliknya dan duduk dengan benar di sofa itu. “Kamu mau aku membuat penjelasan dulu atau aku siap-siap ke kampus dulu?” Tanya Kevin. “Ya sudah. Siap-siap dulu deh, nanti kita semua telat lagi!” kata Helen. Dina lantas bangkit dari sofa tempat ia duduk dan berjalan menuju ke kamar tamu yang sebenarnya dimaksudkan untuk ditempati olehnya tetapi ia malah tertidur di sofa yang ada di luar kamar. Helen mengikuti Dina dari belakang, meninggalkan Kevin yang masih bermalas-malasan di sofa. Begitu masuk ke kamar dan mengunci pintu, Helen langsung duduk di ujung ranjang. “Mamamu datang mencarimu di rumah kami semalam.” Kata Helen. “Oh ya?” Tanya Dina, terkejut. “Kata pembantu rumah tanggaku sih ada yang datang mencariku semalam. Dia mengatakan bahwa seorang ibu yang datang mencariku itu semalam berumur sekitar empat puluhan dan bertubuh kurus. Memangnya menurutmu siapa lagi itu kalau bukan mamamu?” Kata Helen. Dina mengangguk. “Apa aku pulang saja ya?” Tanya Dina kepada Helen. “Ya terserah kamu, Din.” Jawab Helen. “Kamu mau tinggal selamanya di sini juga Kevin pasti tidak akan keberatan, tapi bagaimana dengan mamamu?” Dina seketika teringat kepada ibunya. Ia merasakan rindu yang sangat mendalam seolah mereka sudah tidak bertemu selama bertahun-tahun padahal itu baru satu malam saja. Bagaimana tidak, Dina selalu bersama ibunya selama ini, bahkan ia tidur berdua dengan ibunya sehingga berpisah sehari saja akan langsung membuatnya merindukan ibunya. “Ya sudah, lihat sampai sore nanti sajalah. Aku akan membuat keputusan kalau kelasku sudah selesai!” Putus Dina. Dina lalu masuk ke kamar mandi dan mandi dengan cepat. Selesai mandi, Dina berpakaian lalu keluar menemui Helen. “Aku sudah selesai mandi, sangat cepat bukan?” Kata Dina. “Sisiran dulu, rambutmu berantakan sekali!” Balas Helen. Dina lantas mengambil sisir dari dalam tasnya dan menyisir rambutnya hingga rapi. “Kalau begini kan terlihat seperti manusia!” Puji Helen. “Memangnya tadi aku terlihat seperti apa?” Tanya Dina. “Seperti manusia juga sih tapi manusia yang baru selesai ditabrak oleh angin badai berkecepatan delapan puluh kilometer per jam!” Balas Helen dengan bercanda. Mereka berdua kemudian keluar dari kamar. Dina telah membawa serta semua barangnya. Kevin sudah tidak ada di tempat terakhir mereka meninggalkannya. Helen pergi untuk memeriksa ke kamar Kevin. Ia mengetuk pintu kamar Kevin beberapa kali namun tidak ada jawaban. Ia lantas mencoba membuka gagang pintu kamar Kevin namun tidak bisa karena itu menggunakan smart door lock system. “Mungkin dia masih mandi.” Pikir Helen. Namun tiba-tiba pintu terbuka dan Helen ditarik masuk ke dalam kamar. Kevin menyandarkan Helen ke dinding dan berdiri tepat di depan Helen pada jarak yang sangat dekat. Wajah mereka hanya berjarak beberapa centimeter satu dengan yang lain. Ia belum berpakaian, ia hanya melilitkan sebuah handuk berwarna putih di pinggangnya, dan dari rambutnya masih menetes air yang belum sempat ia keringkan. “Ada apa mencariku?” Tanya Kevin dari jarak yang sangat dekat Jantung Helen berdetak kencang karena gugup. Napasnya ikut menjadi tidak teratur. Pada saat yang sama ia juga merasa risih melihat penampilan Kevin sehingga ia harus memejamkan matanya. “Len, aku sangat mencintaimu.” Bisik Kevin di telinga Helen. “Aku sudah tahu itu, tapi tolong jangan begini ya!” Kata Helen sambil terus memejamkan matanya, tidak mau menatap Kevin. “Heeeey, kamu tidak perlu begitu. Ayo buka matamu!” Seru Kevin yang telah berdiri agak menjauh dari Helen. “Kamu pikir aku belum berpakaian?” Tanyanya sambil menanggalkan handuk yang melilit di pinggangnya dan melemparkannya ke tempat tidur. Di balik handuk itu, Kevin ternyata telah menggunakan celana pendek. “Kamu tidak kuliah hari ini?” Tanya Helen. “Kuliah kok, kenapa memangnya?” Kevin balas bertanya. “Kelas kita dimulai jam sepuluh. Sementara ini sudah jam sembilan lewat dan kita masih belum berangkat juga. Ayo cepat ganti bajumu!” Kevin berjalan dengan cepat menuju ke walk-in closet yang ada di dalam kamar tidurnya itu. Sementara Helen masih berdiri mematung di tempatnya semula dan mencoba mengatur napasnya kembali. “Kamu bisa mengemudi setelah semalam kamu mabuk?” Tanya Helen dengan serius sambil duduk di pinggir ranjang Kevin dan memperhatikan pria itu bercermin dan menyemprotkan parfum sebanyak beberapa kali ke kemeja yang dikenakannya. “Setiap hari aku mengemudi dalam keadaan mabuk, buktinya aku tidak apa-apa kan?” Balas Kevin. “Hah?” Helen tidak memahami maksud perkataan Kevin. “Kan setiap hari aku dimabuk asmara kepadamu, Len!” Rayu Kevin. “Sialan!” Balas Helen kemudian bangkit dari tempat di mana ia duduk yaitu di ranjang milik Kevin. “Kamu terus merayuku, apa Dina yang menyuruhmu?” “Haha… Tidak kok!” Jawab Kevin. Padahal sebenarnya Dina yang menyarankan Kevin untuk terus mendekati Helen bahkan merebutnya dari Jeff. Mereka berdua berjalan menuju pintu kamar untuk bersama-sama keluar dari kamar tersebut. Sebelum keluar dari kamar, Kevin menarik tangan Helen sekali lagi dan membawa Helen masuk ke dalam pelukannya. Ia memeluk Helen dengan erat. “Jika sentuhan adalah cara menunjukkan perhatian, maka kamu pasti mengerti apa yang sedang aku lakukan sekarang.” Bisik Kevin. Helen sama sekali tidak membalas pelukan Kevin. “Aku tidak hanya menyentuh, aku mendekapmu. Semoga kamu tahu kalau ini bukan sekedar perhatian.” Bisik Kevin lagi. Perlahan-lahan Helen mulai melingkarkan tangannya ke tubuh Kevin. Ia membalas pelukan Kevin itu. Kevin langsung tersenyum ketika merasakan bahwa pelukannya telah dibalas oleh Helen. “Kev, kamu tahu bahwa aku masih…” “Jangan katakan itu lagi, Len!” Kevin buru-buru memotong ucapan Helen. Ia tahu dengan jelas bahwa Helen pasti akan mengingatkannya lagi kalau ia masih terikat hubungan dengan seseorang, sehingga belum bisa membalas cinta Kevin. “Kev, kita sudah telah cukup lama berada dalam kamar ini berdua. Mungkin sebaiknya kita keluar agar Dina tidak berpikiran yang aneh-aneh tentang apa yang kita berdua lakukan di dalam sini!” Helen mengingatkan. “Ya sudah, ayo kita pergi!” Kevin pun melepaskan pelukannya dari tubuh Helen. Namun justru Helen sendiri yang tidak melepaskan pelukannya dari tubuh Kevin. “Pelukanmu sangat nyaman…” Bisik Helen. “Kamu bisa memilikinya selamanya kalau kamu mau.” Jawab Kevin kemudian mengecup kening Helen. Setelah itu Helen melepaskan pelukannya dari tubuh Kevin dan ikut bersama Kevin keluar dari kamar tersebut. Begitu mereka keluar dari kamar, Dina yang menunggu di sofa ruang keluarga lantai dua segera menyambut mereka dengan tawa cekikikan yang penuh makna. “Berhenti tertawa!” Suruh Helen. “Ini tidak seperti yang kamu kira.” Katanya “Iya, katakan saja apa yang ingin kamu katakan Len!” Ledek Dina. “Tapi aku serius, memangnya kami melakukan apa?” Dina berpaling menatap ke arah Kevin dan melihat Kevin sedang mengacungkan jempolnya ke arah Dina. Yang dibalas dengan acungan jempol pula oleh Dina. “Kalian berdua sedang mempermainkan aku ya?” Tanya Helen yang memperhatikan hal itu. “Len, apa sih maksudmu? Sudahlah jangan marah-marah. Lagi pula ini masih pagi kan, tidak baik kalau masih pagi sudah marah-marah seperti itu.” Tegur Kevin. Dina masih tetap tersenyum penuh arti yang membuat Helen kesal. Perjalanan mereka menuju kampus pun di mulai. Mereka tahu bahwa mereka tidak akan tiba tepat waktu karena saat itu jam telah menunjukkan pukul sembilan lebih dua puluh menit. “Pelan-pelan saja Kev, toh kita sudah terlambat juga. Apa bedanya terlambat lima menit dan sepuluh menit? Di catatannya dosen kan sama saja.” Saran Dina. Kevin mengemudi seperti orang kesetanan, ia mendahului semua mobil setiap kali ada kesempatan. Hal itu membuat Helen ketakutan. “Kev, kamu membuatku takut!” Rengek Helen. “Tidak apa-apa. Selama aku memiliki konsentrasi yang baik, kita akan tiba di kampus dengan selamat dan tepat waktu. Para gadis, tutup saja mulut kalian!” Jawab Kevin. Mobil Kevin memasuki gerbang kampus pada pukul sepuluh kurang lima menit. Kevin memarkirkan mobilnya dan mereka bertiga berlarian menuju kelas mereka masing-masing. “Sesuai janjiku kan sayang, kita bisa tiba tepat waktu?” Kata Kevin kepada Helen ketika mereka sudah berada di dalam kelas. Semua mata kuliah yang diambil oleh Helen dan Kevin di semester ini adalah sama, itulah alasannya mengapa mereka berdua selalu sekelas. Tidak hanya sekelas, mereka juga selalu duduk berdekatan bahkan bersebelahan jika itu memungkinkan. “Sejak kapan kamu mulai memanggilku dengan sebutan sayang?” Protes Helen. “Bukankah kita berdua saling menyayangi?” Tanya Kevin sambil tertawa. “Kevin dan Helen berhenti bercanda!” Suara dosen paruh baya itu tiba-tiba membuat mereka berdua terkejut. Ternyata sejak tadi dosen telah memperhatikan tingkah mereka yang terus saja mengobrol di dalam kelas. “Iya Pak, maaf ya Pak!” Jawab keduanya kompak. Seusai kelas mereka berdua tertawa setengah mati karena mengingat kejadian memalukan saat mereka ditegur oleh dosen di kelas tadi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN