Di pinggiran kota Jakarta, Renatha memulai kembali hidupnya dari awal dengan kesederhanaan. Sudah empat bulan sejak kepergiannya dari kemewahan orang tuanya, kini perutnya sudah mulai membesar. Kandungannya sudah memasuki bulan ke enam, mengingat Renatha adalah wanita hamil yang hidup sendiri tanpa seorang suami.
Sering kali ia mendapat cemoohan, cacian dan kebencian dari beberapa tetangga. Meskipun begitu ia terus bertahan dengan senyum yang ia tunjukkan pada mereka yang selalu menatapnya dengan benci.
" Renatha ini ibu ada sedikit makanan buat kamu, kebetulan tadi anak ibu datang berkunjung dan bawa makanan banyak " kata seorang ibu paruh baya mendatangi Renatha yang sedang menyiram di halaman rumahnya
"Ya ampun, bu Asih kenapa repot-repot, Renatha kan jadi gak enak." ujar Renatha canggung
"Gapapa, ini daripada gak kemakan mending ibu bagi buat kamu sama si kembar tiga." kata Bu Asih dengan mengelus perut buncit Renatha
"Makasih ya Bu, ibu selalu baik sama Renatha." ucapannya dengan tersenyum tulus
Bu Asih salah satu orang yang selalu menerima Renatha dengan baik, ia tidak membenci Renatha seperti tetangganya yang lain. Beruntungnya Renatha juga sering mendapatkan makanan dari Bu Asih saat ia tidak bisa makan. Uang tabungannya sudah mulai menipis ia tak bisa terus-terusan menggunakan uang itu karena takut tidak memiliki uang untuk persalinan anak-anaknya nanti.
"Oh iya gimana toko bunganya? Hari ini rame gak?" Tanya Bu Asih
"Alhamdulillah Bu ada aja yang beli, meskipun gak rame-rame banget." jawab Renatha bahagia
Ya, karena dua bulan yang lalu ia baru saja di pecat dari tempatnya bekerja. Renatha memilih untuk mendirikan toko bunga dengan uang yang ia bawa saat pergi dari rumah. Meskipun uangnya tak banyak tapi cukup untuk membeli rumah yang tidak terlalu bagus, bisa mendirikan toko bunga kecil sendiri. Uang hasil kerjanya selalu Renatha sisihkan untuk membeli perlengkapan anak-anaknya nanti, juga beberapa kali periksa kandungan.
"Ren, ibu pulang dulu ya, ibu juga mau bersih-bersih ni" pamit Bu Asih
"Iya Bu, sekali lagi makasih ya Bu makanannya." ucap Renatha tulus
Sepeninggalan Bu Asih Renatha segera masuk ke dalam rumahnya, menata makanan yang Bu Asih berikan pada piring. Meskipun selalu makan dengan sederhana bahkan kadang tak bisa makan, Renatha beruntung karena anak-anaknya sehat. Dalam hati Renatha selalu ingin membeli s**u ibu hamil untuk perkembangan anak-anaknya yang masih dalam kandungan. Tapi ia kembali berpikir jika membeli s**u hamil ia tak bisa menabung lebih banyak lagi. Apalagi keperluan bayi sangat banyak dan ia tak hanya akan memiliki seorang bayi tapi tiga bayi sekaligus.
"Alhamdulillah ya sayang kita bisa makan enak hati ini berkat nenek Asih. Maaf yang Bunda gak bisa beli s**u hamil supaya kalian tumbuh baik, tapi Bunda janji saat kalian lahir nanti bunda akan memenuhi kebutuhan kalian dengan baik. Untuk sekarang mama harus nabung dulu yang banyak biar kalian saat lahir tercukupi." Renatha terus berbicara dengan mengelus perut buncitnya.
"Mungkin kalo gak di pecat aku masih bisa beli s**u kehamilan sampai anak-anak lahir, tapi apa boleh buat semuanya udah terjadi. Uangnya udah buat mendirikan tokoh bunga, dan tabungan juga harus banyak. Gapapa tanpa s**u kehamilan anak-anak ku juga sehat." pikir Renatha. Sebagai seorang wanita yang akan menjadi seorang ibu tentu ia harus memikirkan segalanya dengan sangat baik dan membeli sesuatu yang benar-benar di butuhkan.
Perutnya yang semakin besar membuat Renatha sedikit lebih mudah lelah, apalagi usia kandungan enam bulan dengan tiga orang bayi. Perutnya sudah sangat besar banyak yang mengira usia kandungan Renatha sudah memasuki usia sembilan bulan.
Malam sudah tiba dan sekarang Renatha tengah merajut baju untuk calon anak-anaknya. Setiap kali melihat baju-baju di toko bayi ia selalu ingin membuat sendiri baju untuk calon anaknya. Karena ia tak ingin mengetahui jenis kelamin anak-anaknya melalui USG, Renatha membuat baju dengan warna-warna netral. Di usianya yang terbilang muda yaitu 17 tahun, Renatha sudah di haruskan menanggung beban yang begitu berat sendirian. Tapi meskipun begitu ia bersyukur karena akan segera ada malaikat-malaikat kecil yang hidup bersama kesepiannya selama ini.
Pagi ini Renatha pergi ke tokonya sedikit lebih pagi karena ada pesanan bunga yang cukup banyak. Ia jalan dengan tergesa-gesa agar cepat sampai. Saat melewati seorang pedagang sayur yang cukup ramai, ia mendengar ibu-ibu itu kembali bergosip tentang dirinya, bahkan mereka juga langsung mencemooh dirinya dengan wajah tak suka.
"Eh, bu liat tuh, hamil tanpa suami."
"Iya, dia mau kemana pagi-pagi gini buru-buru gitu."
".Pasti mau ketemu sama pelanggan itu mah."
"heh! Renatha, kamu itu emang gak punya malu ya pagi-pagi gini udah keluyuran gak jelas." tegur salah satu ibu-ibu.
"Iya, udah perutnya besar gitu masi aja suka keluyuran libur dulu dong jual dirinya, lanjut lagi kalo anaknya udah lahir." sambung ibu-ibu yang lainnya
"Maaf Bu saya permisi dulu, mau ke toko." ujar Renatha dengan tersenyum ramah
Meskipun selalu di hina, di caci maki Renatha tak pernah dendam ataupun marah. Ia memaklumi sikap orang-orang yang terkesan membencinya. Karena ia hamil tanpa suami dan tinggal sendiri tanpa seorang keluarga satupun.
***
Pagi-pagi sekali seorang lelaki sudah sibuk menyiapkan dirinya untuk segera pergi ke bandara. Ia akan meninggalkan Indonesia untuk melanjutkan pendidikannya dan memulai hidup barunya di negara orang. Setelah empat bulan memikirkan keputusannya ini akhirnya ia memilih untuk melakukan rencananya untuk kuliah di Italia.
"Maaf Renatha, bukannya aku nyerah buat cari kamu tapi aku harus melakukan rencana yang tertunda. Semoga kamu baik-baik aja di manapun kamu berada." gumamnya dengan memandang foto seorang gadis yang ada di ponselnya.
Ia berjalan keluar dari kamarnya dengan menarik koper besar, di lantai bawah terlihat kedua orang tuanya sudah menunggu. Seng langkah pasti menuruni anak tangga lalu segera berangkat ke bandara bersama keluarganya, Bara terus menatap foto Renatha yang terlihat bahagia. Rasa bersalah atas semua yang ia lakukan pada gadis itu membuatnya tak ingin pergi dan mencari. Perasannya menjadi campur aduk saat mengingat kembali benda yang ia temukan di dalam kamar mandi Renatha empat bulan lalu.
"Bara, kamu jaga kesehatan ya selama di Itali, jangan lupa makan tepat waktu dan istirahat yang cukup" pesan sang ibu
"Iya, ma." jawab Bara sedikit tidak bersemangat.
"Jangan lesu gitu, papa tau kamu masih mikirin kemana perginya Renatha. Tapi kamu jangan khawatir kita akan bantu cari adik kesayangannya kamu itu." ujar sang papa dengan menepuk pundak putra semata wayangnya.
Mereka tak tau jika sebenarnya Bara yang menjadi alasan kepergian Renatha, yang mereka tau hanya bara mencari Renatha karena menganggap gadis itu sebagai adiknya saja. Padahal alasan Bara mencari Renatha karena ia ingin meminta maaf dengan yang telah terjadi.
"Mungkin Tuhan gak memperbolehkan aku menemui kamu karena aku selalu jahat sama kamu Renatha." batin Bara yang kini sudah duduk didalam pesawat.
Selama dalam perjalanan Bara tak bisa memejamkan matanya dengan tenang, ia terus mengingat Renatha yang menangis dan mengucapkan salam perpisahan empat bulan lalu. Memikirkan Renatha yang entah dimana selama empat bulan ini, memikirkan apa gadis itu benar-benar menggugurkan kandungannya. Semuanya selalu berputar di kepala Bara, membuatnya semakin berat untuk meninggalkan Indonesia.
"Apa kamu akan maafin aku setelah semua kesalahanku ini, aku akan tetap cari kamu dan minta maaf dengan semua kesalahan ini." gumamnya yang kembali menatap foto Renatha.
Semuanya sudah terlambat jika ia meminta maaf karena mungkin Renatha sudah membunuh anaknya. Pasti Renatha juga ingin sukses seperti dirinya, pikir Bara pada akhirnya. Tanpa mau memikirkan Renatha lagi Bara memilih untuk meyakinkan dirinya jika gadis itu baik-baik saja dan telah memilih hal yang benar jika menggugurkan anaknya.
"Kita akan ketemu suatu saat nanti aku yakin itu. Mungkin saat ini kamu gak mau ketemu sama aku karena takut ketahuan kalo kamu hamil dan menggugurkan bayi itu. Semoga kamu baik-baik aja dan bisa hidup seperti sebelumnya, atau mungkin keluarga kamu juga tau keberadaan kamu Renatha. Aku sangat yakin kamu gak akan ngilang gitu aja tanpa diketahui seorang pun, secara kamu adalah gadis manja yang selalu bergantung pada orang lain." kata Bara, berbicara pada foto Renatha.
Perkataan Bara yang tidak masuk akal tentang Renatha dan keluarga mungkin akan membuat lelaki itu bisa hidup tenang tanpa memikirkan kesalahannya pada Renatha. Tapi yang jelas ia sama sekali tidak mau memikirkan Renatha lagi setelah pikirannya itu datang dan meyakinkan dirinya, jika gadis itu dalam keadaan baik-baik saja bersama keluarganya.
***
Sementara orang tua Renatha masih melakukan pencarian terhadap putrinya yang hilang. Mereka sama sekali tidak bisa menemukan putri tunggalnya, ketika melihat Ayana yang melanjutkan pendidikan ke Singapura dan Bara melakukan pendidikan di Italia, mereka malah sibuk mencari keberadaan Renatha. Putrinya yang selalu mengatakan apapun masalahnya dan selalu bersama seseorang setiap kali pergi, kini tidak di ketahui keberadaannya dan dengan siapa.
" Renatha pasti ketakutan pa, dia pasti bingung mau kemana hiks dimana dia sebenarnya kenapa dia pergi tanpa memberitahu alasannya pa hiks hiks " tangis Karina tak kunjung berhenti dengan memeluk foto putri tercintanya
" Papa juga udah berusaha buat cari Renatha ma, mama sabar ya papa yakin kita pasti bisa nemuin Renatha dengan selamat dan bisa hidup bahagia lagi bersama " ujar Sanjaya menenangkan sang istri
Renatha bukan cuma satu-satunya penerus keluarga Sanjaya Malik, dia juga satu-satunya cucu perempuan dalam keluarganya. Gadis itu adalah kesayangan seluruh keluarga besarnya, kepergian Renatha menjadi pukulan keras bagi keluarganya. Apalagi selama ini dia gadis baik yang selalu menurut dan baik hati, apalagi kelembutan hati gadis itu yang tak pernah marah pada satu orang pun.
" Aku akan cari Renatha sampe ketemu tante tenang aja dia pasti baik-baik aja " kata Ronal kakak sepupu Renatha yang datang dari Amerika karena mendengar adik kesayangannya menghilang
" Ronal kamu janji kan hiks bisa nemuin Renatha dengan selamat " tangis Karina semaki pecah
" Iya tante jadi sekarang Tante tenang dulu jangan nangis dan harus tenang kalo Renatha liat dia pasti sedih terus nangis " ujar Ronal berusaha menenangkan ibu Renatha yang tak kunjung berhenti menangis
Renatha yang tak pernah menangis karena selalu di bahagian oleh keluarganya, gadis periang itu benar-benar pergi tanpa menghilangkan jejak sedikitpun. Bahkan ponselnya ia letakkan didalam laci kamarnya, semua barang yang diberi alat pelacak tak ada satu pun yang terbawa. Gadis itu hanya membawa beberapa baju dengan tas bukan koper yang di pasang alat pelacak. Semua itu membuat seluruh keluarga semakin bertanya-tanya kenapa gadis itu pergi.
Ronal memilih untuk pergi ke kamar Renatha untuk mencari lagi barang yang mungkin akan menjadi petunjuk. Meskipun selama empat bulan ini ia selalu mencari di kamar itu dan tak membuahkan hasil ia terus berusaha.
" Kenapa kamu pergi Renatha, kamu harusnya cerita sama kakak kalo ada masalah bukannya malah pergi seperti ini hiks kakak putus asa, kamu pergi tanpa meninggalkan sedikitpun jejak dan kakak menyesal ngajarin kamu caranya pergi tanpa meninggalkan sedikitpun jejak " laki-laki bertubuh besar itu menangis sejadi-jadinya di kamar Renatha
Ia baru ingat jika Renatha sempat ia ajarkan caranya pergi meninggalkan musuh tanpa jejak ketika berlibur di Amerika. Ia tak pernah berpikir jika Renatha akan melakukan itu, semua karenanya Renatha tak bisa di temukan. Semuanya Renatha lakukan dengan sangat rapih, tanpa membawa ponsel, ATM, dan barang-barang lain yang bisa di lacak.
" Kakak akan cari kamu sampai dapat, kakak juga akan cari orang yang membuat kamu pergi dari kami semua " gumam Ronal
***
Sudah berbulan-bulan Renatha hidup sendiri, malam ini Bu Asih tetangga Renatha yang baik menginap. Kandungan Renatha sudah memasuki sembilan bulan, sudah waktunya melahirkan dalam beberapa hari. Jadi Bu Asih ingin berada di dekat Renatha, takut sewaktu waktu akan melahirkan.
Renatha masih belum bisa tidur karena banyak baju yang belum ia lipat. Sebagai ibu hamil yang hidup sendiri ia tidak bisa bermalas-malasan apalagi menunda pekerjaan rumah.
Shh
" Aduh Bu, perut Renatha kok sakit ya " keluhnya seraya memegangi perut buncitnya
" Kita keruma sakit aja ya, siapa tau kamu mau lahiran. Biar ibu panggil kang Mamat buat anterin ke jalan raya " kata Bu Asih
Renatha terus meringis, memegangi perutnya yang semakin terasa sakit. Tak lama terdengar suara becak, Bu Asih datang bersama kang Mamat.
" Kang tolong bawa Renatha ke becak dulu ya kang. Saya mau ambil tas buatnya dulu " pinta bu Asih
" Iya bu, ayo neng saya bantu " kang Mamat membopong Renatha keluar rumah menuju becaknya
Renatha mengambil saputangan yang ada di saku dasternya, menggigitnya keras untuk melampiaskan rasa sakitnya. Tangannya menggenggam kuat besi pada becak, keringat membasahi seluruh wajahnya dan seluruh tubuhnya.
Bu Asih datang tas yang sudah Renatha s usapkan dari beberapa hari lalu, menyelimuti perut Renatha karena daster Renatha tidak terlalu panjang.
" Ayo kang berangkat " kata Bu Asih
Bu Asih mengusap keringat Renatha, dan memberikan kata-kata penyemangat. Saat sampai di jalan raya, jalanan terlihat sudah sepi. Tidak ada kendaraan yang melintas, jadi Bu Asih meminta kang Mamat untuk jalan terus sampai ada kendaraan umum.
" Bu perut aku sakit shh " ringis Renatha yang terus mengelus pelan perutnya
" Bu itu ada taxi " kata kang Mamat
" Tolong berentiin ya kang " pinta Bu Asih
Setelah taxi berhenti kang mamat membantu Bu Asih untuk memindahkan Renatha pada taxi. Renatha yang terus merintih kesakitan membuat Bu Asih semakin bingung, ia takut terjadi apa-apa pada Renatha. Di usia muda dia mengandung dan mengurus sendiri semuanya, dan sekarang harus melahirkan tiga orang anak.
Sesampainya di rumah sakit Bu Asih sedikit lega karena pada akhirnya Renatha akan segera melahirkan. Bu Asih menunggu Renatha di luar ruang persalinan. Suara kesakitan Renatha terdengar begitu jelas dari dalam ruangan.
Akhirnya setelah beberapa menit terdengar suara tangis bayi pertama, tapi Renatha masih terdengar kesakitan di dalam sana. Bu Asih terus menunggu diluar, sampai bayi kedua dan terakhir pun juga terdengar menangis. Ia terharu pada Renatha yang berhasil melahirkan ketiga anaknya dengan selamat.