bab 4

2431 Kata
Renatha begitu pusing mendengar kedua putranya menangis di waktu yang bersamaan karena lapar. Rasanya juga ingin menangis karena begitu membingungkan, ia tinggal sendiri di rumahnya dan mengurus tiga orang anak sekaligus. Sesekali air matanya mengalir jika merasa lelah dan putus asa melihat anak-anak menangis bersamaan. Dan sekarang sudah dua hari toko bunga miliknya tutup, sudah empat Minggu setelah melahirkan. Toko bunga miliknya sempat tutup selama dua Minggu, dan sekarang harus tutup lagi karena lelah. "Mama Renatha capek, Renatha bingung harus gimana sekarang. Gak ada yang bisa Renatha lakukan selain nangis sendirian disini. Dosa besar yang Renatha lakukan membuat semuanya berantakan hiks hiks" isakan Renatha semakin menjadi kala kembali mengingat kejadian itu Tubuhnya bergerak saat ingat kejadian yang begitu buruk dalam hidupnya, mungkin ia trauma. Karena ia juga sering merasa gemetar dan ada sekelebat bayangan mengerikan saat ia bertemu seorang laki-laki yang terlihat tertarik pada dirinya. " Rain, cup cup ya, jangan nangis lagi " ucapnya ketika sang putra terlihat akan menangis Si anak bungsu Rain, dia sangat rewel dan sering kali sakit. Umurnya baru satu bulan tapi sudah tiga kali sakit, dokter mengatakan bahwa Rain terkena gizi buruk, dia harus lebih banyak dapat perhatian karena kondisinya juga begitu lemah. " Cobaan berat ini terjadi karena dosa, coba malam itu gak ada dosa pasti aku nggak di hukum. Tapi kalo ini takdir yang di tulis untuk ku, aku harus berusaha bangkit. Apapun yang akan terjadi nanti, itu urusan nanti. Yang penting usahanya dulu " gumam Renatha dengan mata terpejam, berusaha menyemangati dirinya sendiri 5 tahun kemudian... Renatha kini hidup bahagia bersama ketiga buah hatinya, mereka hidup dengan kesederhanaan yang penuh cinta. Setelah lima tahun berlalu Renatha masih betah bersembunyi dari keluarganya dan semua orang yang mengenal dirinya. Ia memilih tetap hidup dengan kesederhanaan bersama ketiga anaknya asal tetap bersama. Ketakutan saat memikirkan akan kembali menemui keluarganya muncul, saat ia berpikir anak-anaknya akan mendapatkan penolakan dari semua orang. Meskipun sangat merindukan keluarga besarnya Renatha tetap menolak untuk menemui mereka karena takut. "Ndaaaa bang lepan nakal cama laiiin hua." teriakan seorang bocah laki-laki membuat Renatha segera menghampiri putranya yang tengah menangis itu. "Rain, kamu kenapa sayang kok nangis?" Tanya Renatha lembut lalu menggendong putranya. "Bang lepan tuh nakal ma laiin, maca pelmen laiin di ambil." adunya masih dengan air matanya yang semakin deras. "Abang Revan! jangan gitu dong kasian adeknya, sini punya Rain kasih bunda." pinta Renatha pada Revan yang menatap jengah pada adiknya yang suka berakting menangis. "Nih, dasal cengeng!" ujarnya lalu pergi dan duduk di sebelah anak laki-laki satunya yang tengah asik menata bunga. "Rain jangan nakal ya, biar gak di jahili lagi sama abang, sekarang kamu duduk aja sama abang-abang kamu ya." kata Renatha menasehati putranya. "Iya ndaa." jawab Rain menganggukkan kepalanya. Rain sudah tidak menangis lagi, bahkan ia terlihat tidak terjadi apa-apa. Mungkin itu yang membuat Revan selalu ingin menjahili adiknya tapi selalu gagal karena Rain selalu berakting menangis. Renatha sendiri sudah kembali ke depan karena takut ada pembeli. Kini toko bunganya sudah ada kemajuan bahkan sekarang sudah memiliki seorang pekerja. " Mbak itu ada yang pesan buket mawar putih buat nanti malem, tapi mawar putihnya kosong " adu Ririn karyawannya " Oh ya udah biar mbak aja yang nemuin orangnya dan bilang mawar putihnya lagi kosong " kata Renatha " Aduh mbak jangan, orangnya jutek banget mending gak usah di temuin " larang Ririn " Gapapa Rin, mungkin dia bisa mengerti " ujar Renatha Renatha menemui orang yang memesan bunga mawar putih itu dengan tersenyum ramah. Karena senyum Renatha yang begitu manis dan menghipnotis, orang itu tak bisa mengalihkan perhatiannya dan terus menatap Renatha. " Maaf mas, sebelumnya tadi karyawan saya bilang mas mau pesan buket mawar putih ya. Kebetulan stok kami sedang kosong untuk hari ini dan besok baru datang, atau mas mau pesan buket lain aja nanti saya kasih diskon" jelas Renatha yang masih dengan tersenyum ramah. "Em masalahnya ini buat mama saya mbak, masa iya saya kasih mawar merah kaya buat pacar aja." kata orang itu dengan berusaha mengalihkan tatapannya pada Renatha " Wah buat mama ya, gimana kalo mawar merah muda aja, Warna Merah Muda memiliki arti kebahagiaan dan rasa syukur. Jadi cocok kalo buat mamanya mas " jelas Renatha " Ya udah saya pesen itu aja mbak satu buket besar nanti saya ambil jam tujuh malam, ini dp buat bunganya, kalo gitu saya pergi dulu mbak " lelaki itu pun pergi setelah memberikan uang dP pada Renatha Beruntungnya ia tau makna-makna dari bunga yang ia jual jadi jika ada orang yang bingung ingin membeli bunga apa, ia bisa memberikan sedikit penjelasan agar pelanggan membeli dengan pas. Bahkan sering kali orang akan tanya dulu makna dari bunga yang akan mereka beli, untuk di jelaskan pada orang yang di belikan. Kehidupannya memang sedikit lebih baik tapi Renatha masih betah tinggal di rumah sederhana meskipun ada banyak tetangga yang selalu menghinanya. Anak-anaknya juga tak memiliki banyak teman karena tak memiliki seorang ayah, mereka bertiga juga sering kali di musuhi dan di hina. Tapi Renatha berusaha menasihati anak-anaknya untuk tidak membenci orang-orang yang jahat pada mereka. "Ndaaa!! laiin mau bunga mawal melah boleh ya." pinta Rain dengan menunjuk mawar merah yang ada di dekat Renatha. "Buat apa sayang? mawar merah itu banyak durinya kamu ambil bunga lain aja ya." ujar Renatha agar putranya tidak meminta bunga mawar merah karena ada dirinya. "Tapi, laiin mau itu ndaa catu aja!" paksa Rain dengan wajah gemas. "Hemm, ya udah, tapi hati-hati ya kalo pegang nanti kena durinya sakit loh, minta mbak Ririn buat bersihin durinya dulu ya sayang." akhirnya Renatha memberikan putranya mawar merah dengan berat hati, karena takut Rain terkena duri. "Iya, maci ndaa." ucap Rain lalu pergi dengan membawa sebatang mawar merah dengan hati-hati. Renatha yang sejak tadi di sibukkan dengan bunga-bunga mawar di sekelilingnya bersama Ririn kembali mengalihkan pandangannya. Ia melihat putra keduanya yang menaiki kursi dengan tangan yang terulur akan mengambil bunga mawar merah. "Revan kamu ngapain naik-naik kursi gitu? nanti jatuh sayang." Renatha segera menghampiri putranya "Levan mau ambil kaya Laiin, ndaah." ujar Revan dengan menunjuk bunga mawar merah. "Nih, lain kali izin dulu sama bunda, ati-ati itu banyak dirinya kalo kena entar nangis lagi. Cepet-cepet bawa ke mbak Ririn biar durinya di bersihin dulu." ujar Renatha "Levan gak cengeng ndaah!" kata Revan lalu pergi dari hadapan Renatha. Renatha hanya bisa geleng-geleng kepala saat putranya yang satu itu bertingkah seperti itu. Revan memang jarang sekali menangis sama seperti Regan kakaknya, berbeda sekali dengan Rain yang seringkali menangis. Renatha bersyukur anak-anaknya tumbuh menjadi anak-anak yang baik dan pintar, meskipun tanpa kehadiran seorang ayah anak-anaknya tak pernah kekurangan kasih sayang yang diberikan oleh Renatha selama ini. "Rin mbak mau shalat magrib dulu ya tolong jagain anak-anak." kata Renatha "Iya, mbak." jawab Ririn "Ndaa, Legan mau ikut shalat." anak pertamanya menghampiri. "Ya udah, yuk Regan ikut bunda." dari ketiga putranya Regan anak yang paling pintar dan pendiam. Bahasa cedel Regan juga tak terlalu parah seperti Rain juga Revan. Regan anak yang lebih banyak diam dan memilih untuk melakukan kesibukan saat merasa sedih. Ia anak laki-laki yang sangat pengertian dengan kondisi ibunya, Regan juga anak yang sangat rajin belajar. Sangat berbeda dengan Revan yang sangat tidak suka belajar malah tidak pernah mau jika disuruh belajar, tapi meskipun tak pernah belajar Revan tetap menjadi anak yang pintar. Untuk Rain dia anak yang sangat manja dan suka sekali mengerjai kakak-kakaknya terutama Revan. "Bang, ayo turun." ajak Renatha setelah mereka selesai shalat Maghrib. "Abang mau ngaji ndaa, nanti abang tulun ma tante Lilin aja." tolaknya Renatha tersenyum bahagia melihat putranya yang sangat taat dengan agama, Regan yang sudah berjalan menuju kursi dengan membawa bacaan ngajinya langsung duduk dengan tenang. "Bunda turun dulu ya, kamu tunggu tante Ririn naik buat shalat nanti turun bareng jangan sendirian." pesan Renatha yang di angguki oleh Regan. Renatha segera turun dan meminta Ririn segera naik kelantai dua untuk shalat dan turun bersama Regan nantinya. Setelah itu Renatha kembali merangkai bunga-bunga yang akan segera di ambil oleh pemesan. Hari ini toko memang tak terlalu ramai seperti kemarin-kemarin, membuat Renatha sedikit sedih. "Permisi." ucap seseorang dari luar " Eh mas mau ambil bunganya ya tunggu bentar ya mas biar saya ambilkan " Renatha segera mengambil bunga mawar merah muda yang di pesan lelaki tadi " Ini mas pesanannya " Renatha menyodorkan buket bunga yang sudah ia rangkai sebagus mungkin " Wah bagus juga, ini uangnya makasih ya mbak saya pergi dulu " ujar lelaki itu dengan senyum ramah " Iya mas makasih juga sudah pesan, semoga Mama mas suka dan bisa pesan kesini lagi " kata Renatha juga dengan tersenyum ramah " Iya mbak pasti " jawab lelaki itu sebelum masuk kembali kedalam mobilnya *** Tepat jam delapan malam Renatha dan anak-anaknya pulang dari toko. Saat turun dari taksi Revan dan Rain tertidur, alhasil Renatha harus menggendong kedua putranya. Untunglah Regan tetap terjaga dan berjalan menuju rumah mereka yang masuk kedalam gang kecil. Saat melihat wajah Regan yang lelah membuat Renatha tak tega dengan putranya yang harus berjalan. "Abang capek ya?" tanya Renatha perhatian "Enggak kok ndaa, abang cuma sediki ngantuk aja." jawab Regan berusaha terlihat ceria. "Ya udah, yuk jalan lagi sayang." ajak Renatha Renatha berjalan dengan menggendong kedua putranya dan Regan yang berjalan dengan memegangi tas yang Renatha bawa. Ketika melewati rumah salah satu warga yang ternyata disana cukup ramai karena ada beberapa yang berkumpul. Renatha kembali di caci maki dan di cemoohan dengan kata-katanya kasar. "Eh ibu-ibu, liat itu wanita yang punya anak tapi gak punya suami baru pulang." "Ih dasar wanita gak bener, malem-malem baru pulang bawa anak-anaknya lagi." "Heh, Renatha kamu darimana malem-malem baru pulang bawa anak-anaknya lagi." "Pasti dari jual diri Bu gak usah ditanya lagi." "kamu jangan ngajarin itu anak-anak buat jadi orang gak bener kaya kamu, atau kamu titipan aja mereka tidak di panti." "Bunda olang baik! kalian gak boleh hina bundanya Legan hiks." teriak Regan dengan menahan air matanya yang akan keluar. "Duh, kamu anak haram masih kecil tau apa!" "Dasar anak haram, masih kecil udah berani bentak orang tua." "Stop! kalian boleh menghina saya sesuka hati tapi jangan menghina anak-anak saya." ujar Renatha tegas "Yang namanya anak gak punya ayah, ya anak haram!" Karena tidak mau berlama-lama Renatha kembali berjalan menuju rumahnya dengan Regan yang sudah menangis dalam diam. Sedangkan Revan, anak itu sudah bangun sejak mendengar kakaknya berteriak dengan kencang. Perlahan tangannya meremas baju Renatha karena merasa kesal atas perkataan orang-orang kampung yang selalu menghina mereka. Sesampainya di rumah Renatha menidurkan Revan dan Rain di kamarnya, lalu keluar untuk menemui Regan yang masih menangis di ruang tamu. Ia tak pernah melihat Regan menangis dan baru kali ini ia Renatha melihat Regan tak berhenti menangis dengan tatapan kosong. Sebagai seorang ibu Renatha merasa sangat sakit hati saat putarannya menangis karena hinaan orang-orang. "Abang Regan?" panggil Renatha lembut berusaha untuk tidak menangis. "Hiks Legan benci ayah ndaa, Legan gak mau liat ayah untuk selamanya hiks hiks ayah jahat dia tinggalin kita sendilian hiks hiks" tangis Regan semakin menjadi-jadi kala Renatha yang ikut meneteskan air matanya. "Sayang denger bunda ya, kamu gak boleh nangis lagi gara-gara mereka yang gak tau apapun tentang hidup kita. Mereka itu iri sama kita karena saling sayang, mereka ngomong kaya gitu karena gak bisa punya anak kembar yang baik dan pintar kaya kalian. Sebenarnya mereka baik cuma karena iri aja mereka ngomong jahat sama kita, Regan juga gak boleh benci sama mereka ya." nasihat Renatha lembut "Dan, ayah kan lagi kerja jauh. Jadi Ayah gak bisa kesini buat ketemu kita. Suatu saat nanti kalo tuhan mengizinkan, pasti ayah pulang." jelas Renatha, ia selalu berbohong soal Ayah dari ketiga putranya, karena ia tidak mau anak-anaknya membenci sang Ayah. "Tapi meleka jahat ndahh! hiks hiks abang Legan gak suka!" Isak Regan "Orang jahat gak boleh dibalas sama kejahatan sayang, kalo mereka butuh bantuan kamu harus bantu sejahat apapun mereka sama kita, kamu ngerti kan yang Bunda bilang." kata Renatha lalu memeluk putra sulungnya. "Iya ndaa hiks Legan ngelti!" Renatha semakin memeluk erat putranya yang masih saja menangis dalam pelukannya. Tanpa disadari, anak kedua Renatha yang sejak tadi bangun mendengar semuanya yang di katakan sang kakak juga sang ibu. Ia tak menangis sama seperti Regan, malah wajahnya terlihat marah dengan semua yang didengar. Memang benar jika mereka sering di hina karena tidak memiliki seorang ayah. Sering kali di cemoohan dan di hina oleh orang-orang dewasa juga anak-anak sekitar rumahnya, begitu juga ketika di sekolah. "Bang Levan janji akan jadi anak yang baik buat ndaa, levan juga akan selalu jaga ndaa!" gumamnya dengan mengepalkan tangan *** Pov Renatha Hari ini Minggu, toko sengaja aku tutup saat hari Minggu. Karena ingin memiliki waktu bersama ketiga anakku, sekarang kami duduk di ruang tengah. Kulihat k dua putra ku menggambar sebuah keluarga, Regan, putra pertama ku sedang belajar menghafal do'a dari video YouTube. Kulihat gambar yang Revan buat, dia hanya menggambar empat orang. Aku, dirinya sendiri dan juga kedua saudaranya. Tidak ada sosok ayah dalam gambarnya, sama seperti kenyataan. " Revan kok gambar cuma empat? Gambar ayahnya mana? " Tanya ku lembut " Kan kita gak punya Ayah, ndah. Jadi Levan juga gak tau wajah Ayah. Jadi gak pellu di gambal " jawabnya polos " Tapi kata ndah kita punya Ayah, cuma ayah kelja jauh " celetuk Rain, matanya tampak berbinar saat membahas sosok ayah Aku benar-benar merasa bersalah sama mereka, karena terus saja berbohong. Tapi aku tidak bisa memberitahu yang sebenarnya, agar mereka tidak membenci Bara. Seburuk apapun Bara sebagai Ayah, dia tetap ayah anak-anak ku. " Sayang, Revan punya Ayah. Jadi harus gambar ayah juga ya, biar ayah gak sedih " kata ku " Ayah kan gak tau, jadi ayah gak akan sedih. Pokoknya Levan gak mau gambar ayah sebelum Ayah pulang " tolaknya " Laiin juga mau Ayah pulang ndah, kalo Ayah pulang pasti kita bisa punya taman banyak " rasanya hatiku di tempat mendengar perkataan putra bungsu ku " Kita pasti bahagia kalo Ayah pulang ndah " kata Revan, matanya menatap sendu ke arah ku " Sini duduk deket bunda " pinta ku Ketika kedua anak ku sudah dalam pelukan, aku menghembuskan nafas pelan. " Sayang, hidup itu nggak harus tentang kebahagiaan terus. Karena di dunia ini gak ada yang abadi, mungkin sekarang kita belum bisa bahagia seperti orang lain. Tapi suatu saat pasti kita bahagia, karena tuhan maha adil. Kalian harus sabar untuk menunggu kebahagiaan itu hadir, dan berusaha menjadi manusia yang baik agar nanti kebahagiaan yang kita rasakan lebih lama " jelas ku Rain dan Revan tampak mengangguk, entah mereka mengerti atau tidak. Di usia muda seperti ini memang tidak seharusnya aku berbicara seperti ini. Tapi aku percaya kedua putra mu ini sedikit mengerti dengan yang aku katakan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN