bab 5

1386 Kata
HARI INI, Renatha terpaksa tidak ke toko lebih awal karena Rain tidak mau ditinggal. Entah kenapa, Rain akan menangis saat Renatha meninggalkan area sekolah Rain. Ingin rasanya Renatha menuruti, bagaimana juga ia sebenarnya tidak suka berada di daerah perumahan. “Nda!” panggil Rain, saat mereka keluar dari kelas setelah mendengar bel istirahat. “Sayang, sini, yuk! Langsung makan, ya, biar nanti belajarnya tambah semangat lagi,” panggil Renatha pada anak-anaknya. “Laiin nggak mau makan cayul, Nda. Nggak enak,” tolak Rain saat Renatha menyiapkan sayuran yang tadi ia masak. “Makan sayul bial pintel, Laiin,” ujar Revan yang ikut menyodorkan sayuran pada mulut Rain. “No, Abang! Cayul itu kayak lumput, nggak ada lacanya,” tolak Rain lagi dengan menutup mulut dengan kedua tangan. “Memangnya Rain pernah makan rumput? “ tanya Renatha, sambil tersenyum, lalu secepat mungkin terdiam saat Rain mengangguk. “Pelnah, Nda. Waktu mandi ujan, Laiin pengin tau lasanya,” jawab Revan. “Ih, kayak sapi, dong, anak Bunda ini,” goda Renatha. “Nggak, kok, Nda. Cuma sedikit makannya.” “Ya, udah. Kalau nggak mau makan sayur, sekarang makan nasi sama telurnya, ya, Sayang.” Renatha akhirnya membiarkan Rain tidak makan sayur. Rain yang sangat tidak menyukai sayuran membuat sekelebat bayangan masa lalu menghantui. Ia ingat, saat tengah makan bersama dengan Ayana dan Bara, laki-laki itu membenci sayuran. Bahkan tanpa sadar Renatha tersenyum mengingat kenangan manis itu. Kenangan di mana ia dan Ayana memaksa Bara untuk memakan sayuran dengan berbagai macam cara. “Nda, tadi ada yang nakal cama Laiin,” adu putranya dengan sedikit merengek. “Ya, udah. Nanti bial Abang yang hajal dia. Bial nggak nakalin Laiin lagi,” ujar Revan cepat. “Bang Revan nggak boleh gitu, ya. Biarin aja mereka jahat, selagi itu nggak merugikan kita. Untuk Adek, kalau dia nggak merugikan kamu, nggak boleh bales, ya. Itu nggak baik,” nasehat Renatha, lembut. “Tapi, dia bilang Laiin cengeng, Nda,” adunya dengan mata berkaca-kaca. “Tapi, emang cengeng, kok, Laiin. Kamu nggak boleh malah kalena dia jujul,” ujar Revan begitu polos. “Laiin nggak cengeng, Abang! Cuma ail matanya aja yang suka jatuh cendili,” kata Rain menepis perkataan sang kakak, membuat Renatha tertawa melihat tingkah lucu kedua putranya. “Sayang, minum dulu, bentar lagi masuk kelas.” Renatha memberikan sebotol s**u yang sudah ia bawa tadi pada ketiga anaknya. “Ndah, Laiin mau pulang aja, ndak mau macuk lagi,” tolak Rain dengan wajah memelas. “Sayang, kok, nggak mau masuk kelas? Rain, kan, anak baik dan rajin, masa nggak masuk kelas? Nanti nilainya jelek loh, Nak.” Rain yang mulai bosan dengan situasi seperti ini, membuat Renatha sedikit cemas jika putranya akan selalu menjauh dari orang di sekeliling. “Laiin nggak mau, Nda. Meleka jahat cama Laiin!” tangis Rain mulai pecah. Anak seusia Rain yang seharusnya bisa bersosialiasi dengan siapa pun, tetapi ini sebaliknya. Anak seperti Rain yang biasanya mendapat perhatian karena tingkah polosnya malah harus menanggung hinaan dan cacian orang dewasa. “Rain, nangisnya berhenti, ya, Sayang. Ya, udah, nggak usah masuk dulu. Sini, sama Bunda.” Renatha berusaha membujuk Rain agar berhenti menangis. Tanpa disadari Revan dan Regan mengepalkan tangan mereka menahan amarah. Sebagai kakak, keduanya tidak akan pernah rela ada yang menyakiti Rain, walau semarah apa pun Regan, ia tidak akan membalas karena tidak mau mengecewakan Renatha. Untuk Revan, anak itu tentunya tidak akan tinggal diam dan akan segera membalas orang yang membuat Rain menangis. “Ayo, Abang Regan sama Abang Revan masuk kelas, ya. Bang Revan inget kata Bunda, nggak boleh balas orang yang udah jahat karena Allah nggak tidur, biar Allah aja yang balas. Jangan Abang,” peringat Renatha lembut. “Iya,” jawab Revan tak bersemangat. Sepulang dari sekolah, Renatha dan anak-anaknya segera pergi ke toko. Seperti biasa, mereka akan menghabiskan waktu di sana untuk menjual bunga. Dalam lubuk hati Renatha yang terdalam, ia sangat ingin melihat anak-anaknya bisa bermain dengan anakanak lainnya, tapi mustahil jika melihat lingkungan yang seperti itu. “Ndah, Laiin mau ekiim,” rengek Rain. “Ya, udah, kita beli es krim, tapi setelah itu tidur siang, ya.” Rain mengangguk antusias. Renatha pergi ke supermarket yang tidak jauh dari toko, hanya berdua dengan Rain, karena Regan dan Revan tidak mau ikut. Mereka berjalan riang dan bergandengan tangan kadang Rain menebar senyum manisnya pada beberapa orang yang bersalipan dengan dirinya. Saat di supermarket Rain terus mengajak Mbak penjaga kasir berbicara dengan suara cadelnya. Beruntung tidak semua orang membenci anak-anak Renatha, bahkan ada beberapa orang yang suka melihat ketiga putranya yang lucu dan tampan. Setelah membayar belanjaannya Renatha dan Rain pergi dari sana. “Renatha,” panggil seseorang dengan lantang. Mendengar suara itu membuat seluruh tubuh Renatha menegang, jantungnya terasa seakan berhenti berdetak. Perlahan, ia memalingkan wajah, melihat wanita baya yang memanggilnya. Tanpa disadari wanita itu langsung memeluk Renatha dengan erat dan bergumam senang. Pasalnya sudah hampir lima tahun lebih Renatha menghilang. “Nda, ayo pulang. Laiin ngantuk,” rengek Rain dengan menarik baju Renatha. Wanita itu melepaskan pelukan, menatap anak laki-laki berusia empat tahun itu dengan bingung. Mengerti dari arti tatapan itu, Renatha mengantar pulang Rain sejenak, lalu meluangkan waktu sejenak untuk berbicara. “Renatha, kamu udah menikah? Punya anak juga? Kenapa kamu pergi gitu aja? Kita nyariin kamu, Sayang,” tanya wanita itu, cepat. “Se-sebenarnya Renatha nggak pernah nikah, Tante. Benar, dia anak Renatha, kembar tiga. Renatha nggak mau Mama sama Papa kecewa sama aku karena hamil di luar nikah, jadi aku memutuskan untuk pergi karena takut. ” Akhirnya Renatha kembali mengeluarkan air mata saat membicarakan kembali masa lalunya. “Jadi, kamu ... astaga! Renatha!” “Tante, Renatha nggak seperti yang Tante pikirkan, sebenarnya dulu Renatha tidak sengaja melakukan itu sama seseorang. Dia bilang tidak mau punya anak dari Renatha karena masih muda dan harus mengejar cita-cita untuk membahagiakan kedua orang tuanya. Kalau dia tau Renatha hamil, dia akan menyuruh Renatha gugurin, tapi Renatha nggak mau dapat dosa lebih besar lagi. Akhirnya Renatha putuskan untuk pergi. Tolong jangan kasih tau siapa pun.” Renatha terus menangis dengan duduk di lantai memegangi tangan wanita paruh baya yang kini menatapnya datar. “Nggak ada kata nggak sengaja untuk melakukan hubungan terlarang itu, Renatha. Siapa laki-laki itu?” tanyanya datar. “Renatha nggak bisa kasih tau siapa dia, ini untuk kebaikan kalian semua. Jadi, jangan paksa Renatha untuk kasih tau siapa dia, tapi Renatha mohon, tolong sembunyikan pertemuan kita dari siapa pun.” “Apa dia pacar kamu? Kenapa kamu harus sembunyikan lelaki itu kalau kamu nggak sengaja? Harusnya kamu kasih tau kita semua siapa dia, biar kamu dan anak-anak kamu punya keadilan. Dengan kamu menyembunyikan seperti ini, bukan kebaikan untuk kita, tapi kamu cuma mau menyelamatkan dia aja, kan, Renatha?” tangis Renatha semakin pecah mendengar perkataan wanita baya yang kini menatapnya datar. “Nda,” panggil bocah laki-laki yang kini berdiri tak jauh dari mereka. “Rain? Kok, kamu bangun lagi, Sayang,” tanya Renatha berusaha tenang. “Nenek itu jahat cama, Nda, ya?” tanya Rain dengan wajah memerah menahan tangis. “Nenek itu baik, kok, Sayang. Dia cuma kasih tau Bunda aja, biar jagain kalian dengan baik. Rain? Kok, Rain malah nangis?” Rain anak yang mudah menangis apalagi melihat Renatha sedih dia akan langsung mengeluarkan air matanya. “Laiin takut, Nda,” tangis Rain semakin keras membuat Renatha kewalahan. “Aduh, Rain. Jangan nangis lagi, dong, kamu sama Tante Ririn bentar, ya. Bunda mau bicara sama nenek ini sebentar aja.” Terpaksa Renatha meminta Ririn untuk membawa paksa Rain untuk menjauh. “Aku mohon sama Tante, kali ini aja bantuin aku, ya, Tan. Aku nggak mau anak-anakku mendapatkan lebih banyak lagi penderitaan. Udah cukup hinaan dari orang-orang karena mereka nggak punya ayah, Renatha mohon banget sama Tante,” mohon Renatha lagi. “Tante akan sembunyikan semuanya dari dari orang-orang. Semoga kamu bahagia, tapi Tante nggak bisa menilai kamu sebagai wanita baik-baik lagi setelah ini. Anggap kita nggak pernah kenal begitupun sebaliknya. Permisi.” Sebelum Renatha mengucapkan apa pun lagi wanita paruh baya itu sudah pergi. “Nggak apa, Tante. Asal kalian semua akan bahagia dan Tante tidak kecewa dengan anak tante sendiri. Semoga Bara dapat wanita baik-baik yang bisa membahagiakan dia dan keluarga Tante. Meskipun Renatha dan anak-anaknya di sini harus berjuang sendiri,” gumamnya dengan menatap kepergian wanita itu dengan senyum miris.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN