bab 6

1847 Kata
SARAS, wanita paruh baya yang baru saja pulang ke rumah itu pikirannya bercampur aduk setelah bertemu dengan Renatha. Dia benar-benar tidak habis pikir dengan gadis baik yang sangat dikenalnya sejak dulu itu, bisa menjadi ibu dari tiga orang anak tanpa seorang suami. Bahkan dia tak sadar telah melewati anak dan suaminya yang duduk di ruang tengah. “Ma!” panggil seorang lelaki dewasa dengan bingung. “Eh? Iya, Sayang. Bara kamu nggak ke kantor?” tanya Saras basa-basi. “Nggak. Lagi nggak ada kerjaan yang penting soalnya,” jawabnya. “Oh. Kamu sama Papa lanjut ngobrol aja, ya. Mama capek, mau istirahat,” kata Saras dan langsung pergi begitu saja tanpa mau mendengar Bara yang akan bicara lagi. Sesampainya di kamar, ia langsung saja duduk dengan pandangan kosong. Sejujurnya anak laki-laki berusia empat tahun yang ia temui ketika menangis tadi mengingatkannya pada seseorang. “Apa aku harus sembunyikan ini untuk Renatha? Tapi, orang tuanya selalu sedih bahkan sering sakit-sakitan. Kalau aku kasihtau orang-orang, apa mereka akan membiarkan Renatha dan anak-anaknya hidup bersama? Astaga, gimana ini?” gumamnya bingung. Selama ini ia dan suaminya selalu berusaha untuk membantu mencari Renatha dan sekarang ia sudah bertemu wanita itu. Akan tetapi keadaannya berubah. “Udah, Saras. Kamu jangan pikirkan Renatha lagi, dia itu udah jadi wanita yang nggak baik. Kalau dia pergi, kan, untung juga Bara dan anak sahabat kamu satunya— Ayana, nggak kena pengaruh buruk. Sekarang fokus aja cari jodoh buat Bara, biar Bara nggak lagi punya perasaan sama wanita itu.” Pada akhirnya, Saras memilih untuk mandi air hangat untuk menghilangkan pikiran yang berkecamuk di otaknya. Ketika makan malam tiba, Saras sudah bersikap seperti biasa pada suami dan anaknya. “Ma, besok aku mau pergi ke undangan. Ada teman SMA, dia mau nikah,” kata Bara meminta izin. “Iya, tapi sekalian cari calon mantu buat Mama, ya. Masa kamu nggak nikah-nikah, udah cukup juga umurnya, kan,” jawab Saras. “Iya, nanti cari di pasar malam,” canda Bara. “Ih, kamu malah bercanda. Ini Mama serius tau! Pengin punya cucu. Kamu cepatan nikah, dong,” desakan untuk menikah yang selalu Bara rasakan membuat lelaki dewasa itu jarang pulang ke rumah dan memilih untuk tinggal di aparteman. Selesai makan malam Saras meminta suaminya untuk bicara berdua di balkon kamar mereka. Rencananya Saras ingin cepat menjodohkan Bara dengan anak temannya dari grup ibu-ibu sosialita. “Jadi, Papa setuju, kan, kalau Bara nantinya kita jodohkan sama anak teman Mama? Dia anaknya baik, loh. Udah gitu dari kalangan keluarga kaya raya, pasti nanti derajat keluarga kita makin naik dan makin dikenal sempurna di mata orang-orang,” ujar Saras dengan wajah ceria. “Papa terserah sama Bara aja, dia udah dewasa. Udah saatnya punya keputusan sendiri untuk hidup dia ke depannya,” kata sang suami. “Ih, Papa, tapi Bara itu anak kita. Jadi, harus kita yang kontrol semuanya, dia itu satu-satunya yang kita miliki. Jadi berlian keluarga kita, harus terlihat sempurna dari sisi mana pun,” ujar Saras tak terima. “Papa cuma nggak mau buat dia terbebani kalau kita terlalu ikut campur urusan dia. Udah malam, kita tidur aja, ayo!” ujar Wisnu, lalu masuk ke kamar terlebih dulu. “Dasar! Laki-laki tua bangka nggak berguna! Anaknya mau dibuat sempurna, malah nggak mau.” Saras dengan kesal melempar gelas di depannya ke sembarang arah. Pagi-pagi sekali Renatha dan Ririn sudah berada di toko karena harus segera berangkat ke Bogor untuk mendekor. Kali ini, Renatha bisa tersenyum lebar karena mendapat job besar,. Sebenarnya Renatha masih tidak berani untuk keluar kota. Akan tetapi itu keuntungan besar, tidak boleh disia-siakan, apalagi triplets juga butuh liburan. “Ririn, itu tolong kamu masukin ke bagasi, ya? Saya mau ambil tirai kristal bentar di dalem,” ujar Renatha pada sang karyawan. “Iya, Mbak.” Renathan mengembus napas panjang, menenangkan diri. Baiklah, ia juga sudah mengubah seluruh identitasnya, untuk jagajaga anak buah ayahnya dan yang lain menemukannya. “Semuanya udah. Jadi, sekarang kita berangkat, yuk! Takut telat.” Mereka semua menaiki mobil yang sudah Renatha sewa. Selama perjalanan, Renatha terus melihat anak-anaknya yang tampak begitu senang. Biasanya mereka tidak pernah pergi jauh selain ke toko dan mini market. Regan yang sejak tadi hanya diam, kini terlihat bahagia dengan pengalaman pertamanya. “Mbak, biar saya bantu gendong,” ujar Ririn. Sekarang mereka sudah sampai di tempat orang yang akan melangsungkan pernikahan. Anak-anak Renatha pun sudah tertidur karena perjalanan cukup memakan waktu. Melihat gedung pernikahan di depannya, ada sedikit rasa iri di hati Renatha. Ia tidak bisa merasakan kebahagiaan dengan duduk di pelaminan bersama seorang lelaki yang menjabat tangan sang ayah, untuk mengucapkan akad. “Duh, anak-anaknya pada tidur, ya? Bawa ke kamar aja, yuk, Mbak! Kasian, pasti mereka capek perjalanan jauh,” ajak seorang ibu paruh baya. Renatha menatap ruangan yang sudah disiapkan, rapi dan nyaman. Senyumnya merekah saat ada beberapa mainan anakanak di ujung ruangan, sebelumnya memang ia mengatakan jika akan membawa ketiga putranya pada si pemilik acara, karena ia juga harus tau adab, jadi meminta izin saat membawa ketiga putranya. “Terima kasih, ya, Bu, sudah memberikan anak-anak saya tempat yang sangat bagus dan layak, padahal hanya tempat biasa saja sudah cukup,” ucap Renatha tulus. “Iya. Lagian, kan, saya yang punya hajat. Kamu adalah tamu yang saya undang, jadi harus diperlakukan dengan baik supaya tamu saya merasa nyaman.” Ibu itu terlihat begitu ramah dan baik. Wanita paruh baya itu sangat baik, membuat Renatha teringat pada sang ibu yang juga baik pada orang lain. Sudah bertahuntahun tak bertemu dengan kedua orang tuanya, rasa rindu yang Renatha rasakan begitu besar untuk mereka. Tanpa disadari air matanya sudah membasahi pipinya tanpa permisi. Nasib buruk yang menimpa anak-anaknya begitu menyakitkan. Tak hanya tidak memiliki sosok ayah, tapi juga tidak mengenal keluarganya selain Renatha. Bahkan anak-anak itu selalu mendapatkan hinaan dari banyak orang. “Semoga anak-anak selalu bahagia meskipun mereka sering sakit hati saat ada yang menghina mereka, tapi aku janji akan melakukan apa pun untuk anak-anak.” Tidak mau berlama-lama memikirkan hal yang tidak baik, Renatha kembali melanjutkan mendekor bersama Ririn. Dekorasi yang dipasang cukup sederhana, jadi tak membutuhkan waktu lama untuk menyelesaikan pelatihan. Meskipun sederhana, tapi tampak begitu mewah. Bahkan mempelai wanita tampak senang melihat hasilnya. Sekarang Renatha dan Ririn sudah duduk bersantai dengan menata bungabunga yang akan menjadi hiasan di beberapa sudut. Hanya tinggal sedikit lagi semuanya akan segera selesai dengan sempurna. “Nda!” Terdengar suara serak khas bangun tidur seorang bocah laki-laki. “Eh, anak Bunda udah bangun. Sini, Sayang,” panggil Renatha. Tidak terasa sudah hampir tengah malam Renatha dan Ririn masih sibuk menyiapkan dekor. Berhubung acaranya besok pagi, mereka harus menyelesaikan malam ini juga. Sebenarnya hanya tinggal menata bunga-bunga saja, sebentar lagi juga selesai. Namun, Rain bangun di tengah malam, pasti akan sulit untuk anak itu tertidur lagi. Selesai menata bunga-bunga yang tadi dirangkai, Renatha dan lainnya pergi untuk istirahat. Untungnya Rain kembali tertidur. Itu artinya ia juga bisa tidur untuk malam ini dan tidak jadi bergadang. “Renatha kangen Mama sama Papa. Apa kabar kalian sekarang? Maaf, ya, Renatha pergi tanpa memberitahu apa pun,” gumam Renatha sebelum akhirnya pergi ke alam tidur. Bara datang bersama seorang wanita cantik ke sebuah pernikahan temannya. Dengan setelan jas hitam serta kemeja, sangat cocok untukBara. Begitu juga dengan wanita cantik yang menggandeng lengannya, senyumnya manis. “Yo, akhirnya lo datang juga. Gue kira lo sibuk,” ujar seorang lelaki. “Datanglah, meskipun lo b*****t, tapi masih teman gue,” kata Bara dengan nada dinginnya. “Sialan lo, tapi meskipun b*****t, gue nggak lari dari tanggung jawab,” cerca laki-laki itu. Membuat Bara diam mendengar perkataan temannya, seolah menyinggung dirinya. Akan tetapi tidak ada yang tau kejadian dulu, jadi Bara kembali tak ambil pusing. “Terserah lo, deh,” timpal Bara cuek. “Eh, cewek lo cantik, ya? Kapan nyusul?” Tanpa menjawab, Bara malah mencium pipi kiri wanita itu dengan lembut membuat si pengantin pria kesal, karena beberapa tamu tampak tersenyum melihat Bara dan pasangannya mengumbar kemesraan. “Sialan lo. Sana, turun!” Bara pun memilih untuk duduk daripada terus meladeni temannya itu. Matanya melihat sekeliling, memperhatikan dekorasi yang sangat sederhana tapi elegan. Mengingatkan dirinya pada seseorang yang begitu ia rindukan selama ini. “Sayang, aku mau ambil minum dulu,” pamit wanita di samping Bara. “Biar aku yang ambil, kamu duduk sini aja.” Bara beranjak dari duduknya untuk mengambil minum. Bara mengambil dua minuman yang berbeda, lalu segera kembali ke kursinya. Matanya tak sengaja melihat seorang bocah laki-laki tengah berusaha mengambil kue di atas meja. Karena kasihan, Bara melangkah, mendekati anak itu untuk membantunya. “Hei, Bocah! Kamu mau ambil yang mana?” tanya Bara langsung. “Om ambilin yang itu! Cepat! Laiin mau!” ujarnya. Bukannya mengambil apa yang anak itu tunjuk, Bara malah meletakkan minumannya dan menggendong bocah laki-laki yang menyebut dirinya Laiin itu. Rain yang kaget pun secara refleks memeluk leher Bara, membuat wajah kedua orang begitu dekat satu sama lain. “Mau yang mana, cepat ambil!” suruh Bara, tak acuh. “Wah! Ini bagus walnanya! Laiin makan ini aja!” Dengan riang, Rain memakan kue itu. “Om, buka mulutnya,” pinta Rain semangat. “Om nggak suka kue, kamu makan sendiri aja,” tolak Bara. Merasa ditolak oleh Bara, Rain langsung cemberut membuat Bara heran dengan anak yang di gendongannya. Ia pun membuka mulut agar disuapi oleh Rain, tentunya agar anak itu tidak sedih karena ditolak. Keduanya makan kue bersama. Bahkan saking asyiknya, Bara melupakan wanita yang akan ia ambilkan minuman. “Aku nunggu kamu sampai rasanya nggak kuat buat sekedar jawab iya atau tidak pas ditanya orang gara-gara kehausan. Ternyata kamu di sini asyik makan kue,” celetuk seseorang dari belakang Bara. Bara membalikkan badan, mendapati wanita tengah berdiri dengan berkacak pinggang. “Tante mau makan kue juga? Cini Laiin cuapin,” ujar Rain, lucu. Wanita itu menatap Rain dengan mata berbinar, dengan cepat ia menyentuh pipi Rain dengan lembut. Senyumnya mengembang ketika Rain menyodorkan secuil kue untuk dirinya. Tanpa ragu, ia menerima suapan dari Rain. Mereka bertiga pun asyik memakan kue bersama sampai lupa waktu, beberapa tamu yang melihat itu mengira mereka adalah satu keluarga yang bahagia. Sedangkan di tempat lain, Renatha sibuk menemani dua putranya yang sedang makan. Tadi, Rain dibawa Bu Hasna--tuan rumah yang mengadakan acara ini. Wanita paruh baya itu sangat gemas dengan Rain yang terus memanggil dengan sebutan nenek jahil. Sejak pagi Bu Hasna terus saja mengganggu Rain, berbeda dengan kedua kakak Rain yang hanya diam memperhatikan beberapa orang. Saat akan melihat Rain yang ada dalam acara, Renatha tak sengaja melihat sosok laki-laki yang tengah tertawa bersama seorang wanita dengan bocah laki-laki di gendongannya. Ia tak bisa melihat dengan jelas anak yang di gendongan, karena tertutup tubuh kekar lelaki itu, hanya bisa melihat belakang kepalanya saja. “Bara,” gumam Renatha. ”Ternyata kamu sudah sangat bahagia dan memiliki keluarga lengkap. Semoga kamu selalu bahagia dengan mereka selamanya.” Tak mau berlama-lama melihat keluarga Bara, Renatha memilih untuk segera kembali ke dalam ruangan yang tadi ia tempati sebelum bertemu dengan lelaki itu. Ia belum siap untuk bertemu dengan siapa pun saat ini, semuanya akan kacau.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN