bab 7

1785 Kata
KARENA keasyikan dengan Rain, Bara dan wanita itu sampai lupa akan rencananya yang ingin datang sebentar saja. Hingga beberapa jam berlalu, Bara masih enggan berjauhan dengan Rain. Ia sempat berebut dengan pacarnya untuk bergantian memangku Rain, tapi langsung ditolak oleh Bara. Rasanya sangat dekat dan damai saat Rain berada di gendongannya seperti sekarang. “Laiin mau Ndah, Laiin ngantuk,” keluh Rain. “Mama kamu di mana? Biar Om yang antar kamu,” tanya Bara lembut. “No, Laiin nggak boleh menyusahkan olang. Kata Ndah, Laiin jadi anak mandili,” tolak Rain. “Sayang, kamu ngantuk? Biar Tante antarin aja, ya,” tawar Nabilla lembut, seraya mengelus puncak kepala Rain. Rain tetap menggeleng dan turun dari pangkuan Bara. Setelah berpamitan, anak laki-laki itu segera berlari keluar dan berpapasan dengan wanita yang membawanya ke pesta. “Lho, Sayang? Nenek cari kamu.” Wanita paruh baya itu meraih tubuh Rain ke dalam gendongannya. “Laiin ngantuk, Nenek,” ujarnya. “Ya, udah. Nenek anter ke Bunda, ya, Sayang.” Rain hanya mengangguk pasrah. Renatha yang sedang menemani dua putranya itu terkejut dengan kedatangan Bu Hasna. Ia segera menghampiri Bu Hasna yang menggendong Rain. Sungguh, ia merasa tidak enak. “Duh, Rain nyusahin, ya, Bu. Maaf ngerepotin Ibu,” ucap Renatha merasa bersalah. “Nggak, kok, malah Rain dari tadi main sama teman mantu saya. Ini baru sama saya pas mau ke kamu karena ngantuk aja,” jawab Bu Hasna. Renatha meraih tubuh putranya, Rain terlihat begitu lelah karena tadi bermain di dalam acara. Ketika baru selesai menidurkan Rain, Renatha sadar jika ada bau parfum yang familiar. Sudah sangat lama ia tidak mencium bau parfum itu, tapi siapa? Tidak ingin menambah pikiran, Renatha kembali menemani Regan dan Revan. Dua bocah itu asyik menonton video di YouTube, bukan video anak-anak yang biasanya Rain lihat, tapi film laga. Entah kenapa dua anak itu sangat suka film yang berbau bela diri dibanding film anak-anak. Hingga malam tiba, acara telah selesai, begitu juga dengan dekorasi yang sudah dilepas. Sekarang saatnya Renatha kembali pulang bersama tiga anaknya. Regan, Revan, dan Rain, sudah ada di dalam mobil, sedangkan Renatha dan Ririn baru selesai mengemas barang untuk dimasukkan ke mobil. “Nak Renatha,” panggil Bu Hasna. Baru ingin menutup pintu mobil, Renatha menoleh, tapi senyum itu hilang seketika saat seorang lelaki memandangnya, terkejut. Dengan cepat Renatha berusaha mengubah kembali raut wajahnya menjadi tersenyum. “Ada apa, Bu?” tanya Renatha berusaha tenang. “Ini ada sedikit rezeki untuk si kembar tiga. Kamu terima, ya,” kata Bu Hasna menyodorkan amplop cokelat yang lumayan tebal. “Nggak usah, Bu. Lagipula saya sudah menerima uang yang cukup dari Ibu,” tolak Renatha, lembut. “Saya mohon, terima ini. Anak-anak kamu sudah saya anggap seperti cucu saya,” paksa Bu Hasna. Renatha masih bersikeras untuk menolak, tapi akhirnya ia menerima agar cepat pulang dan menghindari tatapan lelaki yang terus tertuju kepadanya. Nahas, ia tidak bisa pergi begitu saja ketika Bu Hasna kembali memanggil, lalu menyodorkan beberapa kantong plastik. Tanpa menolak, Renatha langsung menerima agar cepat pergi dari sana. “Tunggu! Boleh saya meminta waktu anda sebentar?” Suara itu benar-benar membuat Renatha bak disambar petir pada malam hari. “Maaf. Saya buru-buru, Tuan,” tolak Renatha tanpa mau membalik badan. “Ini pekerjaan untuk anda, saya ingin mengadakan acara dan membutuhkan tenaga anda,” kata lelaki itu cepat. “Ibu masuk dulu, ya. Sekalian mau bawa mantu Ibu ke dalam. Permisi.” Bu Hasna melangkah masuk, meninggalkan Renatha yang masih belum mengubah posisinya. “Renatha, kenapa kamu pergi sejauh ini? Kenapa kamu selalu berpikir bodoh?” sergah lelaki itu, dingin. “Sudahlah, Bara. Jangan ikut campur urusanku, kamu tidak tahu apa pun tentang apa yang terjadi,” cerca Renatha, berusaha menahan tangis. “Tidak tahu apa pun? Apa maksud kamu? Bahkan kita hidup bersama selama bertahun-tahun, aku tau semuanya tentang kamu. Dengan bodohnya kamu pergi dari rumah begitu saja. Apa kamu tidak memikirkan orang tuamu? Mereka sakit-sakitan sejak kamu pergi. Jangan egois, harusnya kamu berpikir dewasa dan lebih smart lagi.” Perkataan Bara membuat Renatha tersinggung. Egois? Apa tidak salah dengar? Dulu, Renatha memang menyukai Bara. Apalagi wajah tampan Bara yang selalu ingin Renatha miliki sendiri. Namun, itu dulu. Sebelum kejadian malam yang membuat seluruh hidup Renatha berubah drastis. “Ya, aku egois dan jahat. Tanpa berpikir panjang, aku pergi begitu saja meninggalkan hidup mewahku yang penuh cinta. Aku cuma mau buktikan kalau Renatha yang dulu kamu kenal beda dari Renatha yang sekarang berdiri di depanmu. Aku seorang wanita tangguh yang belajar hidup sendiri mulai dari nol, bukan lagi Renatha manja dan bodoh. Sudah lama kita tidak bertemu, akan lebih baik kita pura-pura untuk tidak saling mengenal. Aku mau hidup tenang tanpa dihantui masa lalu yang kelam.” Entah kenapa Bara merasa tertohok dengan perkataan Renatha. Gadis yang dulu ia jaga dan lindungi, kini sudah berubah menjadi seorang wanita cantik yang bisa menjaga dirinya sendiri. Gadis manja yang selalu membuatnya menurut setiap waktu, kini menjadi seorang wanita kuat yang dewasa. Renatha manisnya sudah berubah, tak seimut dan semanja dulu. “Di mana anakku?” tanya Bara akhirnya. Jantung Renatha berdegup, menelan ludahnya susah payah. Ia tak bisa mengeluarkan sepatah kata pun, mulutnya terkunci rapat dengan pertanyaan Bara. Bagaimana bisa setelah bertahun-tahun pergi, lelaki itu bertanya di mana anaknya? Bahkan dulu ia tidak pernah memberitahukan jika sedang hamil. “Apa maksud kamu?” Renatha menatap tidak suka, meninggikan nada suara. “Jangan pura-pura bodoh. Kamu hamil anakku, kan, waktu itu?” sergah Bara. “Bukannya kamu minta buat aku bunuh anak itu? Supaya kamu bisa meraih impian dan membanggakan orang tuamu? Kenapa sekarang dicari?” tanya Renatha penuh amarah. “Dia sudah mati.” Melihat Bara tak mengeluarkan respon apa pun, Renatha segera masuk ke mobil. Ia tak mau berlama-lama berhadapan dengan Bara, sudah cukup ia bertemu dengan Ibu Bara beberapa hari lalu. Bara mematung, hatinya sakit mendengar jawaban dari Renatha. Ada rasa penyesalan yang begitu mendalam. Sangat dalam. Dua bulan berlalu, Renatha kembali seperti biasanya. Ia tak lagi memikirkan Bara, rasa takut jika sewaktu-waktu lelaki itu menanyakan anaknya kini sudah hilang. Sebenarnya ia merasa bersalah pada ketiga putranya. Bodoh, ia mengatakan anaknya sudah tidak ada, tapi apa boleh buat? Tidak ada cara lain untuk menghindari pertanyaan Bara yang membuatnya ketakutan. “Ndah, Laiin nggak bisa ini.” Rain mendekati Renatha dengan membawa buku sekolahnya. Anak itu sangat rajin, sama seperti Regan yang suka belajar dan mengerjakan tugas. Berbeda sekali Revan, terus melakukan hal yang tidak pernah disukai kedua saudaranya. Revan terus menonton pertandingan bela diri dari video YouTube. Jika disuruh belajar, pasti alasannya sudah pintar sehingga tidak perlu belajar. “Rain, Sayang, itu belum ada perintah dari Bu guru, nanti saja kerjakannya, ya, Sayang?” kata Renatha lembut. “Tapi, Laiin pengin keljain yang ini, Ndah. Bial tambah pintel kayak Bang Legan,” rengek Rain. “Belajar yang lain, ya, Sayang. Gimana kalau membaca?” tawar Renatha, lembut. “Laiin nggak mau, mau belajal kelahi aja sama Bang Lepan.” Rain pergi dengan wajah cemberut. Kebiasaan Rain selalu seperti itu, jika dilarang mengerjakan tugas yang belum ada perintah dari guru. Bahkan ujung-ujungnya akan menatap buku itu sampai tertidur. “Rain pinter banget, ya, Mbak. Nanti Ririn pengin punya anak kayak Rain kalau udah nikah,” ujar Ririn. “Iya. Alhamdulillah pinter, semoga nanti kalau kamu udah nikah, punya anak yang lebih dari Rain,” kata Renatha tulus. “Nggak, ah. Kayak Rain aja cukup, Mbak. Nggak mau yang lebih dari Rain,” tolak Ririn, dia memang begitu menyukai Rain yang selalu ceria, penurut, dan rajin belajar. Renatha senang jika Ririn begitu menyayangi Rain, tapi ia juga tidak mau Ririn memiliki anak seperti Rain yang penakut. Cukup putranya saja yang tidak berani melawan jika ada yang mengganggu. Beruntungnya Rain memiliki dua orang kakak yang bisa menjaga dengan baik. Dulu mereka selalu hidup dalam kekurangan, tapi untungnya sekarang bisa semakin baik dari sebelumnya. Selain memiliki toko bunga dan menyiapkan dekor pernikahan, sekarang Renatha bisa membuat beberapa rancangan baju dan gaun pengantin, bahkan juga make up pengantin. Uang yang Bu Hasna berikan dua bulan lalu, ia gunakan untuk usaha dan separuh ditabung untuk tiga putarannya. Rancangan yang Renatha buat, mulai dikenal beberapa orang besar, tak jarang orang yang membeli hasil rancangannya menawar dengan harga tinggi. Dari rancangan-rancangan baju itu, uangnya akan Renatha kumpul untuk membangun butik. Keinginannya menjadi seorang perancang baju terkenal hingga mendunia saat sekolah dulu, kini perlahan ia coba untuk wujudkan. Bagaimana juga dua impiannya kandas begitu saja karena satu kesalahan di malam hari bersama Bara. Apalagi jika bukan meneruskan perusahaan orang tuanya, lalu menjadi penyanyi. Hidup itu sangat berwarna, Tuhan pasti sudah menyiapkan hal terbaik untukku dan anak-anak di masa mendatang, batin Renatha. Jika mengingat hari pertama Renatha meninggalkan rumah, entah mengapa sangat menydeihkan. Seringkali ia tidak bisa membeli makanan karena takut uang tabungannya kurang untuk biaya persalinan. “Mbak, ini ada yang mau pesan karangan bunga, katanya lima dan mau diambil dua jam lagi. Gimana dong, Mbak?” tanya Ririn panik. “Hah? Dua jam lagi? Yang sepuluh ini aja aku masih proses. Kok, dadakan?” Renatha ikut kalang kabut. Bayangkan saja ia sejak tadi bersantai mengerjakan sepuluh rangkaian bunga, Ririn juga sibuk membantu mencari beberapa bunga yang stoknya sudah hampir habis. “Ririn lupa, nggak cek ponsel, Mbak. Sebenarnya dia kirim pesan dari lima jam yang lalu,” kata Ririn cengengesan. “Ririn, kamu gimana, sih? Ya, udah, kalau gitu kita ngebut sekarang, tapi ambil dulu keperluannya. Biar nanti tinggal rangkai aja,” tutur Renatha. Ririn malah tertawa ketika melihat wajah panik Renatha, bosnya sangat baik sejak dulu. Renatha yang marah dengan berteriak dan melotot, bukannya terlihat seram malah lucu. Renatha dan Ririn mulai menyiapkan buket-buket bunga yang akan diambil pada waktu bersamaan. Kerja kebut yang sangat tidak Renatha suka karena menghancurkan rencananya. Ia selalu suka menata buket bunga dengan tenang dan menikmati kedamaian saat bersama bunga. Akan tetapi, lihatlah, bahkan tidak bisa berhenti hanya untuk minum selama dua jam. “Huh, akhirnya selesai juga, tanganku mati rasa,” keluh Renatha, menatap tangannya yang sudah lelah, bahkan ada beberapa luka pada jari karena tergores duri bunga mawar dan cutter. “Duh. Capek juga, ya, Mbak, kalau kebut-kebutan gini? Padahal cuma sebelas buket,” keluh Ririn ikut duduk di sebelah Renatha. “Kamu nggak seberapa, cuma lima. Lah, aku? Buat sepuluh dari tadi, sebelum kamu mulai yang lima itu,” Renatha berkata dengan menatap kesal. Ririn tertawa pelan, mengusap belakang lehernya yang tidak gatal. “Maaf, deh, Mbak. Lain kali Ririn nggak teledor lagi,” ucap Ririn. “Ya, udah, aku mau lihat anak-anak di kamar mereka. Kamu jangan ketiduran lagi, soalnya sebentar lagi bunga-bunganya mau diambil,” pesan Renatha. “Iya, Mbak. Siap.” Ririn memberikan hormat sambil merebahkan dirinya di kursi yang lumayan panjang.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN