Sebuah Titah

1020 Kata
Nenek datang menghampiri penjara yang diciptakannya untukku hari ini. Ia masuk, melangkah penuh wibawa dengan sorot mata tajam dan tegas. Ia mendekatiku, menatapku begitu sinis. "Mikayla! Kau masih keras kepala? Masih betah terpenjara tanpa makanan enak? Tanpa siaran televisi? Dengan penerangan minim saat malam?" cecar nenek dengan tangan sudah terlipat di depan dadanya. Aku mengalihkan pandangan, tak mau menatap matanya yang begitu mengerikan. "Aku tidak akan menggugurkannya!" sahutku dengan suara lantang. Nenek mendekatiku, bahkan di usianya yang sudah lumayan tua itu, ia masih kuat menampar pipi juga menjambak rambutku. Aku mengaduh, menahan perih hati juga pipiku sendiri. Namun, aku tidak membiarkan air mataku jatuh. Aku tidak mau melaksanakan titahnya, melenyapkan nyawa yang sedang kujaga ini. "Kau memang lain dari kedua saudaramu! Lihat Mikayla, keras kepalamu hanya menghasilkan aib! Kau mencoreng arang di wajah Nenek? Kalau kakek masih hidup, apa ia tak akan kecewa? Cucu kesayangannya bahkan tak bisa menjaga kehormatan! Gugurkan kandunganmu!" Suara nenek menggelegar. Bisa kurasakan aku gemetaran, apalagi saat nenek menyebut kakek tadi, luruh sudah rasanya hatiku. "Tidak, Nek, aku mohon jangan paksa aku untuk menggugurkan kandungan ini. Aku tidak akan merepotkan kalian, aku akan merawatnya, Nek." Aku berlutut, memeluk kaki nenek erat. Memohon dengan sangat saat kulihat ternyata nenek sudah membawa orang asing. Dua orang yang sepertinya akan melaksanakan eksekusi mati bagi bayi yang sedang kukandung ini. "Ikat dia!" Suara nenek menggelegar, memerintahkan para pengawal menyeretku ke tempat tidur. Aku meronta, berusaha melepaskan diri. Kurasakan perutku nyeri. Saat kedua orang itu mendekat, dengan nenek yang sudah nyalang matanya melihat aku yang melakukan pemberontakan, aku berteriak sekuat-kuatnya. Saat benda tajam untuk mengobrak abrik bayiku akan segera dimasukkan, bunda datang tepat pada waktunya. Ia merangsek masuk, memeluk lutut nenek, menangis sesegukan. "Lepaskan putriku, Bu. Tolong biarkan Mika bersama bayinya." Bunda mengiba. Nenek mengibas kakinya, berusaha mengusir bunda. Namun bunda malah semakin erat mengalungkan kedua tangan di kaki nenek. Aku menangis terisak di atas pembaringan. Dua orang yang bertugas akan mengeksekusi mati bayiku, menghentikan kegiatan mereka. Mereka saling pandang, menatap bunda dan nenek bergantian. "Nyonya Lingga, kami tidak bisa melakukannya jika ibu dari gadis ini tidak berkenan," tolak mereka sambil memasukkan kembali peralatan ke dalam tas. Nenek menatap bunda murka. Ia menendang bunda. Aku ingin memeluk bunda, nenek kejam! "Kau akan menyesal, Dewanti, telah menggagalkannya hari ini. Aku bisa saja meminta putraku untuk menceraikanmu sekarang juga!" dengus nenek lalu ia berlalu diikuti para pengawal berbadan besar. Bunda tergopoh-gopoh menghampiriku. Ia melepas semua ikatan yang membelenggu. Bik Tati membantunya dengan air mata yang semakin banyak pula. "Ya allah, ndoro putri, tega sekali pada Non Mika seperti ini." Bibi menangis sesegukan. Bunda segera memelukku, mengusap kepala, mencium keningku. "Maafkan Bunda, tidak bisa berbuat banyak." Hanya itu yang bisa bunda katakan. Isak tangis kami bertiga mewarnai siang yang terik ini. Aku tidak tahu lagi bagaimana caranya meluluhkan hati nenek. "Bunda, aku tidak mau Bunda sampai bercerai dengan ayah. Bunda, jangan sering kemari ya. Jangan buat nenek juga ikut membenci Bunda, cukup aku saja," ujarku terbata-bata. Bunda tidak menjawab. Ia hanya memelukku dengan tubuh sudah terguncang. Ayah? sejak aku hamil ia tidak pernah mau berbicara denganku lagi, kedua kakakku pun sama. Aku terasing. "Bi, jaga Mika ya. Saya tidak bisa berbuat banyak, Bi." Bunda terisak. Bibi mengangguk. "Bunda, pulanglah, aku sudah tidak apa-apa." Gemetaran, aku mencoba tersenyum pada Bunda. Bunda, maaf kemarin aku sempat berpikir kau tak peduli padaku. Namun, kau nyatanya sangat peduli, bahkan tubuh kurusmu kini jadi bukti bahwa kau sangat tersiksa dengan keadaan ini. "Mika, besok Bunda akan ke sini lagi. Ada yang ingin Bunda berikan padamu." Bunda menghapus air matanya. Aku mengangguk. Keadaan ini begitu sulit, aku mengerti betapa bunda juga tertekan selama ini. "Mika akan menunggu Bunda," sahutku terbata-bata. Bunda mengangguk lalu mencium keningku lama. Kemudian ia beranjak dan segera pergi meninggalkan tempat ini. Sebab, nenek akan kembali murka bila ia tidak segera kembali. "Non, yang kuat, yang sabar." Bik Tati mengusap punggungku. Aku melempar senyum padanya. Aku berjalan menuju cermin, memandang wajahku yang tampak pucat. Aku menyentuh perut besarku, mengelus dan mengusapnya penuh rasa sayang. "Bunda akan menjaga kamu, walaupun mereka menentang kehadiranmu." Cukup lama aku memandangi cermin yang memantulkan bayangan diriku, aku akhirnya memilih kembali memejamkan mata. Tidak ada hasrat untuk makan saat ini meski makanan dengan lauk telur mata sapi itu telah terhidang di atas meja. Hukuman nenek begitu kejam. Ia bahkan hanya memberi aku lauk tahu tempe dan telur yang akan disajikan setiap hari bergantian. Tapi aku tetap bersyukur, setidaknya bayiku tetap mendapat asupan setiap harinya. "Bi, sampai kapan ya aku akan begini? Apa memang tidak ada tempat, bagi aib yang sedang bertaubat seperti aku ini?" tanyaku pilu. Bibi kembali menyeka air matanya perlahan. "Tidak boleh berpikiran seperti itu, Non Mika. Semoga ndoro putri segera berubah." Aku tersenyum mendengar kalimat menghibur itu. Lagi-lagi, hanya bibi tempat aku mencurahkan semua isi hati. Aku bahkan tidak lagi punya ponsel. Untuk menelepon Ara aku tak bisa lagi. Padahal di saat seperti ini, Ara pasti bisa memahamiku, mendengar semua keluh, memberi aku kalimat-kalimat menyejukkan hati. Kehidupanku kini berbalik sembilan puluh derajat. Aku ditempatkan di titik paling hina di mata keluarga besarku sendiri. Ya, memang salahku, aku pun sadar itu. Terlalu percaya pada makhluk bermulut manis bernama laki-laki. Kini, aku harus menanggung ini sendirian. Tidak! aku tidak boleh mengeluh. Tuhan pasti sedang mengujiku saat ini. Jika kemarin aku berbuat dosa, sekarang izinkanlah aku menebusnya. Aku akan menjaga anak ini hingga ia dewasa. Aku tidak peduli pada nenek yang masih saja ingin membunuh anakku. "Bi, apa aku harus kabur dari rumah ini? " ujarku penuh tanya. Bibi hanya menatapku dengan pandangan sedih, ia menggeleng. "Jangan, Non. Non Mika masih sangat muda, tidak boleh mengurus bayi sendiri," sambut Bibi menasehati. Untuk sesaat, aku terdiam. Memang meragukan aku bisa hidup sendiri, melarikan diri dari Surabaya untuk menyelamatkan anak yang sedang kukandung. Namun, jika nanti nenek benar akan mencelakakan anak ini, aku benar-benar akan mengambil langkah terakhir, yaitu pergi dari rumah ini juga dari Surabaya ke tempat lain. "Aku tidak akan membiarkan mereka memisahkan aku dengan anakku, Bi." tekadku dengan suara gemetar. Bibi mengangguk, ia memelukku, mengusap lembut punggungku yang mulai terguncang lagi. Begitu berat cobaan ini Tuhan, semoga aku dan anak ini kuat.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN