Wanita Tanpa Kasih

1034 Kata
"Mika?" Suara yang aku kenal terdengar dari balik pintu. Perlahan aku melangkahkan kaki, meninggalkan kegiatanku merajut baju bayi yang sedang aku kerjakan. "Bunda, mengapa kemari? Nanti nenek bisa marah pada Bunda." Aku menutup pintu kamar dengan segera setelah bunda masuk. "Tidak apa, Nak. Ada yang ingin Bunda berikan padamu." Bunda duduk di tepi ranjang, sementara mataku masih saja was-was pada daun jendela yang terbuka, takut nanti nenek tiba-tiba datang dan murka kepada Bunda. "Apa Bun?" Setelah kurasa keadaan cukup aman, aku duduk bersisian di samping bunda. "Ini, Bunda tidak punya banyak. Tapi, semoga ini bisa berguna untukmu dan cucu Bunda nanti. Mika, Bunda tidak bermaksud untuk menakutimu, tapi Bunda tahu seperti apa nenek. Jika kau rasa rumah dan lingkungan sekitar ini tidak lagi ramah padamu dan dia, maka gunakanlah uang ini sebaik mungkin. Bunda akan mendukung apapun yang kamu lakukan." Air mataku menitik dan tanganku bergetar kala aku menerima uang di dalam amplop itu. Aku menatap bunda dengan pandangan berkaca-kaca. "Bunda tidak perlu melakukan ini. Nanti kalau ayah tahu, ia bisa marah padamu, Bunda." "Tidak, Mika. Bunda sudah cukup lama diam selama ini. Tidak sepantasnya mereka menyetir dirimu juga, memaksakan kehendak seperti pada kakak-kakakmu. Mika, Bunda hanya bisa membantumu sebatas ini, sisanya, berjuanglah, Nak." Aku menggenggam erat jemari bunda yang kini telah berada di atas perutku yang membuncit. Bunda benar, aku harus berjuang. Meski ancaman nenek kapan saja bisa menghampiriku. Aku menatap sekeliling, rumah ini, penjara yang diciptakan keluargaku sendiri, akan aku ingat di sepanjang sisa hidupku kelak. Pun begitu dengan air mata yang mengalir hampir setiap harinya. Akan menjadi pembakar semangatku untuk menapaki jalan yang akan aku lalui. Benar yang bunda katakan, keluarga yang lain juga lingkungan rumah ini, tak lagi ramah padaku yang bagi mereka adalah aib besar. Aku tidak tahu apa yang akan nenek lakukan nanti. Kalau kemarin saja ia bisa dengan santainya membawa dua orang untuk mengeksekusi mati anak dalam kandunganku, bukan tak mungkin ia akan melakukannya lagi nanti. Mungkin, jika tak berhasil meminta orang lain untuk melakukannya, bisa saja nenek melakukannya sendiri dengan berbagai cara. Entahlah, aku sudah terlalu waspada akan segala tindak tanduknya kini. Peristiwa kemarin, saat ia memaksa akan membunuh anak yang aku kandung menjadikan aku mulai berburuk sangka pada dirinya yang sudah tua itu. "Non Mika, mengapa melamun?" tanya bibi sambil meletakkan sepiring nasi dengan dua tempe goreng, setelah bunda keluar beberapa saat tadi. "Tidak, Bi. Terima kasih, Bi." Aku mulai menikmati sepiring nasi dengan dua potong tempe goreng itu. Bagaimana pun, aku mesti tetap makan karena ada satu nyawa yang butuh asupan makanan juga melalui aku. "Tati!" Suara menyeramkan itu mengagetkan. Aku hampir saja tersedak kala nenek kembali datang dan sudah melipat kedua tangannya di depan d**a. Ia menatap aku dan bi Tati bergantian. Aku meneruskan makanku, tak mau melihatnya. Setiap kali aku melihat matanya, aku seperti sedang melihat malaikat maut yang siap membunuh aku dan bayiku kapan saja. Kini, ia sedang menatap kami bergantian. Sembari melihat nasi dan dua potong tempe yang baru sedikit aku masukkan ke dalam perutku. Ada apa rupanya, wanita tua tapi masih begitu kuat menyiksa ini datang lagi? "Iya Ndoro, maaf ada apa?" Bi Tati menunduk, memberi hormat padanya. "Aku memerintahkanmu memberinya sepotong tempe, bukan dua!" Lagi, suaranya terdengar menggelegar. Ia mendekatiku, mencengkram daguku dengan jemarinya. "Maaf Ndoro, saya yang salah. Saya lupa. Jangan sakiti Non Mika, kasihan, Ndoro." "Kasihan? Siapa yang menggajimu? Aku toh? Kau berani menentangku?!" katanya pada bi Tati yang sudah menunduk takut, sementara jemarinya masih mencengkram kuat daguku yang mulai kesakitan. "Maafkan saya, Ndoro." "Dan kau! Keras kepala! Rasa ingin sekali aku mengeluarkan isi perutmu ini agar bayi haram ini segera enyah!" Ia menghempaskan daguku ke samping. Terasa nyeri. Aku menatapnya dengan pandangan nanar. Sudah cukup semua ini. Aku ambil sepotong tempe itu, lalu kubuang dia jauh dengan segala kemarahanku yang terpendam. Aku menatapnya yang juga balas menatapku dengan tatapan melotot. "Sudah, Nek! Nenek tidak perlu memarahi Bi Tati. Dia hanya menggunakan dua potong tempe sebagai bentuk kepeduliannya padaku. Bahkan satu papan tempe yang kau berikan padaku tidak lebih baik dari sepotong yang ia hidangkan di piringku!" Entah kekuatan darimana, kala aku berteriak dengan luapan emosi dan kemarahan yang menyala di mataku yang mulai berkaca-kaca. Aku tidak lagi takut padanya, aku tidak lagi mau menganggapnya nenekku! Dia wanita jahat dan wanita jahat itu kini mengambil sebilah sapu dari balik pintu. Ia memukulkan benda itu berkali-kali ke tubuhku. Aku mengerang berusaha melindungi perutku agar tak jadi sasaran kebrutalannya. Bi Tati mencoba menolongku, tapi ia juga didorong nenek hingga terjatuh ke belakang. "Bu, cukup!" Suara yang sudah lama tak ku dengar kali ini terdengar memuakkan di telingaku. Kulihat, nenek menghentikan gerakannya mengayunkan gagang sapu ke tubuhku. "Anakmu kurang ajar! Sudah dia memberi aib untuk keluarga ini, sekarang ia berani meneriakiku!" Ayah nampak memijat keningnya. Mungkin, ia juga pusing dan bingung dengan keadaan ini. Namun, sebagai anak lelaki, ia amat berbakti pada ibunya. Sangking berbaktinya, ia membiarkan anaknya diperlakukan bak binatang oleh ibunya sendiri. "Sudah, Bu. Ingat, hipertensimu bisa naik kalau kau terus mengamuk seperti ini." Ayah mendekati nenek, melepaskan gagang sapu dan memberikannya pada bi Tati. Ia menatapku, aku mengalihkan pandanganku ke arah lain. Kenapa ia datang? Aku bahkan tidak lagi peduli pada kepeduliannya. "Mika, habiskan makananmu," katanya sambil memapah nenek yang sudah kelelahan memukuliku dengan gagang sapu barusan. Aku tidak menggubris. Bagiku, ayah tak ubahnya nenek dan dua kakakku yang lain. Mereka memandangku hina. Mereka menatapku penuh kebencian dan jijik seakan aku ini kotoran penuh nista. Bisa aku lihat nenek menoleh, menatapku lewat pintu jendela yang terbuka dengan pandangan tidak suka yang teramat kentara. Bi Tati menghambur memelukku setelah melihat banyaknya memar di tubuhku sendiri. "Ya Allah, sampai begini Non." Ia menyeka air matanya, menatap penuh iba pada tubuhku yang terluka. "Yang lebih sakit itu hatiku, Bi," lirihku tanpa isak tangis lagi seperti biasa. "Maafkan Bibi, Non. Gara-gara Bibi, Non Mika jadi seperti ini. Ndoro jadi murka." Aku menatap bi Tati lalu tersenyum. Bagaimana bisa aku menyalahkanmu, Bi. Sementara kau lebih manusia daripada mereka. Kau lebih memanusiakan aku dibanding mereka. "Bi, kalau tidak ada dirimu aku sangsi masih bisa bertahan sampai hari ini." Tangisku pecah di dalam pelukan bibi yang juga sudah terguncang. Sepotong tempe hari ini semakin menunjukkan sifat asli nenekku yang sebenarnya, wanita tanpa kasih.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN