"Papa kira kamu ingat janji kamu minggu lalu. Ternyata kamu ingkar janji lagi. Mana? Mana perempuan yang akan kamu jadikan calon? Bahkan Rivanya dan yang lainnya tidak melihat kamu membawa perempuan ke rumah ini." Langkah lebar lelaki yang baru saja menginjak daun pintu itu terhenti. Matanya menatap kosong ke depan. Selain mata, hatinya juga kosong. Rasanya seperti tidak memiliki jiwa. Tubuhnya hanya raga saja. Pikirannya masih berfungsi. Dan selalu menggertaknya untuk membantah ucapan itu. Namun ia sedang tidak kuasa mengeluarkan emosinya dengan cepat. Terlalu lelah dengan penolakan dan juga kejadian di masa lalu. Walau sudah berlalu. Dan itu terjadi dua tahun lalu, tetap saja rasa bersalah itu malah semakin menyatu. Terutama ketika matanya menatap dengan penuh penyesalan. Menatap den