We're meeting
"Pak Barrak, terima kasih atas niat Anda yang ingin menanamkan modal di perusahaan kami," ujar seorang wanita berusia 22 tahun.
Barrak yang adalah lawan bicara dari wanita itu tersenyum ramah. "Tidak masalah bagi saya, Nona Arika. Saya memang sedang mencari perusahaan untuk menanamkan modal saya." Setelah mengatakan kalimat ini, Barrak menatap papan nama yang menempel di atas d**a kanan dengan nama 'Arika'.
Arika, gadis berusia 22 tahun itu tersenyum senang. Akhirnya ada investor yang ingin menanamkan modal di perusahaan mereka yang hampir bangkrut.
"Saya berpikir mungkin tidak akan ada lagi investor yang menanamkan modal di perusahaan kami, sebab perusahaan kami dalam masa-masa sulit seperti ini," ujar Arika dengan nada tidak enak.
Barrak tersenyum tipis dan dia membalas, "Saya melihat potensi bagus di perusahaan Anda. Saya bisa melihat di masa depan, hasil pertanian dari perusahan Anda akan sangat berkembang pesat."
"Ah, benarkah?!" Arika terlihat sumringah setelah mendengar ucapan balasan dari Barrak.
"Ya, benar." Barrak mengangguk pelan.
"Saya belum memiliki banyak pengalaman mengenai mekanisme perusahaan, sebab saya adalah fresh graduate yang baru lulus tiga bulan yang lalu, saya memiliki banyak kekurangan. Apalagi di perusahaan saya, banyak dari senior yang telah bekerja lama di perusahaan yang mengundurkan diri, hal ini membuat saya tidak punya pilihan selain harus turun langsung untuk mencari investor. Awalnya, saya sangat pesimis karena tidak berpengalaman dan juga situasi perusahaan tidak begitu baik, tapi dengan berkat Tuhan, akhirnya Anda datang untuk menawarkan bantuan berupa menanamkan modal pada perusahaan kami-ah! maaf, saya terlalu banyak bicara," ujar Arika. Dia menutup bibirnya dengan telapak tangan kanan dan tersenyum malu di depan calon investor untuk perusahaan milik ayahnya.
Barrak tersenyum tipis. "Tidak masalah, saya mengerti. Jika Nona Arika belum mengetahui atau masih belum paham mengenai bisnis, Nona Arika bisa bertanya pada saya kapanpun Anda mau bertanya, saya akan dengan senang hati membantu untuk menjelaskan agar Nona Arika mengerti," ujar Barrak.
Arika menahan senyum. "Em … apakah hal itu tidak membuat Anda keberatan? ah! maksud saya, mungkin saja saya akan mengganggu waktu Anda sebab Anda adalah orang penting," balas Arika.
Barrak menggelengkan kepalanya. "Tidak mengganggu waktu saya, justru saya senang dapat membantu Anda, Nona Arika."
Arika menunduk untuk menahan senyum malu-malu, setelah itu beberapa detik kemudian dia mendongak dan menatap wajah Barrak.
Pria di depannya ini sungguh tampan dan tentu saja incaran dari semua wanita. Umur yang masih tergolong muda sudah bisa menjadi pengusaha bisnis dan investor. Belum lagi dengan attitude yang ramah pada semua orang dan rendah diri. Hal ini membuat Arika yang pertama kali berkenalan hari ini dengan Barrak menjadi agak salah tingkah. Arika berpikir Barrak adalah seorang investor yang banyak mau dan keras kepala, namun pemikirannya adalah salah.
"Saya sempat berpikir bahwa Anda pasti akan menolak mentah-mentah proposal saya," ujar Arika.
Barrak menaikkan sebelah alisnya. "Kenapa Nona Arika berpikir seperti itu?"
"Karena situasi perusahaan kami yang tidak begitu baik dan profil Anda yang sangat sempurna," jawab Arika.
"Ah? hahah." Barrak tertawa pelan nan elegan.
Hal ini membuat Arika jatuh hati pada hari pertama mereka berkenalan untuk membahas mengenai Barrak yang ingin menjadi investor di perusahaan pertanian milik ayah Arika.
"Saya tidak sesempurna itu, hati-hati dengan pemikiran Anda, Nona Arika yang manis," ujar Barrak. Suara yang dikeluarkan oleh pria ini sungguh mempesona dengan bass yang serak.
Setelah dipuji 'manis' oleh Barrak, wajah Arika terlihat memerah tersipu malu.
Barrak menahan senyum miring ketika melihat Arika tersipu malu. "Senyum saja, Nona Arika. Jangan ditahan seperti itu. Anda sangat manis tersenyum."
Alhasil Arika tersenyum. Hati Arika terasa senang karena pujian dari Barrak.
"Um … itu, saya rasa kami telah membahas mengenai bersedianya Anda untuk menanamkan modal pada perusahan kami, jadi … ini adalah waktu makan siang, bolehkah kita lanjutkan untuk um …," ujar Arika terlihat ragu dengan ucapan selanjutnya.
"Saya rasa saya akan makan siang di sini saja bersama Nona Arika, itupun jika Nona Arika tidak keberatan," ujar Barrak.
"Ah, tidak. Saya sama sekali tidak keberatan," balas Arika.
Barrack mengangguk sambil menaikkan sebelah alisnya.
"Saya atau Anda yang akan memesan pesanan? ah, maaf lancang, saya tidak tahu selera Anda," ujar Arika tidak enak hati.
"Saya ikuti apa yang ingin Nona Arika pesan," balas Barrak santai.
"Um, benarkah Anda tidak keberatan?" tanya Arika.
Barrak mengangguk.
"Hanya makan siang, untuk apa keberatan? saya juga ingin mengetahui kesukaan Nona Arika," jawab Barrak.
Arika tersenyum.
"Saya suka makanan yang berkuah santan seperti kare, um … mungkin makanan berkuah seperti itu bukanlah kesukaan Anda, jadi saya merasa ragu untuk memesan. Sebaiknya saya ikuti saja pesanan yang Anda suka," ujar Arika.
Barrak mengangguk mengerti.
"Ah, jadi kare adalah kesukaan Nona Arika. Baik, saya mengerti."
Barrak memberi isyarat pada pelayan restoran. Pelayan restoran wanita itu datang menghampiri meja Barrak dan Arika.
"Selamat siang Tuan dan Nyonya, apakah Anda siap untuk memesan makan siang Anda?" tanya pelayan.
Barrak mengangguk pelan. "Adakah hidangan kari ayam?"
"Kami memiliki hidangan yang serupa meskipun berbeda tipis yaitu gulai ayam santan. Apakah Anda ingin memesan gulai ayam santan?" jawab pelayan sopan.
Barrak melirik ke arah Arika. "Apakah Nona Arika tidak keberatan makan siang ini dengan gulai ayam santan?" tanya Barrack.
Arika menggeleng. "Tidak keberatan sama sekali, Pak."
Barrak mengangguk mengerti, dia melirik ke arah pelayan restoran dan berkata, "Gulai ayam santan dua dan nasi."
"Baik, Tuan." Pelayan restoran mencatat pesanan, kemudian dia bertanya, "minuman apa yang ingin Tuan dan Nona pesan?"
Dari percakapan antara Barrak dan Arika, pelayan jadi tahu bahwa Arika bukankah seorang 'Nyonya'.
Barrak melirik ke arah Arika.
"Saya ikut yang Pak Barrak pesan," ujar Arika.
Barrak mengangguk mengerti, dia melirik ke arah pelayan. "Dua lemon squash dan es krim untuk menu penutup."
"Baik, Tuan." Pelayan mencatat sambil mengangguk. Pelayan itu melirik ke arah Barrak dan berkata, "Lima menit lagi pesanan Tuan dan Nona akan segera tiba, pelayanan kami sangat cepat dan akurat."
Barrak dan Arika mengangguk mengerti.
Arika memasuki pintu sebuah ruangan di perusahaan sang ayah.
Senyum tertahan terlihat di bibir Arika.
Beberapa orang yang merupakan karyawan di tempat itu segera mendekat dan mengerumuni Arika.
"Arika, bagaimana?" tanya wanita a.
"Apakah berhasil?" tanya wanita b.
"Saya rasa tidak terlalu berhasil, mengingat perusahaan kita yang akan bangkrut ini," ujar wanita c pesimis.